Pengalaman Memaknai dan Mensyukuri Indra,  Sebuah Catatan tentang Kesetaraan : Minikino Film Week 8 – Inclusive Cinema

Pengalaman Memaknai dan Mensyukuri Indra,  Sebuah Catatan tentang Kesetaraan : Minikino Film Week 8 - Inclusive Cinema

Film dengan Audio Description yang dapat ditonton siapapun yang mengalami ketidakmampuan dalam penglihatan. ( Foto: MFW Catalog)

Sejatinya saya menikmati tayangan aneka rupa, jenis dan genre film. Ketika menjadi staf budaya di sebuah lembaga budaya asing, kebetulan tanggung jawab saya entah jadi penyelenggara festival film, atau petugas pemutar film saja rutin tiap minggunya.

Entah berapa banyak film festival, dengan segala isu; maupun film berbahasa asing dengan topik asing yang bisa membuat saya mengernyitkan dahi , mengangguk-angguk menyepakati atau malah standing applause.

Hari ini, saya berkesempatan mendapat pengalaman berbeda. Menikmati film pendek dengan tema beragam yang memiliki benang merah yang sama, yakni dilengkapi Audio Description.

Penjelasan yang dilansir dari adp.acb.org, Audio Description melibatkan kemampuan mengakses imej visual dari pertunjukan teater, tv, film dan berbagai karya seni, bagi orang yang mengalami kebutaan, kemampuan penglihatan yang rendah atau cacat di area mata. Bentuknya berupa narasi yang menjelaskan bagaimana setting, suasana, lokasi, latar depan, latar belakang, bentuk-bentuk, benda-benda secara detail, spesifik dan dibawakan dengan nada datar, sehingga tidak tumpang tindih dengan dialog.

Nah, acara semalam adalah program tayangan inklusif, di mana pertama kali saya menonton bersama teman-teman  tuna netra serta film-filmnya memiliki Audio Description.

Judul film pendek yang dapat ditonton siapa saja. Termasuk mereka yang mengalami disabilitas. ( FotoL MFW8)

Awalnya  keinginan saya bisa menonton dari awal, mulai dari pemutaran film animasi yang disutradarai sahabat nongkrong festival film bertahun-tahun lalu, Nirartha Bas Dewangkara. Sayangnya kemacetan sore hari Denpasar, tanah kelahiran kedua putra saya tak mampu saya taklukkan.

Saat akhirnya menduduki ruang studio Mash Denpasar, saya terhenyak dengan sebuah film pendek urutan ketiga yang tervisualisasi bagai lukisan hidup panorama savana Nusa Tenggara Barat.

Padang rumput luas yang menjadi latar depan adalah sebuah tawaran segar dan baru. Ketika tak ada close up wajah pemeran, saya si penonton audio visual menikmati gambar bergerak dengan rumah bambu, tiang jemuran, pohon besar, ayunan, anak perempuan dan ibunya.

Semua apik dinarasikan dalam Audio Description yang dibuat tim Minikino, penyelenggara festival film di Denpasar, yang telah berusia delapan tahun ini.

Terbius akan shoot jarak jauh orang-orang yang bergerak, terlena dengan narasi yang dibawakan. Beberapa saat saya memejamkan mata untuk ikut mencoba apa rasanya tak bisa melihat tapi mampu mendengar apa yang dinarasikan, dalam film minim dialog tapi banyak simbol ini. Jujur, visualisasi hanya dengan narasi saja ketika itu, membuatnya menjadi lebih ‘liar’.

Kisah film bertitel Jamal sebagai akronim Janda Malaysia tersebut, menjadi ekstra sedih ketika Muhammad Heri Fadli, sang sutradara asal Lombok mengisahkan latar belakangnya. Tentang stigma janda para buruh migran yang disematkan kepada istri yang suaminya merantau ke Negeri Jiran, dengan banyak kisah nasib ‘tak tentu’ , hidup tak hidup, pulang tak pulang. Beberapa hal personal yang unik sebagai behind the scene menjadi menarik untuk dicermati juga.

Film selanjutnya jujur makin menyesakkan dada. Saya mencoba melirik teman tuna netra yang terpaku, khusuk mendengar narasi, serta melirik teman lihat yang sedang menyeka matanya yang mulai basah.

Ya … film Ride to Nowhere ini jujur mengguncang hati saya, mungkin juga penonton perempuan lain di ruangan itu, tak terkecuali juga penonton lelaki.

Isu patriarki, misoginis dan diskriminatif kental sekali dalam cerita, dialog maupun gambaran visual dari karya sutradara asal Makassar, Khozy Rizal.

Ide ceritanya sederhana, seorang ojol perempuan yang perlu bertahan hidup dan mempertahankan biaya sewa rumah petak, di antara sikap penolakan penumpang lelaki, pelecehan verbal sesama driver, pesanan zonk dari konsumen.

Adegan ketika Ade, sang ojol perempuan, usai memangkas habis rambut sebahunya menjadi tinggal beberapa senti saja, benar-benar menyesakkan sebagai wujud protes bahwa penampilan perlu diubah sebagai lelaki agar pekerjaan menjadi ojol di jalan, lebih diapresiasi.

Film ‘berat’ ini pun disajikan dengan Audio Description yang apik, terutama untuk narasi apa yang dilakukan Ade. Sungguh, rasanya ingin menghela napas panjang-panjang usai menonton ini. Tak heran film pendek berdurasi 15 menit ini meraih penghargaan sebagai Best National Competition 2022 dalam festival ini.

Film selanjutnya These Colours Don’t Run (Balas) karya Difizkal Satriatama, mengangkat bagaimana pandangan yang masih terus jadi perdebatan, tentang mendidik anak lelaki.

Film ini sesungguhnya menyoal hal sehari-hari. Anak lelaki yang sering dirundung di sekolah, malah mendapat perundungan lagi di rumah oleh ayahnya sendiri yang menjulukinya banci karena seolah tak mampu berkelahi. Endingnya saya bisa menduganya, tetapi penjiwaan para pemain dan dialog-dialog dengan ’emosi’ yang sarat, mampu terasa ke penonton, termasuk teman tuna netra.

Beruntungnya festival kemarin ditutup oleh film Opera Jalanan karya sutradara Arjan Onderdenwijngaard. Ide unik, menarik, bahkan 99% tanpa dialog, kenyataannya adalah kumpulan bunyi denting piring dan mangkok tukang bubur, suara pemulung barang bekas, bunyi ‘sound’ tukang roti, teriakan penjahit sol sepatu dan banyak pedagang keliling lain di sebuah kompleks perumahan di pinggir Jakarta.

Kami, penonton lihat dan tuna netra beberapa kali tergelak mendengar suara bersahutan mereka bagai simponi opera yang lucu, meriah sekaligus dan mampu apik menggelitik gendang telinga.

Standing applaus untuk semua tayangan yang sangat inklusif, meski sekali ini diperuntukkan bagi tuna netra saja. Bahkan salah seorang dari mereka mempertanyakan, apakah dari ketiga sutradara yang hadir, ada yang berniat sejak awal film sudah mempersiapkan Audio Description, dibanding film sudah jadi baru dibuatkan Audio Description-nya.

Jawaban dari para sutradara seketika menunjukkan sebuah tantangan tersendiri karena berarti film tersebut perlu mengedepankan porsi narasi, dibanding dialog tak berkesudahan, yang belakangan banyak mewarnai film-film populer. Dengan kata lain begitu banyak film yang mengandalkan kunci kekuatan hanya pada dialog-dialog para tokohnya saja.

Di penghujung acara, saya yang merasa beruntung hadir pada acara tersebut, seketika merasa bersyukur, memiliki indra yang lengkap, sehingga bisa menikmati tayangan secara audio visual baik 2D, 3D, 4D maupun IMax.

Beberapa kali saya mencoba memejamkan mata untuk merasakan bagaimana kalau karya-karya audio visual itu hanya saya nikmati secara audio saja. Sayangnya, otak saya spontan memerintahkan untuk membuka mata dan merasakan kelengkapan sensasinya. Sungguh, pengalaman memaknai dan mensyukuri indra saat itu benar-benar memberi warna baru dalam sejarah menonton saya.

Apalagi seusai festival, saya sempat mengikuti Instagram live Pandangan Isu Kesetaraan Indonesia yang merupakan kolaborasi Campaign Community dan Srikandi Lintas Iman.  Apa yang dikatakan Arif Prasetyo, S. Sos, penyandang tuna netra yang diundang sebagai pembicara tamu di acara itu makin membuka mata saya tentang masih besarnya ketidaksetaraan yang dialami teman-teman difabel.

Katanya, ada tiga bentuk diskriminasi terhadap difabel. Pertama karena adanya ketidaktahuan dari orang-orang yang belum mendapatkan pengetahuan tentang dunia difabel. Yang kedua, diskriminasi yang muncul dari orang-orang yang sudah mengetahui isu-isu difabel. Hal ini bisa terjadi di antara kaum difabel itu sendiri atau dari kaum difabel ke non difabel juga. Yang lebih menyedihkan dari diskriminasi ini,  adanya kasus di mana difabel dimanfaatkan menjadi objek penelitian ataupun objek penggalangan dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Yang terakhir dan hal ini mungkin yang lebih banyak terjadi adalah diskriminasi yang muncul dari orang-orang yang tidak mau tahu dunia difabel.

Penjelasan Mas Arief makin menguatkan analisa saya bahwa kenyataannya pekerjaan rumah Bangsa Indonesia dalam memaknai konsep inklusi dan kesetaraan masih banyak sekali. Bahagianya, malam itu Minikino Film Week 8 – Inclusive Cinema telah berupaya ekstra mewujudkan kesempatan yang setara dan luar biasa bagi teman-teman tuna netra.

Saya pribadi jadi makin termotivasi untuk membuat cerita dengan narasi yang apik sehingga minimal bisa dibuat Audio Description yang bisa dinikmati teman-teman yang berkekurangan penglihatannya. Semoga saja saya bisa mewujudkannya ya.

Salam inklusi!

BACA LAINNYA

SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain

Frugal Living, Tampil Daring dan Nilai Parenting.

Dua Film Hollywood dan Skandal Polri

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta