FILM: The One and Only- Memaknai Sekarat dengan Indah

Movie Review : The One and Only – Memaknai Sekarat dengan Indah   Ivy Sudjana     Anak-anak menyakiti diri bukan untuk mengakhiri hidupnya. Mereka hendak memberitahukan sesuatu. Itu yang perlu kamu cari. Apa yang ingin mereka sampaikan.   Cobalah tebak, kira-kira genre apa bila membaca kutipan dialog dari sebuah series Korea Selatan seperti di atas? Anak-anak? Psychological? Crime?   Atau ini, Ketika ada seseorang yang masih kutunggu, aku masih memiliki harapan. Ketika dirimu muncul di benakku saat ajal hendak menjemput, aku tak merasa kesepian. Bahwa aku mencintaimu, rasa itu sungguh melegakan.   Lah, kok dialognya jadi ada romance juga? Series apa ini?   Penasaran? Saya juga demikian pada awalnya, lalu keterusan menonton dan akhirnya bersedia menunggu setiap episodenya hadir seminggu dua kali.   The One and Only seperti judulnya, kaya akan adegan cerita tunggal dan dialog yang dalam, satu episode ke episode lain bersambung dalam jalinan benang merah yang bermakna.   Bukan drakor lain tidak semodel ini juga, hanya saja series ini (anehnya) kurang banyak menarik perhatian seperti Snow Drop yang sedang tayang di JTBC juga ketika itu.   Saya sampai berprasangka buruk, ide kisah tentang perempuan yang menghadapi ajal begitu suram, seburam ketakutan kita menghadapi kematian.   Menurut komentar dari beberapa pemerhati drakor, series ini menjadi seperti underrated, karena waktu penayangannya bukan prime time, atau terlalu larut di Korea Selatan sana. Pertimbangannya mungkin ceritanya terlalu berat untuk umum.   Atau ... saya jadi berpikir, apakah seharusnya drama tipikal seperti ini lebih cocok untuk KBS, MBC atau TVN dibanding JTBC dengan series-series spektakular.   Ketertarikan saya sendiri awalnya adalah main leadnya,  Ahn Eun Jin pemeran Min Ha di Hospital Playlist 1 dan 2. Lalu, makin tertarik lagi membaca sinopsisnya dan melihat spoilernya.   Jujur, spoiler yang diberi JTBC di internet tak banyak. Sama kondisinya dengan tak banyak teman juga yang tahu lalu bisa diajak ngobrol bareng membicarakan series ini.   Mereka lebih seru untuk membahas Our Beloved Summer, All of Us are Dead atau Ghost Doctor. Namun, bagi saya, ini keberuntungan tersendiri dalam hal menikmati cerita film.  Ketertarikan saya berarti pure dan pada akhirnya semua impresi dari series tersebut adalah perasaan saya sebenar-benarnya.   Alur series ini memang tak secepat film zombie, action atau tema perselingkuhan dengan berbagai variasi penyajiannya. Akan tetapi, karena saat ini tujuan menonton saya untuk belajar dan riset tentang bagaimana story telling, series ini memberi ruang yang bagus sekali.   Tokoh utama saja, In Sook yang diperankan Eun Jin, Mi Do yang diperankan Joy (Red Velvet) serta Se Yeon yang diperankan Kang Ye Won punya kisah dan latar belakang yang bisa masing-masing menjadi cerpen  solo.   Pertemuan dan jalinan relasi mereka kemudian seperti sekumpulan antologi kisah ketiganya, yang sama-sama berjuang dari ancaman kematian karena kanker.   Sekarat dengan penyebab kanker yang dimiliki beberapa pasien lain di hospice-rumah peristirahatan penderita penyakit kronis-tempat ketiganya bertemu, juga memiliki sketsa cerita-cerita mini yang tak mengganggu jalan cerita, malah memperindah efek grateful dan touching kepada penonton.   Lalu, bagaimana bila ketakutan, kecemasan maupun penerimaan diri menjelang ajal ini dibuat berbenturan dengan kasus pembunuhan yang tahu-tahunya menyeret In Sook, Mi Do dan Se Yeon, termasuk mempertemukan In Sook dengan Woo Cheon sebagai pasangan kekasih yang fenomenal kemudian; juga langsung membuat series ini bukan melodrama biasa-biasa saja.   Sejujurnya saya berpikir, pemilihan aktor untuk series ini luar biasa. Mulai dari karakter anak sampai lansia semuanya all out. Mengapa? Karena dialog yang diucapkan sungguh mengena. Karena seluruh aktingnya perlu penghayatan ekstra.   Kim Kyung Nam yang memerankan Woo Cheon misalnya, berbicara dengan suara low tone selama melakukan dialog dengan semua lawan mainnya, dalam semua ekspresi. Padahal dalam film lainnya seperti Revolutionary Sister dan King of Eternal Monarch, suaranya lebih dinamis dan ekspresif.   Goo Do Shim pemeran nenek In Sook berhasil menggambarkan karakter nenek yang 'lelah berjuang' tetapi sekaligus menunjukkan bagaimana tipikal perempuan pekerja kelas bawah di Korea.   Kim Soo Hyung, anak pemeran Ji Hoo berakting dengan sangat apik menunjukkan pergolakan perasaan dan penerimaan seorang anak mendampingi Ibunya melalui hari-hari menjelang ajal.   Karakter yang ditunjukkan dalam series ini hampir keseluruhannya, termasuk cameo, menggambarkan aneka wajah manusia ketika berhadapan dengan situasi pelik. Siapa yang terbiasa berbohong, yang merasa jujur lebih baik, yang terus berpura-pura, yang merasa perlu menyembunyikan (seolah) demi kebaikan orang lain tuntas diperlihatkan.   Hal yang menambah menarik kemudian adalah kesedihan menghadapi kematian tak selalu digambarkan dalam satu ekspresi saja. Ada yang merasa, dengan 'menghilangkan' orang jahat di saat terakhirmu, akan membuat nilai hidup yang sangat berarti. Ada yang sengaja berpura-pura sudah sembuh sampai membuat perayaan, hanya untuk memberi harapan kepada pasien yang lain. Ada lansia yang tahu-tahunya mendapat banyak pemasukan di ujung usia, tetapi dia merasa pendapatan itu akan lebih berarti dipergunakan untuk pengobatan teman yang lain.   Disandingkan dengan penelitian para ahli tentang konsep kematian, penulis skrip series menurut asumsi saya mengungkapkan kesemuanya dalam penceritaan. Kematian biologis ketika fungsi organ mulai berkurang sampai diakhiri oleh fungsi otak yang berhenti. Kematian sosial saat tak ada satu pun mau mengunjungi atau berdekatan dengan seseorang menjelang ajal padahal besarnya kebutuhan akan kehadiran dan didengarkan seseorang ketika itu sangat besar. Termasuk kematian psikologis ketika seseorang mulai siap menerima saat ajalnya dan meresponsnya dengan menarik diri dari berinteraksi dan bersosialisasi.   Sehingga saya menarik kesimpulan, pengambilan lokasi stuting yang sebagian besar mengambil lokasi di semacam puri, bangunan tua bahkan dengan ruang bawah tanah, dll yang dijadikan hospice sejalan dengan materi kuliah lumenlearning tentang dying and death, The modern hospice movement is traced back to London and Dame Cicely Saunders. She believed that people who are dying should be given autonomy of choices about their life, should be allowed to live always, fully, without being ostracized, and should be offered the mechanisms to die peacefully in comfort.     Ketika film, series atau apapun jenisnya yang menunggu kematian membuatmu merasa down, series ini justru membuka ruang seluas-luasnya akan harapan. Terlepas dari dirimu penderita kanker yang tinggal menunggu waktu atau tersangka kasus yang akan menjalani hukuman pidana yang bisa berisiko seumur hidup atau hukuman mati   Keinginan untuk melepaskan perlahan-lahan hal-hal menyakitkan yang telah dialami, lalu mulai mencintai dirimu dan hidupmu di saat itu, sehingga tak terasa ada yang membebani lagi.   Kutipan ucapan Mi Do saat live di SNS di saat tubuhnya makin sekarat menutup tulisan saya tentang keindahan menjelang saat ajal yang digambarkan.   Apakah kamu tahu keinginanku hari ini? Ya, bisa menelan air. Lucu bukan? Tapi itu kebenaran. Aku takut minum air karena sangat sakit rasanya di kerongkongan.  Ingat deh, sesuatu yang biasa dan bisa dilakukan olehmu, mungkin hal itu adalah keinginan besar dari orang lain.l

Anak-anak menyakiti diri bukan untuk mengakhiri hidupnya. Mereka hendak memberitahukan sesuatu. Itu yang perlu kamu cari. Apa yang ingin mereka sampaikan.

Cobalah tebak, kira-kira genre apa, bila membaca kutipan dialog dari sebuah series Korea Selatan seperti di atas?

Anak-anak? Psychological? Crime?

Atau ini,

Ketika ada seseorang yang masih kutunggu, aku masih memiliki harapan.

Ketika dirimu muncul di benakku saat ajal hendak menjemput, aku tak merasa kesepian.

Bahwa aku mencintaimu, rasa itu sungguh melegakan.

Lah, kok dialognya jadi ada romance juga? Series apa ini?

Penasaran? Saya juga demikian pada awalnya, lalu keterusan menonton dan akhirnya bersedia menunggu setiap episodenya, hadir seminggu dua kali.

The One and Only seperti judulnya, kaya akan adegan cerita tunggal dan dialog yang dalam, satu episode ke episode lain bersambung dalam jalinan benang merah yang bermakna.

Bukan drakor lain tidak semodel ini juga, hanya saja series ini (anehnya) kurang banyak menarik perhatian seperti Snow Drop yang sedang tayang di JTBC juga ketika itu.

Saya sampai berprasangka buruk, ide kisah tentang perempuan yang menghadapi ajal begitu suram, seburam ketakutan kita menghadapi kematian.

Series Underated

Menurut komentar dari beberapa pemerhati drakor, series ini menjadi seperti underrated, karena waktu penayangannya bukan prime time, atau terlalu larut di Korea Selatan sana. Pertimbangannya mungkin ceritanya terlalu berat untuk umum.

Atau … saya jadi berpikir, apakah seharusnya drama tipikal seperti ini lebih cocok untuk KBS, MBC atau TVN dibanding JTBC dengan series-series spektakular.

Ketertarikan saya sendiri awalnya adalah main leadnya,  Ahn Eun Jin pemeran Min Ha di Hospital Playlist 1 dan 2. Lalu, makin tertarik lagi membaca sinopsisnya dan melihat spoilernya.

Jujur, spoiler yang diberi JTBC di internet tak banyak. Sama kondisinya dengan tak banyak teman juga yang tahu lalu bisa diajak ngobrol bareng membicarakan series ini.

Mereka lebih seru untuk membahas Our Beloved Summer, All of Us are Dead atau Ghost Doctor. Namun, bagi saya, ini keberuntungan tersendiri dalam hal menikmati cerita film.  Ketertarikan saya berarti pure dan pada akhirnya semua impresi dari series tersebut adalah perasaan saya sebenar-benarnya.

Alur series ini memang tak secepat film zombie, action atau tema perselingkuhan dengan berbagai variasi penyajiannya. Akan tetapi, karena saat ini tujuan menonton saya untuk belajar dan riset tentang bagaimana story telling, series ini memberi ruang yang bagus sekali.

Berjuang Dari AncamanKematian

Para pemain utama The One and Only ( Foto: OtakuKart)

Tokoh utama saja, In Sook yang diperankan Eun Jin, Mi Do yang diperankan Joy (Red Velvet) serta Se Yeon yang diperankan Kang Ye Won, punya kisah dan latar belakang yang bisa masing-masing menjadi cerpen  solo.

Pertemuan dan jalinan relasi mereka kemudian seperti sekumpulan antologi kisah ketiganya, yang sama-sama berjuang dari ancaman kematian karena kanker.

Sekarat dengan penyebab kanker yang dimiliki beberapa pasien lain di hospice-rumah peristirahatan penderita penyakit kronis-tempat ketiganya bertemu, juga memiliki sketsa cerita-cerita mini yang tak mengganggu jalan cerita, malah memperindah efek grateful dan touching kepada penonton.

Lalu, bagaimana bila ketakutan, kecemasan maupun penerimaan diri menjelang ajal ini dibuat berbenturan dengan kasus pembunuhan yang tahu-tahunya menyeret In Sook, Mi Do dan Se Yeon, termasuk mempertemukan In Sook dengan Woo Cheon sebagai pasangan kekasih yang fenomenal kemudian; juga langsung membuat series ini bukan melodrama biasa-biasa saja.

Sejujurnya saya berpikir, pemilihan aktor untuk series ini luar biasa. Mulai dari karakter anak sampai lansia semuanya all out. Mengapa? Karena dialog yang diucapkan sungguh mengena. Karena seluruh aktingnya perlu penghayatan ekstra.

Kim Kyung Nam yang memerankan Woo Cheon misalnya, berbicara dengan suara low tone selama melakukan dialog dengan semua lawan mainnya, dalam semua ekspresi. Padahal dalam film lainnya seperti Revolutionary Sister dan King of Eternal Monarch, suaranya lebih dinamis dan ekspresif.

Tipikal Perempuan Pekerja

Goo Do Shim pemeran nenek In Sook berhasil menggambarkan karakter nenek yang ‘lelah berjuang’ tetapi sekaligus menunjukkan bagaimana tipikal perempuan pekerja kelas bawah di Korea.

Kim Soo Hyung, anak pemeran Ji Hoo berakting dengan sangat apik menunjukkan pergolakan perasaan dan penerimaan seorang anak mendampingi Ibunya melalui hari-hari menjelang ajal.

Karakter yang ditunjukkan dalam series ini hampir keseluruhannya, termasuk cameo, menggambarkan aneka wajah manusia ketika berhadapan dengan situasi pelik. Siapa yang terbiasa berbohong, yang merasa jujur lebih baik, yang terus berpura-pura, yang merasa perlu menyembunyikan (seolah) demi kebaikan orang lain tuntas diperlihatkan.

Hal yang menambah menarik kemudian adalah kesedihan menghadapi kematian tak selalu digambarkan dalam satu ekspresi saja.

Ada yang merasa, dengan ‘menghilangkan’ orang jahat di saat terakhirmu, akan membuat nilai hidup yang sangat berarti.

Ada yang sengaja berpura-pura sudah sembuh sampai membuat perayaan, hanya untuk memberi harapan kepada pasien yang lain.

Ada lansia yang tahu-tahunya mendapat banyak pemasukan di ujung usia, tetapi dia merasa pendapatan itu akan lebih berarti dipergunakan untuk pengobatan teman yang lain.

Disandingkan dengan penelitian para ahli tentang konsep kematian, penulis skrip series menurut asumsi saya mengungkapkan kesemuanya dalam penceritaan.

KematianPsikologis

Kematian biologis ketika fungsi organ mulai berkurang sampai diakhiri oleh fungsi otak yang berhenti.

Kematian sosial saat tak ada satu pun mau mengunjungi atau berdekatan dengan seseorang menjelang ajal padahal besarnya kebutuhan akan kehadiran dan didengarkan seseorang ketika itu sangat besar.

Termasuk kematian psikologis ketika seseorang mulai siap menerima saat ajalnya dan meresponsnya dengan menarik diri dari berinteraksi dan bersosialisasi.

Sehingga saya menarik kesimpulan, pengambilan lokasi suting yang sebagian besar mengambil lokasi di semacam puri, bangunan tua bahkan dengan ruang bawah tanah, dll yang dijadikan hospice sejalan dengan materi kuliah lumenlearning tentang dying and death;

The modern hospice movement is traced back to London and Dame Cicely Saunders. She believed that people who are dying should be given autonomy of choices about their life, should be allowed to live always, fully, without being ostracized, and should be offered the mechanisms to die peacefully in comfort.

Ketika film, series atau apapun jenisnya yang menunggu kematian membuatmu merasa down, series ini justru membuka ruang seluas-luasnya akan harapan. Terlepas dari dirimu penderita kanker yang tinggal menunggu waktu atau tersangka kasus yang akan menjalani hukuman pidana yang bisa berisiko seumur hidup atau hukuman mati

Keinginan untuk melepaskan perlahan-lahan hal-hal menyakitkan yang telah dialami, lalu mulai mencintai dirimu dan hidupmu di saat itu, sehingga tak terasa ada yang membebani lagi.

Kutipan ucapan Mi Do saat live di SNS di saat tubuhnya makin sekarat menutup tulisan saya tentang keindahan menjelang saat ajal yang digambarkan.

Apakah kamu tahu keinginanku hari ini? Ya, bisa menelan air. Lucu bukan? Tapi itu kebenaran. Aku takut minum air karena sangat sakit rasanya di kerongkongan.  Ingat deh, sesuatu yang biasa dan bisa dilakukan olehmu, mungkin hal itu adalah keinginan besar dari orang lain.

LAINNYA

SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain

PARENTING 101: Curiosity Anak, Orangtua dan Akses Dunia Maya

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta