Sekarang ini, betapapun masih terbilang tanaman langka, tapi relatif mudah bagi masyarakat untuk mulihat bahkan menanam sendiri pohon dewandaru dalam pot atau di pekarangan. Pohon cantik, kaya dengan.mitos dan banyak.manfaat ilmiahnya. Tapi tak demikian di tahun 1980, saat saya merasa surprise ada pohon dewandaru (dan berbuah) di halaman rumah Mbak Henny Guntur.
HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 19/03/2023 – Pak Samhudi, bapak saya, bercerita bahwa di masa muda beliau pernah berprofesi sebagai anggota Marine (Angkatan Laut) di kapal De Seven Provinve, sebelum para kru kapal, yang umumnya orang Indonesia, memberontak, dan kapal perang kolonial Belanda canggih untuk zamannya itu, tenggelam di Laut Jawa.
Bapak lulusan Kursus Teknik Mesin di Surabaya, yang konon jadi cikal-bakal Institut Teknologi Surabaya. Bekerja di kapal, Bapak adalah bagian dari matros (pelaut) di kamar mesin. Banyak cerita Bapak ihwal kapal tempatnya bekerja sambil berlayar, sebelum kapal itu dibom sendiri oleh Belanda di tahun 1933, dan bapak termasuk bagian dari kelasi Melayu yang berhasil kabur ke darat.
Satu dari cerita Bapak yamg menarik perhatian saya adalah saat kapalnya singgah merapat ke Pulau Karimunjawa di Kepulauan Karimunjawa (yang terdiri dari 27 buah pulau) di utara perairan Jepara Jawa Tengah. Konon ada tim peneliti Flora dan Fauna dari Plantentuin Bogoriense (kini Kebun Raya Bogor) yang harus diantar dan dijemput dari Karimunjawa.
Satu materi yang tengah diteliti adalah keberadaan tumbuhan Dewandaru yang kayunya dimitoskan sebagai Tongkat Pulau Jawa.
Dari almarhum Pak Samhudi saya kenal mitos seputar pohon Dewandaru, yang kayu rantingnya konon biasa dijadikan tongkat oleh para pendekar dari Jawa, sejak Sunan Muria (seorang dari Wali Sanga) menemukan pulau yang tampak berkeremun (gemerlap) di tengan laut utara Jepara, dan lantas memberi nama pulau terbesarnya sebagai Karimunjawa, pulau dimana tumbuh Dewandaru yang batamgnya liat dan kuat, biasa dijadikan tongkat, dqn orang-orang sakti membawanya secara khusus menyeberang ke Pulau Jawa, sebagai tongkat sakti, liat dan kuat bahkqn oleh tebasan pedang.
Khabarnya, Sunan Muria Pula yang menghadiahkan sebilah Tongkat Paku Jawa serta beberapa biji/buah Dewandaru kepada Sunan Kalijaga. Tongkat kayu Dewandaru yang lqntas melekat pada sosok diri wali pencipta lagi Lir-Ilir yang terkenal itu, sementara benih/biji buah ditanam di benerapa lokasi di Pulau Jawa. Sejak itu, tumbuhan Dewandaru asal Karimunjawa bisa ditemukan di Tanah Jawa.
Bapak tak cuma ‘mendongeng’, tapi juga ada punya bukti berupa sebuah tongkat seukuran semeter dengan diameter pangkal seukuran lingkar duit gobang zaman Belanda. Terbuat (kata Bapak) dari kayu ranting pohon Dewandaru aseli Pulau Karimunjawa, yang biasa saya bangga-banggakan kepada teman-teman sebaya sebagai ‘tongkat sakti’, hi…hi…hi…!
Saya tak main-main menyebutnya ‘tongkat sakti’, karena bukan cuma kuat dan liat, tapi tongkat itu juga tenggelam bila diapungkan ke genangan air di kolam besar di langgar (surau/masjid kecil) di kampung.
Bangga sekali menyaksikan banyak teman sepermainan terkagum-kagum oleh ‘kesaktian’ tongkat Dewandaru koleksi Bapak yang bisa nyelem di air, tidak ngapung di air. Belakangan di sekolah baru saya bahwa tongkat tersebut bisa tenggelam di air karena BD (berat jenis) kayu lebih berat dari air, sedang jenis kayu lain (terkecuali kayu ulin) umumnya punya BD lebih ringan dari air hingga bisa ngapung.
Sayang, tongkat Dewandaru milik Bapak – yang Bapak juga nggak pernah menggunakan tongkat buat berjalan itu – raib entah kemana. Mungkin dicuri orang (karena biasa diletakkan saja di para-para samping rumah), atau dihadiahkan Bapak ke sahabatnya yang saya tahu tertarik banget memilikiitu tongkat? Entahlah.
Apa dan bagaimana rupa pohon Dewandaru yang dikisahkan Bapak sebagai tumbuhan endemik Pulau Karimunjawa itu? Saya baru benar-benar melihat sepokok pohonnya tahun 1980 (saya sudah jadi wartawan Majalah Famili pimpinan novelis almarhumah Titie Said Sadikun) di areal petilasan Gunung Kawi di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Di areal wisata minat khusus, dimana pengunjung umumnya datang buat nyekar ke beberapa makam.tua yang ada plus bersemadi memohon sesuatu, satu-satunya pohon dewandaru tua yang tumbuh juga jadi bagian situs yang dikeramatkan.
Satu yang tampak kasat mata adalah…banyak pengunjung Gunung Kawi yang bersengaja duduk-duduk atau tidur-tuduran di rerumput bawah pohon keramat tersebut, berharap kejatuhan buahnya yang ranum. Bahkan bila hanya kejatuhan daun keringnya saja, itu pun sudah dianggap sebagai berkat. Helai daun kering (apalagi buah) akan dibungkus kain bersih dan dibawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh khusus Gunung Kawi yang tak sembarang orang memperolehnya.
Benarkah mitos-mitos seputar pohon kayu (sekaligus pohon buah) dewandaru itu? Hak siapapun untuk percaya atau tak percaya akan mitos-mitos ataupun kekuatan gaib. Yang pasti, bagi saya, fakta dewandaru sebagai tumbuhan langka Indonesia dan endemik (?) Karimunjawa, terkuak lebar saat tahun 1981 saya dicangking Mas Kadjat Adra’i (wartawan dan abang kandung almarhum Bang Teguh Esha – pengarang novel Ali Topan Anak Jalanan) berkunjung ke rumah Mas Tok (Guntur Sukarnoputra) di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Timur.
Mas Kadjat ketemu Mas Tok untuk urusan merampungkan buku Sukarno Bapakku, Sukarno Guruku, sedangkan saya (kebetulan dicangking) untuk wawancara dengan isteti Mas Tok, yakni Mbak Henny Guntur Sukarnoputra yang sarjana pertanian lulusan UNPAD dan tempo itu punya hoby sebagai pemulia tanaman langka.
Pucuk dicita ulam tiba. Selain beberapa jenis pohon langka lainnya, di halaman rumahnya yang tak seberapa luas itu Mbak Henny juga ada menanam sepokok pohon dewandaru, tingginya sudah 2meteran dan sudah berbuah bergantungan cantik bulat berjuring-juring: hijau muda, hijau, kuning, dan merah dalu saat matang.
“Orang Sunda nyebutnya cereme leuweung atawa ciremai hutan, karena buahnya asam-manis-segar seperti buah ciremai, tapi pohonnya tumbuh di leuweung alias hutan, ungkap Mbak Henny Guntur yang Mojang Bandung.
Sebagai diungkap Mbak Henny Guntur, dari berbagai berkas pustaka (khususnya koleksi Perpustakaan Herbarium Bogoriense di Kota Bogor) saya tahu bahwa selain di Kepulauan Karimunjawa, dewandaru juga kedapatan tumbuh di banyak hutan tropika Indonsia, termasuk yang pernah saya foto di TN Ujung Kulon, Cagar Alam Sancang di Garut Selatan dan Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah.
Selain sebagai cereme leuweung, dewandaru juga dikenal luas sebagai pohon asam selong. Anda pasti ingat, di pinggir timur kawasan Kebayoran Baru ada kampung yang kini jadi Kelurahan Selong. Itulah kampung aseli di tanah Betawi yang diangkat fari toponimi pohon selong atau asam selong alias dewandaru.
Sekarang ini, betapapun masih terbilang tanaman langka, tapi relatif mudah bagi masyarakat untuk mulihat bahkan menanam sendiri pohon dewandaru dalam pot atau di pekarangan. Pohon cantik, kaya dengan.mitos dan banyak.manfaat ilmiahnya. Tapi tak demikian di tahun 1980, saat saya merasa surprise ada pohon dewandaru (dan berbuah) di halaman rumah Mbak Hwnny Guntur.
Cerita Pak Samhudi ihwal Sunan Nyamplungnan (dari kata ‘nyamplung‘, jenis pohon yamgbidentik dengan dewandaru) yang merupakan nama lain dari Sunan Muria, kisah-kisah mistik yang saya lihat di petikasan Gunung Kawi, mendorong saya tahun 1981 menyeberang dari Pelabuhan Jepara menuju Kelurahan Karimunjawa di Pulau Karimunjawa…
Saat itu zamannya Dokter Inpres, yakni dokter-dokter muda lulusan baru (berdasar Instruksi Presiden/ Inpres) dikirim ke berbagai daerah, khususnya daerah 3T (terpencil, terluar, tertinggal) untuk membantu tugas-tugas menyehatkan masyarakat. dr. Suyanto yang baru lulus dari Universitas Diponegoro diberitakan KB Antara mendapat tugas sebagai dokter-Inpres ke Kepulauan Karimunjawa yang saat itu masih berstatus Kelurahan dari sistem pemerintahan di Kabupaten Jepara.
Untuk menulis kisah sejati susah payahnya dr. Suyanto jadi dokter inpres, yang kadang masyarakat membayar ‘jasa’nya dengan buah sukun ataupun ikan, saya datang ke Karimunjawa. Sudah tentu juga untuk mencari tahu lebih jauh ihwal pohon dewandaru, yang kayunya banyak diselundupkan ke daratan Pulau Jawa.
Penyeberangan antara Karimunjawa ke Jepara saat itu cuma dilayani sebuah kapal kayu perintis berkapasitas sekitar 150 penumpang (diluar ABK), Kapal Dewandaru yang yang beroperasi pp, 1 x seminggu.
Ada kejadian unik saat Kapal Dewandaru hendak berlayar pulang menuju Pelabuhan Jepara, 4 jam berlayar dari dermaga kayu di Karimunjawa. Berkali-kali mesin kapal dipacu untuk berlayar maju, tapi lambung kapal tidak bergerak, seolah menempel di dasar pelabuhan.
Kebanyakan penumpang dan kelebihan barang bawaan? Tidak. Petugas sudah periksa jumlah penumpang dan akte jumlah penumpang. Tak ada yang lebih. “Ini pasti karena ada yang bawa kayu dewandaru,” ucap Nahkoda, serius. Sehera saja para ABK dan.petugas polisi melakukan sweeping kepada penumpang yang dicurigai. Tongkat-tongkat kayu dewandaru yang ingin dibaea keluar dan disembunyikan di tas ataupun ransel, disita dan langsung dibuang petuhas ke laut dari atas geladak disaksikan pemiliknya.
Tapi nyatanya Kapal Dewandaru tak juga bisa bergerak. Nahkoda yakin, masih ada penumpangbyang menyembunyikan tongkat dewandaru di kapal.
Mendadak Pak Lurah (orang yang paling dituakan di Karimunjawa) yang bersama dr Suyanto juga hendak menuju Jepara, mendadak menghampiri saya, penuh sopan berbisik ke telinga saya: “Hadiah yang dari saya itu, untuk sementara… dikembalikan saja, ya, ke laut…” kata Pak Lurah tanpa didengar orang selain dr Suyanto yang langsung menyambung: “…langsung menyambung; nanti, untuk Mas Heryus akan kami kirim lagi tongkat serupa langsung ke Jakarta, timpal dr Suyanto yang di’iya’kan Ki Lurah.
Diam-diam saya pun melorot keluar sebatang tongkat kayu dari tas punggung saya,. Tanpa ada mata yang tahu, selain Ki Lurah dan dr Suyanto tentunya, saya melangkah ke tepi geladak dan membuang itu tomgkat ke laut.
Aneh, mesin Kapal Dewandaru bisa dihidupkan kembali, dan bahkan lambung kapal kini bisa bergerak maju meninggalkan pelabuhan dan tiba selamat di Pelabuhan Jepara. “Terima kasih, Mas Wartawan sudah berkenan membuang itu tongkat,” kata Pak Lurah yang disertai anggukan serius dr Suyanto.
Saya legowo balik pulang ke Jakarta. Tapi sekitar 2 minggu kemudian, ke kantor datang paket kiriman tongkat dewandaru dari alamat dr Suyanto di Semarang.
Konon tongkat itu diikat dengan tali panjang, dicemplungkan kelaut, dan ditarik oleh seorang kurir yang berada di geladak belakang Kapal Dewandaru yang berlayan menuju Jepara, dibawa bus ke Semarang dan dipaketkan dr Suyanto kepada saya,. Hahaha…! ***
28/03/2023 PK 10:53 WIB.