Diwaktu bersamaan, Pengamat Sosial Politik, Ferdinand Hutahaean mengkritisi penyelenggaraan Formula E ini menjadi polemik untuk DKI Jakarta.
“Ada kepentingan politik dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sampai sekarang masyarakat tidak jelas mengenai penandatangan MOU dalam proyek Formula E,” kata Ferdinand.
Dalam cuitan tweetnya di media sosial, perlu diperjelas proyek Formula E ini. Untuk 2019-2020, pihak Pemprov DKI harus membayar 20 juta pound dan sudah dibayar kepada pihak penyelenggara, 2020-2021 harus membayar 22 juta pound, sampai tahun 2024 nanti harus membayar pemprov 29 juta pound.
Seorang Gubernur, menurut peraturan daerah, tidak boleh membuat anggaran diluar masa jabatan.
“Adanya temuan dari BPK, bahwa bank garansi sudah ditarik uangnya 423 milyar rupiah. Sangat penting adanya hak interpelasi,“ujar Ferdinand.
Sementara Praktisi Hukum, Jahmada Girsang mengatakan Legal Standing dari Formula E ini belum ada kejelasan dan transparansi. “Dalam dasar hukum, Legal Standing ini masih gelap dan nihil. Karena carut marut kasusnya saatnya KPK bertindak,” ujar Jahmada.
Patut diketahui, kata Jahmada, sejauh mana bentuk perjanjiannya?. “Apakah sudah ada komitmen fee, berarti perjanjian itu benar-penar ada, maka ada perjanjian, ini ada oneprestasi,” tandasnya, pada saat webinar yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) Indonesia.
Acara webinar ini turut dimeriahkan oleh Ketua Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) Djasarmen Purba yang dipandu oleh Pewarna DKI Jakarta, Raja R Saragih.(report)