Hari-hari belakangan ini kita sering mendengar orang mengucapkan kata friksi. Banyak yg menempatkan kata ini dengan benar, banyak juga yang salah. Tapi kasalahannya masih bisa ditolerir atau dima’afkan. Karena kesalahannya belum fatal, misalnya tak bisa membedakan antara kata friksi dgn fiksi.
Dari ‘bunyinya’ pastilah kata friksi bukan bahasa kita. Friksi berasal dari friction.
Secara harafiah, sebetulnya friction berarti: ‘pergesekan’ dari berbagai benda yang bisa mengakibatkan aus’.
Jadi sebetulnya, boleh-boleh saja jika seorang pemimpin mengatakan bahwa institusi yang dibawahinya memang sering terjadi friksi, karena pergesekan itu memang diperlukan dalam sebuah institusi.
Secara harafiah, friction atau pergesekan malah diartikan: pergerakan manusia, misalnya manusia melakukan pekerjaan, manusia melakukan perjalanan, manusia yang memindahkan benda-benda disekitarnya atau berinteraksi dgn org lain, bisa di sebut friksi.
Kenapa kita menjadi ‘tergiring’ untuk mengartikan friksi menjadi sesuatu yang negatif?. Karena friksi atau pergeseran itu, konon ujung-ujungnya adalah perbedaan pendapat. Hla,…so what, apa salahnya perbedaan pendapat?
Pada awalnya, perbedaan pendapat memang baik-baik saja bahkan diperlukan. Tapi untuk pribadi-pribadi yang belum siap, perbedaan pendapat bisa meruncing menjadi persilisihan, percekcokan, permusuhan bahkan perpecahan.
Dalam sebuah keluarga tentu saja juga terjadi friksi. Jika keluarga itu masih keluarga muda dan belum dikaruniai anak-anak, friksi itu biasanya masih seputar selera menata rumah, pilihan tempat tinggal, selera pilihan tempat makan, sampai kelakuan buruk pasangan yang tak atau belum diketahui sebelumnya.
Jika friksi itu berujung pada perbedaan pendapat, tapi tak terjadi perselisihan, friksi itu justru akan menguatkan.
Setelah memiliki anak, friksi juga terus mengikuti. Tapi tentu saja berkembang. Bagaimana mengasuh anak, bagaimana nendidik dst.
Jika anak-anak sudah dewasa, friksi pun terus mengikuti. Hla, jika friksi itu justru ada di antara suami-istri? Yah gak ada masalah, jika bisa dikelola.
Jika friksi dalam keluarga berkembang menjadi perbedaan pendapat lalu perselisihan? Beruntung jika anak-anak yang sudah dewasa terbiasa diberi keleluasaan untuk berfriksi, berbeda pendapat di keluarga itu, sehingga mereka bisa menyumbangkan fikiran untuk mengolah friksi yang terjadi dengan orgtua mereka bahkan friksi dalam keluarga bisa menjadi sesuatu yang positif.
Menurut dunsanak, yang mterjadi di negri kita sekarang-sekarang ini: friksi, perbedaan pendapat, perselisihan, percekcokan atau…
(Aries Tanjung)