Fulan bin Fulan

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Sebut saja dia Fulan bin Fulan. Manado ganteng, kulitnya bule, juga rambutnya, hingga banyak yang mengira dia orang Belanda, walau dia memang rada fasih ngomong cara Londo. Tampangnya rada mirip Roy Marten saat akting di film Cintaku di Kampus Biru. Ini sangat kontras dengan saya yang Jawa-Betawi, kulit gelap kusam dan tampang pas-pasan. Hingga bila kami jalan bareng, orang bilang kopi-susu, ha…ha…ha…!

Dulu kami musuh. Paling tidak, kami mulai hubungan kami dengan saling pandang, saat amprok di sebuah gang di keramaian sebuah pasar. Dia dari ujung sebelah sana, saya dari ujung sebelah sini. Dia bercelana jeans, saya juga bercelana jeans, sama belel, sama berjaket, dan sama gondrong, walau dia berambut jagung dan rambut saya hitam legam mirip ijuk pohon aren.

Saya tahu dia anak Kampung Jawa dan sering di hari Minggu dia antar dia punya oma ke gereja di hook dekat los pasar kue basah, dan rasanya dia juga tahu saya tinggal persis di depan masjid di pinggir Kampung Cina. Tapi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kata Jawa, gereja, masjid, Cina atau Tionghoa. Ini cuma soal dua anak muda yang selalu bakutatap tiap kali jumpa dan lantas saling buang muka.

Puncaknya pagi ini di gang yang tidak begitu lebar dan orang banyak lalu-lalang. Tak ada waktu buat buang muka. Kami sama ingin jalan ke muka, dan bahu kami saling bakusentuh. Saya merasa ada sikut masuk ke iga saya, atau…sikut saya yang lebih dulu masuk ke dia punya iga? Entahlah. Yang pasti kami lantas sudah terlibat pergumulan. Bakutinju, bakutangkis, bakutendang, bakupiting berguling-guling…

Tempo itu…cara anak muda berkelahi masih suceng, jantan dan bertatakrama. Setidaknya di kawasan kampung kami. Beranten ya berantem, bakutinju bakutangkis. Nggak ada alat bantu, pure tangan kosong. Orang-orang yang melihat, kebetulan juga warga sekitar situ dan beberapa anak muda yang bisa jadi sama kami kenal, malah memberi ruang, dan membiarkan kami berdua di tengah kalangan.

Berapa lama kami bertikai? Entah. Yang pasti, kemudian kami sama terhenyak dan terduduk di tanah, sama memegangi wajah yang bengap kena tonjok, di antara penonton yang tertawa, dan menyuruh kami melanjutkan aksi bila kami memang merasa belum cukup bakuaksi. Dia tak lepas menatap saya, saya juga tak lepas menatapnya. Tapi kini terasa ada senyum di bibir kami, senyum salut atas lawan.

Gimana? Lanjut, kita…?”

“Terserah. Lu jual gue beli…,” kata saya sambil melebarkan senyum. Bukan sinis.

Aneh, dia juga tersenyum lebar. Dan entah siapa yang memulai, kami lantas sama tertawa, sama bangkit, sama mengasongkan tangan, sama berjabat erat, dan lalu bakurangkul di antara tepuk tangan orang-orang. Lantas ada sepasang tangan yang merangkul kami dari belakang, mengajak berjalan ke los daging sapi, meminta (beli) beberapa iris daging has buat kami tempelkan sebagai obat lebam di wajah kami.

Sejak itu kami berteman, bersahabat bahkan seperti sodara, walau dia Nasrani dan saya Muslim. Tak masalah. Agamamu baik untukmu, agamaku baik untukku, tak harus dipersoalkan. Sesama saudara harus saling hormat, sama toleran sebatas toleransi yang dibolehkan. Begitulah kami, bersaudara, tahu sama tahu, sama menghargai kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti kopi susu.

Siapa mengira sekian belas tahun kemudian, saat kami sudah sama punya istri dan anak, sudah bosan hidup di jalan, eh…ternyata kami sama mencicil rumah type 21 dengan luas tanah 60 meter di komplek perumahan baru yang sama. Saya di gang sini, dia di gang sebelah, satu RW lain RT. Kami termasuk warga awal di situ. Maka ketika kian ramai dan padat warga, nyaris tak ada tetangga tahu bahwa kami kenal sejak dulu.

Tak ada yang tahu bahwa dulu kami pernah bakupukul, dan memang tak perlu harus tahu. Yang penting, sesama warga kita harus saling kenal, akrab satu sama lain, sama ikut menyelesaikan masalah lingkungan, sama menjaga dan membangun, makan bareng usai kerja bakti, ikut aktif menyemarakkan kampung saat acara tujuhbelas-agustusan, sama membantu Mas RW dalam menanggulangi dampak Covid-19.

Pagi tadi seusai nyapu serasah dan lelayu bunga yang berserak di depan rumah, seperti biasa saya lanjut gerak badan jalan cepat keliling komplek. Tiba di depan gang sebelah, ada bendera kuning terpasang di tiang listrik dekat situ, siapa lagi yang wafat di komplek yang memang sedang jadi zona merah ini? Semalam saya tidur agak lelap, tak mendengar berita apa-apa.

Innalillahi wainna ilaihi rojiun, ternyata Fulan bin Fulan sedulur saya sejak remaja. Sedulur yang memang agak lama tak saya dengar gurawan-gurauannya tiap kami berjumpa. Sedulur yang tak pernah cerita yang susah-susah. Tak tahu saya bahwa sudah lebih dua minggu dia di rumah sakit, dan semalam kitaran pukul 21:00 wafat. Sedih, tak bisa melayat. Dari rumah sakit dia langsung diantar ke kubur.

“Semoga lapang dan terang kuburmu. Semoga damai di sana…”

13/07/2021.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.