GADIS BERMATA SAYU

Timbul tenggelam, ingin menuliskannya di fesbuk. Namun, entah lupa atau saya sedang sibuk, akhirnya lewat begitu saja.

Keinginan untuk menuliskannya muncul lagi, lalu lupa, atau boleh jadi ketutup kesibukan lain lagi.

Mengganggu sih tidak, tetapi mengapa ingatan tentang sosok itu muncul lagi-muncul lagi.

Ya, beberapa kali ingatan saya menyenggol gadis sekitar di bawah 25  tahun itu, bertubuh sedikit kurus, agak tinggi,  berwajah tirus — menyiratkan menyimpan sesuatu.

Gadis yang berbicara lembut hampir-hampir tak terdengar suaranya tersebut, tiga kali ke rumah saya, di mana pada pertemuan terakhir ada hal yang bikin saya berkali-kali ingin menuliskannya.

Kisahnya dimulai sebelum Juni tahun lalu — di mana sekolah saya dulu, STM Negeri II Kimia Industri, Surabaya– akan mengadakan reuni di aula BeSS Resort, Lawang, Malang. Reuni ini menggunakan jasa EO. 

Karena pada reuni tersebut akan diluncurkan buku karya teman saya seangkatan yaitu Hadi Mulyanto berjudul ‘Jelajah Jejak Masa Sekolah’,  panitia  minta kepada mas direktur EO agar menyediakan tripod (jagrak) untuk menyangga papan poster yang antara lain tercetak copy kover depan buku tersebut yang didisain menarik. Di antaranya juga terdapat ‘space’ untuk ditanda-tangani  peserta yang hadir pada reuni itu nanti. Ukuran papan poster  yang dibikin mirip lukisan tanpa pigura tersebut: 120 cm x 80 cm. Papan poster ini saya pesan pada ahli pigura langganan saya di Jl. Raya Nginden seberang timur kebun bibit.

Selain itu ada sekian komponen lagi yang diminta ke EO guna mendukung peluncuran tersebut, seperti rekaman lagu ‘Padamu Negeri’, layar LCD, juga potongan kertas kecil-kecil yang bakal disemburkan dari “kanon” saat poster buku tersebut ditanda-tangani oleh hadirin, diiringi kumandang ‘Padamu Negeri’.

Rapat persiapan reuni sering dilakukan di kantor ketua panitia Utuh Agung Minarno  di Jl. Mayjen Sungkono, Surabaya. Beberapa kali juga dihadiri oleh mas direktur EO dan sesekali diikuti mbak ayu berjilbab bermata sayu itu.

Saya lupa nama mbak tersebut,  juga sudah lulus apa masih kuliah saat berinteraksi  dengan saya. Yang jelas  kuliahnya di prodi Ilmu Komunikasi UPN Jawa Timur, Surabaya. Dan saat saya tanya alamat rumah, menyebut kompleks perumahan Puri Mas, Rungkut, Surabaya, sekira 2 kilometer dari rumah saya. 

Perumahan ini terbilang kawasan kelas menengah. Dulu sekitar awal tahun 2000-an, kalau tidak salah dua kali saya kesini untuk menemui Wisnu Padma atlet menembak dan musisi yang pernah menjadi kibordis lagu-lagu Gombloh di awal karier musisi “tai kucing rasa coklat” ini, menemani Wiek Herwiyatmo ketua Dewan Kesenian Surabaya. 

Meski terbilang perumahan kelas menengah, selintas di bagian barat komplek ‘real estate’ tersebut terlihat beberapa rumah tipe-36 yang jumlahnya tidak begitu banyak.

Dua kali ke rumah saya, mbak ringkih ini menggunakan mobil Suzuki Karimun model keluaran awal warna hitam. Selalu tepat dari waktu yang disepakati. 

Untuk apa ke rumah saya? Ya untuk seputar keperluan  reuni, antara lain kalau tidak salah, menyerahkan keplek seluruh peserta reuni dan urusan lain lagi yang saya lupa.

Pada kedatangan yang ketiga, mbak ini datang seperempat jam lebih lambat. Saat itu nada dering HP saya berbunyi dan disusul: “Assalamualaikum …”

Sesudah salam saya jawab, terdengar ucapan: “Maaf, Pak Amang, saya sudah ada di depan rumah bapak …”

Lantas saya persilakan masuk. Setelah ngobrol sebentar, mbak yang senantiasa bersarung tangan ini segera mengeluarkan meteran dari tasnya dan mengukur panjang dan lebar poster  peluncuran buku yang sudah saya siapkan dan saya sandarkan di salah satu sisi tembok ruang tamu. Rupanya tripod yang diminta  panitia akan dibikin sendiri oleh EO, bukan beli baru atau pinjam.

Pamitnya, saya iringi dengan mengantar hingga pintu pagar, dibarengi pertanyaan dalam hati: diparkir di mana Karimun hitamnya?

Baru saja lamunan saya soal Karimun itu selesai, datang gojek dari arah utara dan berhenti persis di depan mbak yang wajahnya mirip artis Naysila Mirdad, hanya  mbak ini berkulit kuning (saya sih belum pernah ketemu Naysila Mirdad, hanya membayangkan kulitnya hitam manis mirip ayahnya yang  Jamal Mirdad itu).

“O… naik ojek to, Mbak …” kata saya datar.

“Pak Amang, ini ayah saya…” kata “Naysila” itu, seraya tangannya memegang lembut ujung atas telapak tangan ‘pak ojek’  yang sedang memegang bagian gas di ujung kanan setir,  dengan tawadu’. Dan kalimat tawadu’ itu pun diucapkan (kali ini) dengan volume agak keras namun tetap menyimpan kelembutan seperti sebelum-sebelumnya.

Lelaki di belakang kemudi ojek bertubuh tinggi berkulit kuning yang usianya saya taksir sekitar 50 tahun ini, lantas menatap ke arah saya dan mengangguk dan sedikit mengembangkan senyum. Saya pun masih dengan tertegun, lantas dengan cepat membalas “sapaan” lelaki tadi dengan senyuman.

Melihat situasi ini batin saya mengatakan, sepertinya lelaki ini tidak cocok berada di belakang kemudi ojek. Terlalu priyayi. Mengingatkan masa lalu tentang sosok yang pernah berjasa terhadap saya.

Motor ojek  itu lantas melaju ke arah selatan, dan menghilang di tikungan sebelah kiri jalan di kompleks perumahan kami.

Lantas, Karimun hitam itu? Alamat di Puri Mas  itu? Ya, begitulah… setiap orang punya cara untuk memecahkan problem masing-masing.

Kali ini saya melamunkannya dengan gundah. 

Saya bayangkan Mbak “Naysila” tadi sudah dirumahkan, mengingat iven-iven pernikahan atau peluncuran produk yang di-‘hendel’ EO sudah sangat sangat jarang  yang memesan. Sementara ojek motor juga tak seramai dulu karena dampak pandemi Covid-19.

Avatar photo

About Amang Mawardi

Penulis dan wartawan tinggal di Surabaya