Andy Sri Wahyudi yang lebih dikenal dengan nama Andy Eswe, mulai berteater sejak duduk di bangku SMA Sang Timur Yogyakarta. Lahir di Kampung Mijen, Minggiran, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta, pada 2004 mulai aktif berpantomim dan mendirikan Bengkel Mime Theatre bersama dua temannya, Ari dan Asita. Pada 2006, ia malah sukses mengajak Camat Mantrijeron mendirikan Teater TeMMu yang kini menjadi Teater Teman-TemanMu.
Pergulatan kesenian Andy Eswe sebagai dramawan, pantomimer, sutradara teater dan penulis, cukup panjang, intens serta membuahkan sejumlah penghargaan. Naskah teaternya Merayakan Kefanaan mendapat juara tiga lomba penulisan naskah yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta (2019). Salah satu pemenang Karya Terbaik program Jejak Virtual Aktor Tingkat Nasional Kategori Pantomim berjudul “Kesibukan di Ruang Bawah“, diadakan Kemendikbud RI (2020). Naskah Lakonnya “Bangun Pagi Bahagia” memenangkan Penghargaan Sastra Nasional 2020 dari Badan Bahasa Kemendikbud RI (2020). Berikut wawancara sesi kedua dengan dramawan pantomimer kelahiran 13 Desember 1980.
Dapat Anda jelaskan konsep berkesenian Anda?
Waduuhh… Ini sulit saya jelaskan. Bagaimana ya menjelaskannya. Sepertinya kurang pas jika dikatakan konsep. Karena saya kurang paham benar arti sebuah konsep. Mungkin bisa jadi ini perkara style atau gaya yang saya lakukan dalam proses kreatif. Saya merasa tidak pasti dan berubah-ubah cara kerjanya dalam menggarap sebuah karya. Berbeda-beda materi dan metode yang saya tempuh. Tapi saya menyadari sering berangkat dari gagasan yang sederhana dan biasa saja, seperti pengalaman keseharian atau mengamati karakter orang lain. Contoh: menyemangati diri, melihat tetangga yang stres, dialog politik, masa lalu, kisah cinta, menyayangi hewan dan alam dll. Kemudian saya ikuti perkembangannya dengan berdiskusi dengan teman, menyusun rancangan kerja, dan yang paling utama berimajinasi. Kadang dalam praktiknya sering gagal dan jelek, tapi saya coba lagi. Sering saya dikritik bahkan dihujat karena karya saya tidak bagus. Bagi saya karya jelek itu manusiawi sebab kita bukan Tuhan. Meskipun saya sendiri merasa masih jelek tapi tetap saya garap terus hingga merasa cukup dan bagus sesuai ukuran saya sendiri. Sering terjadi saat pementasan pertama berbeda dengan pementasan kedua dan ketiga meskipun judulnya masih sama. Dan efeknya jelas tanggapan penonton pentas pertama jauh berbeda dengan pentas ketiga. Dalam cerita ini saya hanya ingin bilang: Membuat karya itu jangan takut salah dan berani menanggung rasa malu.
Bagaimana proses kreatif Anda di bidang sastra?
Pengalaman seperti di atas terjadi pada seni teater maupun pantomim. Saya rasa dalam seni sastra tak jauh berbeda. Sering saya mendiamkan lama apa yang sudah saya tuliskan. Lalu saya membuka dan mencermati kembali setelah sekian lama saya tinggalkan. Saat itulah saya mempunyai sudut pandang dan daya kreasi baru selama berpisah dengan karya yang masih saya anggap kurang bagus. Hasilnya kadang membuat saya senang tapi kadang sering juga malah jelek dan gagal lalu saya diamkan saja karena sadar memang belum sampai pengetahuannya dan kurangnya amunisi untuk mengerjakan. Ada saatnya nanti saya tilik ulang setelah cukup amunisinya. Bersabar. Hehehehe…
O, iya saat menggarap karya pantomim apabila terkendala secara tehnik ketubuhan, saya mesti berani menggunakan media lain seperti benda-benda, alat musik, ruang dan apa saja yg akan saya eksplorasi untuk dijadikan sesuatu yang bernilai dan komunikatif.
Apakah itu berarti proses berkesenian itu terjadi dan berlangsung dalam keseharian hidup Anda?
Sebenarnya pengalaman hiduplah yang mendasari karya saya, kemudian berkembang dalam dunia imajinasi. Setelahnya saya diskusikan dengan beberapa teman. Dulu ketika saya mulai serius belajar seni pertunjukan, sering saya berdiskusi dengan Greg Sutanto, Whani Darmawan, Yudi Ahmad Tajudin, Ikun Eska, Kusen A.H. Chindil dan Joned. Mereka membimbing saya dalam banyak hal. Ada teman yang sangat mempengaruhi perjalanan kreativitas saya namanya Afrizal Malna dan Ong Hari Wahyu mungkin karena kami pernah hidup bertetangga di desa Nitiprayan jadi sering ngobrol ngalor ngidul. Hehehhw… Mereka berdua mengajari saya untuk menjadi merdeka dan liar dalam melihat sesuatu untuk kemudian menjadi makna-makna. Dari obrolan demi obrolan itulah saya mengolahnya dengan gaya saya sendiri meski kadang gaya mereka masih menempel di beberapa karya saya. Saya memaknainya sebagai kolaborasi yang diam-diam. Dalam kepenulisan naskah drama saya sangat terpengaruh Samuel Becket. Karena saya merasa Becket begitu serampangan, humoris, imajinatif, absurd dan egois. Pokoknya idup gue banget deh. Hehehe. Ya, masih banyak yang mempengaruhi saya lewat buku, film, seni rupa, musik dan persinggungan dalam hidup. Begitulah rantai kreativitas itu berjalan secara berkesinambungan. Maka mendengarlah. Duh, mungkin kurang dapat menjawab pertanyaan awal tapi begitulah yang dapat saya utarakan. Semoga bisa dipahami dan menginspirasi.
Menurut Anda bagaimana kondisi dunia kesenian di Indonesia dan di Yogyakarta khususnya?
Hahahaha… Menurut saya ini pertanyaan klise tapi tidak bisa saya jawab dengan sempurna. Mungkin karena saya tergolong Seniman yang egois hanya memikirkan diri sendiri sehingga tidak begitu mempedulikan kondisi dunia kesenian bahkan dinamika seni yang saya geluti. Pusing saya jika harus mengamati dunia kesenian, sebab saya bukan pengamat seni yang baik dan bukan kapasitas saya sebagai pengamat. Haduuhh.. Nanti saya bakalan capek sekali dan gak ada waktu buat pacaran. Hhmm… Apalagi memberi saran masukan pada pemerintah, buat apa? Dan saya itu siapa? Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Mending waktunya buat mengerjakan sesuatu yang membuat hati gembira dan syukur-syukur berguna.
Apakah menurut Anda dunia kesenian perlu support atau campur tangan pemerintah? Dalam bentuk apa?
Saya pikir sudah ada orang yang lebih berkompeten untuk memikirkan dunia kesenian baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi maupun nasional. Tentu saja dengan prosedur dan cara yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi dalam masa pandemi ini. Bahkan sebelum pandemi, saya sudah melihat pemerintah mengadakan program FLS2N yg mencakup banyak bidang seni termasuk pantomim. Program itu diadakan tiap tahun untuk pelajar sebagai ajang pencarian potensi dari tingkat kelurahan hingga nasional. Juga sudah ada program kompetisi karya terbaik bagi seniman secara umum, hibah pendanaan dan pemberian penghargaan seni dari pemerintah. Sayapun kadang ikutan dalam program tersebut. Dan banyak organisasi seni yang berkolaborasi dengan pemerintah. Toh juga sudah ada Dirjen Kebudayaan dan Kementrian yang bertugas memikirkan dunia kesenian. Di dalam instansi itu juga orang yang berkompeten menentukan kebijakan. Ada juga perkumpulan para seniman dan akademisi seni yang bercita-cita memajukan kesenian Indonesia. Baik di bidang teater, sastra, rupa, tari, musik, dan pantomim juga ada. Tapi sepertinya saya berada jauh di ruang pemerintahan dan organisasi seni tersebut. Saya kadang lebih asyik dengan dunia dan pemikiran saya sendiri. *