Terawan menghadirkan gajah. Gajah itu nyata. Ada belalainya. Ada gadingnya. Ada telinganya. Pakar-pakar IDI setelah melihat gajah sibuk mencari definisinya. Mereka membuat definisi sesuai pemahamannya.
Alih-alih membenarkan fakta bahwa gajah itu seperti yg mereka lihat dan saksikan sendiri, pakar-pakar IDI justru menganggap gajah itu nonsens. Karena tidak sesuai definisinya.
Gajah itu adalah fakta bahwa pasien stroke (dgn berbagai macam gejala seperti lumpuh, mata rabun, sesak, pusing, dll) sembuh setelah diterapi Terawan dgn metode DSA (cuci otak). Tapi karena metode itu tidak sesuai definisi IDI, jadilah Terawan dinilai melanggar etika kedokteran. Ia pun dipecat dari IDI.
Kata IDI, DSA itu untuk diagnosa. Bukan penyembuhan. Jadi sudah banyak orang memakainya. Terawan gampang saja menjawabnya: Kenapa dulu ente tak memakainya utk penyembuhan stroke?
Kisah ini mirip Colombus ketika menantang hadirin di sebuah pertemuan — siapa yang bisa membuat telur berdiri di atas meja? Orang-orang mencobanya. Tak ada yg bisa. Columbus pun maju. Ia ketok bawah telor itu di meja sampai remuk dan rata. Telor pun bisa berdiri.
Hadirin protes. Kalau begitu sih mudah Bus!Aku juga bisa. Colombus pun menjawab: Kenapa tak menerapkannya? Mereka diam.
Cerita Columbus dan Terawan ini bisa untuk mengcounter pakar-pakar IDI soal DSA.
Anda sudah terbiasa pakai metode analisis stroke dengan DSA. Tapi kenapa tak punya terobosan dan melihat DSA sebagai terapi?
Itulah kejelian Terawan. Ia bisa melihat hal yang biasa menjadi luar biasa. Seperti Newton yang melihat buah apel yang jatuh, kemudian menemukan rumus gaya gravitasi. Padahal hampir semua orang di Eropa pernah melihat buah apel jatuh dari pohonnya.
- Syaefudin Simon, Kolumnis