Ganti Watak, Bukan Sarungmu – Catatan Halaman 109

Penulis Jlitheng

Dingin bukan main pagi ini. Mungkin karena seharian hujan tak henti kemarin. Suasana terasa makin sunyi ketika anak-anak jadi enggan rame-same dengan tetabuhan mengajak tetangga makan saur. Lucu juga, karena mereka sering lama mandek di ujung rumahku, walau tahu kami tidak puasa lagi.

Lantas ingat peristiwa 61-62 tahun silam, 1960-1961, pada pagi seperti ini. Dinginnya lebih dingin, habis hujan seharian, di kaki gunung, di pinggir hutan, rumah kami.

Memaksa kami mancal sarung lagi. Njingkrung mempertahankan hangat tubuh yang tak seberapa. Tiba-tiba sunyi yang dingin itu dipecah oleh jeritan ayam… “keok, keok, keok” menjauh, diterkam dan digondol (musang).

Musang lagi dan lagi… Satu lagi betina hilang. Hilang pula butir-butir harapan dari telur yang tak jadi nyata. Satu telur, satu kobok beras. Masih jauh larut malam, sudah berkeliaran musang berburu ayam.

Tentang musang, Daoed Josoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 1978-1983, menulis tentang Musang Berbulu Ayam, pernah dimuat di Harian Kompas 2014.

Ungkapan Daoed Joesoef itu, masih hidup hingga kini. Musang berbulu ayam berkeliaran di mana-mana.

Kiasan ini mirip dengan kiasan “serigala berbulu domba”. Sekalipun musang telah berbulu ayam; sekalipun serigala berbulu domba, tetap saja watak buruknya tak dapat dihilangkan. Lupus pilum mutat, non mentem, serigala mengganti mantel (bulunya), bukan wataknya. Begitu kata pepatah.

Seseorang yang dari luar terlihat baik dan lembut, padahal sangat kejam dan culas, itulah serigala berbulu domba atau musang berbulu ayam. Mencelakakan, menipu atau berkhianat terhadap teman atau keluarga, umat atau rakyat sendiri, itu sifatnya.

Fenomena musang berbulu ayam, dalam wajah-wajah anak muda pejuang keadilan bentukan bohir-bohir tak berperikemanusiaan itu, sangat mewarnai jagad medsos hari-hari ini. Tampil, sangat mengenaskan, culun, innocent, tanpa rasa bersalah, menyampaikan pidato kebenaran-kebenaran palsu dan menghidupkan kembali penyesatan “isih luwih enak jamanku to”.

Diam saja, tapi senenge maido, tidak memberi solusi, membayar kebaikan orang lemah demi keuntungan pribadi, terlalu perhitungan, tidak mau bergetah, inginnya selalu bersih. Mungkin itu wajah musang berbulu ayam yang makin tak mudah ditengarai.

Luntur sudah semangat kebangkitan. Di dalam diri ini ternyata masih banyak tersimpan data lama yang perlu dibersihkan bahkan dibuang.

Jika tidak dibersihkan bahkan dibuang, doa, puasa bahkan paskahpun tidak akan merubah banyak. Sebab, akar gelapnya masih hidup.

Ya Tuhan, saya tidak pantas datang kepada-Mu. Bersabdalah saja maka saya akan sembuh.

Salam sehat dan tetap tekun berbagi cahaya.