Sesungguhnya antara kebaikan dan kejahatan ada perbedaan yang hanya terpisahkan oleh garis tipis terselubung dan tak terlihat. Baik akan bergelut dengan jahat dan sebaliknya. Keduanya berjalan di lintasan waktu tanpa paduan warna hitam atau putih.
Mencari kebaikan pada raga yang nyata dari bentuk tubuh berkepala dengan segala isinya, telah membawa praduga pada satu kesimpulan subyektif, kata ‘baik’ hanya dicerna dengan aroma khayali dari tatap awal suguhan lakon sekejap penuh rekayasa. Dan di masa yang tertera ke depan, baik menjadi bias, bergelut pada aroma jahat yang menyesap diam-diam.
Baik dan jahat mengendap tetap di sarang benak, merangkai lakon dari ribuan sikap yang terkadang penuh rekayasa, kadang polos seputih kertas tanpa guratan.
Begitulah balutan praduga, yang baik ternyata jahat, jahat hanya prediksi, kebaikan tersamar oleh sikap dan tampilan. Keduanya menyatu pada campuran perasaan yang selalu muncul diam-diam, berpadu hingga akhirnya menyembul di beberapa kata dengan pelukan tanya, “baik atau jahatkah saya? “
Lalu saat gawai itu terjatuh bebas tanpa kesadaran penuh dari si pemilik, rasa cemas menguat, beradu pada tanya dan sesal berkepanjangan. Baik dan jahat merayap diam-diam. Jahat lebih mendominasi. Tak ada yang selamat apabila benda berharga terjatuh di ruang publik. Hukum kuasa dari sebuah kepemilikan benda tak bertuan, berlaku di mana dan kapan saja. Menjadikan benda dengan teknologi super sebagai alat komunikasi itu seringkas mungkin ke bentuk lembaran uang kertas, adalah proses kerja terasyik dan ternikmat dari si penemu. Gawai itu berada dikendalinya.
Dan sang pemilik meradang dengan air mata pedih. Dunia yang penuh carut-marut luka, lebih didominasi dari si jahat. Praduga itu absah dengan subyektifitas penuh dan data yang tersimpan di dalam gawai adalah segalanya, menyatu pada beragam kepentingan yang tertanam kuat pada chip bisu tanpa suara, namun terisi makna yang tiada tara. Harap pupus tanpa kata-kata. Meski demikian, doa selalu bersemayam di dada, terlantun tanpa suara.
Dan kisah ini bergulir tanpa hambatan. Menyatu pada si baik serta jawaban doa tulus tak bernoda. Yang tak terduga akhirnya menemukan titik terang dari sebuah perjalanan cahaya di tengah kemelut dunia, di mana sebuah populis kehidupan kemanusiaan lebih didominasi dari si jahat. Kemudian dugaan itu membias. Seseorang menelpon, mengabarkan ada sebuah gawai di tangannya!
Maka persepsi awal runtuh. Gawai itu diberikannya dengan sempurna. Harapan pada kebaikan yang ternyata masih ada, memulas dugaan awal. Si jahat tersingkir untuk sementara. Meski cuma setitik noktah, kebaikan tetap bersemayam di hati. Lalu ada kata tersembul tanpa rekayasa, “Berbuat baiklah selalu, agar karma baik menerpa seluruh jiwa dan ragamu.”
Demikianlah. Gawai itu mendekam nikmat di genggaman tanganku, tanpa cacat maupun cela. Satu kalimat terkirim untukmu, untuk kebaikan yang masih tersisa dari sengkarut dunia serta keserakahan manusia, terima kasih Ali.
Tamat
Mari mengolah kata dengan kemesraan yang paling hakiki dan murni
Oleh Fanny J. Poyk