Gatot , Cenil, Thiwul, dkk Nyerbu Jabodetabek

Bagi warga Ibukota , serbuan jajanan pasar khas Jawa ini bukan hal baru. Sejak saya kecil  tiap pagi ada saja ibu-ibu bakul gethuk keliling kampung menjajakan jajanan pasar itu (termasuk Gatot, Thiwul, Cenil, dan lainnya). Mereka juga ada nyaris di tiap pasar basah dan sayur-mayur, bahkan tak jarang di pinggir luar pagar sekolah. Pembeli menerima jajanan yang dipedannya dalam bungkus pincuk daun pisang

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

SEIDE. ID –  Jakarta dan (kini) sekitarnya memang sebuah melting pot sekaligus kue ekonomi terbesar Indonesia, menampung banyak kaum endonan dari berbagai daerah yang datang tak cuma untuk cari penghidupan lebih baik  sekaligus juga mereka membawa serta ragam budaya asal.

Pendatang dari berbagai etnik budaya misalnya, antara lain datang ke Jakarta dan sekitarnya dengan juga membawa tatacara atau kebiasaan mereka di bidang kuliner. Kini misalnya, nyaris tak ada jenis kuliner Nusantara yang tak bisa didapat di Jakarta. Bahkan ada gerai atau lapak khusus yang menyediakan kuliner (luar Betawi) yang kita kangen menyantapnya.

Satu jenis kuliner daerah yang sejak tempo doeloe menjadi hal biasa dijual di Jakarta adalah kuliner pagi (karena biasa dijual dan disantap pagi hari) berbahan umbi singkong yang diparut dan dioleh menjadi makanan yang mengenyangkan, dan populer sebagai Jajanan Pasar

Disebut Jajanan Pasar karena kuliner ini biasa dijual di pasar dan berpredikat sebagai jajanan (yang dibeli orang sekadar untuk jajan). Thiwul, Gethuk, Gatot, Cenil, adalah bagian dari jajanan pasar dari bahan umbi singkong uang sejak dulu populer di Jakarta dan sekitarnya

Disebut Jajanan Pasar karena ragam jenis jajanan ini biasa dijual di pasar. Antara lain Thiwul, Gethuk  Gatot, Cenil yang kesemuanya terbuat dari umbi singkong.

Bagi warga Ibukota , serbuan jajanan pasar khas Jawa ini bukan hal baru. Sejak saya kecil  tiap pagi ada saja ibu-ibu bakul gethuk keliling kampung menjajakan jajanan pasar itu (termasuk Gatot, Thiwul, Cenil, dan lainnya). Mereka juga ada nyaris di tiap pasar basah dan sayur-mayur, bahkan tak jarang di pinggir luar pagar sekolah. Pembeli menerima jajanan yang dipedannya dalam bungkus pincuk daun pisang

Zaman berlanjut. Jakarta kian.mekar dan lebar. Sepuluh atau sebelas juta penduduk (senagian besar warga endonan asal berbagsi daerah) baik yang tinggal di rumah sendiri, maupun yang memilih ngontrak atau sewa bulanan di rumah-rumah petak. Bahkan keramaian Jakarta bertambah padat dengan tumbuhnya kota sekitar hang padu sebagai Jabodrtabek.

Dengan keberadaan penduduk yang padat itu, Jakarta (dan Bodetabek) sungguh menjadi pasar besar ragam.produk. jangan tanya soal kuliner. Apapun kuliner Nusantara, nyaris selalu ada dan dijual orang di Jakarta dan sekitarnya. Termasuk Jajanan Pasar yang diolah dan disiapkan kaum pendatang dan dijual ke konsumen tradisionalnya di banyak tempat.

Tapi berbeda dengan tempo doeloe  kini jarang lahi kita temukan kaum Ibu menggendong bakul jajanan pasar berkeliling kampung. Yang bersepeda pun jarang. Bahkan juga di pasar tradisional di kawasan pinggiran.

Apakah jajanan pasar khas Jaws itu telah punah di Jakarta? Tentu saja tidak. Sebab penggemar dan pembelinya masih banya, bahkan ada trend orang gedongan pun suka jajanan pasar, hihihi…!

Kemarin.pagi di gang komplek rumah saya di kawasan Tangerang Selatan, Banten, terdengar suara penjaja: “Thiwul…! Gatot…! Cenil…!”

Itu bukan suara Mbak-Mbak, melainkan suara Mas Teguh yang mengendarai sepedamotor dan perlahan-lahan menggeleser keliling gang menawarkan jajanan pasar sebahai alternatif sarapan pagi.

Wadah makanan yang dijualnya bukan lagi bakul, melainlan kotak plastik besar. Demikian pula jajanan pasar yang dijual, tiap porsi sudah diwadahi kantong plastik bening, juga urap kelapa untuk topping. Serba praktis. Pembeli tinggal tunjuk jenis jajanan yang ingin dibeli, dan Mas Teguh tinggal mrngkalkulasi berapa harga yang harus dibayar pembeli.

Mas Teguh asal Gunungkidul, Yogyakarta. Beberapa tahun silam dia (beserta isteri dan 2 anak) hijrah ke Jakarta untuk cari penghidupan yang lebih baik, dan.mengontrak sepetak kamar di sebuah kampung di Pondoklabu, Jakarta Selatan

Mas Teguh tidak sendiri. Setidaknya ada sebelas atau duabelas teman sedaerah yang sama memboyong istri dan anaknya ke Jakarta, sama tinggal di rumah petak, sama berprofesi jadi pedagang keliling jajanan pasar. “Modalnya cuma sepedamotor dan  petralite buat keliling harian,” ungkap Mas Tehuh.

Barang dagangan, yang sudah dibungkus plastik bening serta disusun rapi dalam kotak besar yang bisa ditumpangkan di jok belakang sepedamotor, diambil dari rumah “Bu Bos” yang rumahnya tak jauh dari rumah petak tempat tinggal Mas Tehuh.

Bu Bos yang dimaksud, tak lain adalah Yu Surti,  juga asal Gunungkidul Yogyakarta, yang sudah lama ngendon di Jakarta bahkan berjodoh dengan orang Betawi, dan kini punya rumah sendiri “Bos Surti  dulunya juga Bakul Thiwul keliling. Kini ada lebih dari 20 orang yang tiap subuh ambil dagangan darinya,” cerita Mas Teguh.

Mas Teguh berkeliling dengan sepedamotornya tiap hari (kecuali Senin) antara Pk 06:00 s/d 10:00 wib, dengan menyasar komplek-komplek perumahan yang banyak tumbuh di pinggir selatan Jakarta, termasuk komplek tempat tempat saya tinggal, sekitar 12 Km dari Pondoklabu.

Menurut Mas Teguh, jajanan pasar dijualnya dengan sistem konsinyasi. Hanya yang terjual yang dibayar, yang tsk terjual dikembalikan ke Bu Bos (biasanya langsung dijemurnuntuk diolah jadi pakan ternak). Tiap berkeliling setidaknya dia bisa menjual sedikitnys 100 bungkus, dengan keuntungan Rp2.000 tiap bungkus terjual.

“Lumayan lah, Pak…!” katanya, sederhana. *

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.