Sebelum menjadi Gelora Bung Karno, area Senayan dulunya adalah Kampung Balur, Petundun, Pejompongan dan kawasan terluasnya adalah Kampung Senayan. Sekitar 1.688 rumah, kandang ternak, warung digusur diruntuhkan untuk membangun GBK dan fasilitas olahraga lainnya . foto Arsip Jakarta.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
“Alhamdulillah. Gelora Bung Karno (GBK) dibuka lagi buat warga Indonesia nyang mau olahraga, lari pagi, dengan tetep patuh prokes Covid-19, Itu tandanya, Kota Betawi, tumpah darah Abang, udah kagak zona merah lagi. Udah mulai ijo royo-royo lagi, kata Bang Anis. Tapi tetep aje ye, Bang…! Kita, Indonesia tetep kagak boleh lengah,” kata Mak Wejang. “Ngomong-ngomong…Abang nggak kangen, nyaba GBK…?”
Walau sudah lama jadi warga Banten, tentu saja saya selalu menyimpan rindu, punya rasa kangen pada Betawi, yang tahun 1942 resmi disebut tentara pendudukan Jepang (yang fasis) sebagai Kota Jakarta, hingga zaman Presiden Joko Widodo sekarang ini. Betawi yang bukan cuma di satu sudutnya saya ‘mbrojol’, tapi juga lekuk-lekuknya yang penuh ukiran kenang. Antara lain, ya… GBK dan Senayan area itu.
“Ngomong-ngomong soal GBK, aye jadi inget sinetron Si Doel Anak Sekolahan nyang tayang antara taon 1994 – 2005, dan skenarionya dibikin sama sedulur Abang, Harry Tjahjono. Dikisahin di satu episode ihwal Kasdulah alias Si Doel (diperanin Rano Karno) diajak Babenya (Benyamin Sueb) nyaba ke Stadion GBK setelah Si Doel lulus jadi tukang insyinyur,” kenang Mak Wejang penuh haru.
Kenangan dan rasa haru Mak Wejang juga menuntun ingatan saya pada adegan sinetron tersebut, khususnya saat Babe melontarkan kritik halus penuh satire. “Gue cuman mau ngajak lu biar lu tahu bahwa di sini bekas tanah leluhur lu,” kata Babe di adegan tersebut. “Di sini rumah gua dulu,” lanjut Babe saat mereka berada tepat di bawah satu tiang gawang di pojok lapangan rumput GBK
Lela, nyaknya Si Doel, istrinya Babe lantas tanya, “Kok Abang masih inget?” “Ya inget, dong. Orang dibrojolin di sini. Nah, di situ ada pohon gatet. Di sono, pohon duren,” papar Babe dengan sorot mata nerawang jauh. Sekali lagi ini kritik halus penuh satire, betapa sejak dulu (hingga sekarang) banyak orang Betawi kudu mingser ke belah pinggir, rumahnya kena gusur demi pembangunan kota baru megapolitan Jakarta.
Sebagaimana juga saat Belanda (dan Prancis) membangun Kota New York di Negara Bagian New York – Amerika Serikat, yang menyingkirkan penduduk asli Amerika (yakni suku-suku Indian Algonquian, Iroquois, dan Lenape), Jakarta yang megapolitan ini juga dibangun dengan banyak menggusur kampung-kampung warga Betawi, Juga saat Indonesia perlu venue untuk ajang Asian Games 1962, dan membangun GBK.
Budayawan Abdul Chaer, yang juga andil dalam pembuatan Kitab Besar Bahasa Indonesia, dalam buku bertajuk Jakarta Tempo Doeloe, antara lain menyebut bahwa Senayan area dulunya adalah Kampung Balur, Petundun, Pejompongan dan kawasan terluasnya adalah Kampung Senayan. Sekitar 1.688 rumah, kandang ternak, warung digusur diruntuhkan untuk membangun GBK dan fasilitas olahraga lainnya
Kebun dan sawah beralih fungsi, sekitar 700.000 batang pohon ditumbangkan. Korban penggusuran dapat ganti rugi Sekitar 60 ribu jiwa warga Kampung Senayan dipindahkan ke kawasan Tebet, Slipi, Pondok Pinang – Kebayuran Lama, Condet, dan Ciledug serta Ciputat di Tanggerang. Sebagian lagi, dengan dana konpensasi yang diterimanya, memilih membeli tanah di kitaran Parung, Bogor.
“Ini semua bukanlah untuk kejayaanku. Semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,” kata Bung Karno ihwal pembangunan GBK, seperti dikutip Cindy Adams di buku Otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Dibangun tahun 1960, atas dukungan Uni Soviet di era Perdana Menteri Nikita Kruschev, untuk venue Asian Games 1962, Stadion GBK juga dinilai sebagai politik Sukarno untuk melambaikan tangan ke dunia.
“Dimana-mana, pembangunan fisik memang selalu begitu, ye, Bang…!” celetuk Mak Wejang. Ya, itulah pembangunan. Yang terpenting semua (yang tergusur) mendapat ganti selayaknya. Tak ada protes, sebagaimana mantan warga Senayan Area yang kini ajeg jadi warga di kampung-kampung barunya di Betawi. “Dan GBK nyatanya emang ada banyak guna, ye, Bang! Nggak cuma buat para atlet, tapi juga orang kebanyakan.”
Saya mengangguk-angguk, mengiyakan apa kata Mak Wejang. Tak cuma nonton aksi pesepakbola Ramang dan Djamiat tempo dulu, saya juga pernah nonton aksi grup musik rock Deep Purple di GBK. Juga hari-hari biasa, dimana saya biasa jalan pagi, ‘tawaf’ berkeliling GBK lima putaran yang berarti 6 Km dalam tempo 1 jam bersama para Perjaka Senja alias Perhimpunan Pejalan Kaki Senayan Jakarta, ha…ha…ha…! ***
22/08/2021 Pk 19:37 WIB