OLEH MAS SOEGENG
Gelar sepatutnya hanya pantas dipakai di saat kita mempertanggungjawabkan hasil kerja kita. Penelitian, riset, makalah atau membuat proposal sebuah proyek. Di luar negeri, gelar memang hanya dipakai untuk itu, sebab gelar tidak otomatis dikawinkan dengan nama kita. Di Indonesia, gelar masih menjadi kebanggaan, bahkan untuk menaikkan martabat.
Ada gelar akademik dan gelar profesional ( dokter, insinyur profesor, sarjana), ada gelarpemimpin agama ( ayatulah, bisku, iman, karadinal, syeh), gelar jabatan kepala negara ( presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota), gelar sosial ( encik, ibu , bapak), namun tidak serta merta disandingkan dengan nama si pemilik. Joko Widodo seorang presiden, namun, banyak orang hanya menyebut Jokowi. Beliau santai saja.
Jika diperlukan, Bapak Joko Widodo hanya mencantumkan gelar akademiknya Ir. Joko Widodo. Jika ia gila gelar atau jabatan, mestinya ia sudah bergelar berderet-deret. Sampai sekarang sudah ada 52 universitas dan kerajaan yang akan memberikan gelar pada Bapak Jokowi, namun beliau menolak dengan halus.
Padahal presiden sebelumnya, seperti SBY, Bung Karnoi, Megawati, Habibie, paling senang diberi gelar, sebab memang orang yang berkuasa dimanapun, senantiasa memiliki ggelar yang panjang berderet-deret. Presiden kita satu ini, Joko Widodo, memang unik.
Gelar hanyalah awalan ( prefiks) atau akhiran ( sufiks) yang ditambahkan pada nama seseorang untuk menandakan suatu penghormatan, jabatan resmi, atau kualitas akademis atau profesional. Jabatan Handrawan Naadesul semestinya banyak, Mengingat dia senimal juga, maka ia jarang memakai nama gelarnya. Kecuali untuk menulis disertasi, jurnal atau menulis yang berhubungan dengan profesinya sebagai dokter atau doktor.
Di lingkungan sebuah cluster di BSD, oleh beberapa satpam, saya sering dipanggil Pak Haji. Semua orang yang dihormati oleh Satpam atau security, akan dipanggil haji. Saya tidak pernah ke Mekah dan tetap dipanggil haji.
Beberapa orang tidak dipanggil dengan gelar tapi menyebut diri mereka sendiri sehingga orang lain ikut menyebut diri orang tersebut. Teman saya ingin menyumbang anak yatim. Ia membuat spanduk besar bertuliskan : Sumbangan oleh Ustadz Jalidin. Besoknya Jalidin yang tak pernah ke mekah atau ceramah, dipanggil pak ustad. Apalagi ia memakai busana model ustadz.
Nur Sugik juga menyebut diri sendiri sebagai Gus Nur sekaligus ustads. Padahal ia tak pernah memproleh pengetahuan tentang agama. Ia hanya lulusan SD. Tapi karena ia memanggil dirinya sebagai Gus Nur dan seorang Ustadz, semua memanggil demikian.
Hati-hatilah memanggil seseorang dengan sebutan gelar. Jangan sampai disebut ustadz tapi tingkah lakunya tak menunjukkan penyebar agama. Jangan terus-menerus menyebut habib tapi kelakuannya tak beradab.
Kebanyakan orang tak peduli, sebab sudah terkesima dengan gelar-gelar tersebut. Tetapi orang yang waras pasti malu menyebut gelar namun tak sepadan dengan kelakuannya.
Bukan hanya lucu, tapi juga bikin malu. Apalagi menyebut keturunan nabi tapi akhlak dan kata-katanya tak mencerminkan orang suci. Msak ada seorang keturunan nabi sampai dipenjara. Kasihan nabi…
BACA JUGA TULISAN MENARIK INI:
Rahasia Sebuah Kertas yang Membuat Greysia Polli Memperoleh Medali Emas Olimpiade
Meninggikan Buya Hamka, Merendahkan Bung Karno
Jalan Kaki Tergopoh-gopoh Lebih 10 Manfaat Plus 1 Manfaat Berharga Tak Perlu Stent Jantung