Dengan dugaan untuk mendulang suara, politisi sok populis sengaja merusak tatanan dan aturan yang seharusnya dia jaga. Sok menolong rakyat tapi melanggar aturan. Tunduk pada penyerobot lahan, melindungi tukang patok tanah, penadah dan oknum sekongkolannya.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SETELAH Tanah Merah yang terbakar di Plumpang, dengan dampak warga menuntut Perum Pertamina memindah depo penyimpanan BBMnya – karena sudah lebih 20 tahun tinggal di sana – kini warga yang tinggal di pinggiran rel KA di Pejmpongan, Jakarta Pusat, juga menolak dipindah. Dalihnya sama, sudah tinggal di sana selama 20 tahun lebih dan dibiarkan. Sudah nyaman.
Sudah jamak dan jadi pengetahuan awam sehari hari, yang utang lebih galak dari yang ngutangi. Abdi Negara yang mesti melayani lebih galak dari yang dilayani. Yang nyerobot tanah negara merasa lebih berhak dari yang punya surat tanahnya. Malah lebih galak dari yang punya surat hak kemilikan. Dengan mengatasnamakan rakyat dan orang susah.
Sementara itu, di tengah bencana, ada juga, tampil politisi memberi karpet merah pada penyerobot tanah, pencaplop bidang tanah yang bukan haknya, ikut menyuburkan mafia tanah.
Dengan dugaan untuk mendulang suara, politisi sok populis sengaja merusak tatanan dan aturan yang seharusnya dia jaga. Sok menolong rakyat tapi melanggar aturan. Tunduk pada penyerobot lahan, melindungi tukang patok tanah, penadah dan oknum sekongkolannya.
Sebagai pejabat negara dan pelaksana undang undang, mestinya pejabat berpihak pada yang benar, kepada warga yang taat aturan, yang patuh pada undang undang negara. Bukan berpihak pada tukang caplok dan tukang kemplang.
Kalau aksi penyerobot tanah negara ditolelir, dibiarkan dan dimanja, maka akan lebih banyak gerombolan yang mengikuti jalur mereka dan yang patuh aturan hilang kepercayaan. Hopless.
Mereka juga merasa berhak menuntut rel kereta juga dipindah ? Yang numpang jadi lebih galak yang ditumpangi. Karena politisi suka menebar janji.
“Jangan dibalik-balik. Plumpang itu sudah dibuat di sana, ada daerah kosong atau buffer zone. Jangan ini (depo) yang disuruh pindah – orang yang tidak berhak di situ yang harus pindah,” mengutip pernyataan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di Pushidrosal TNI AL, Jakarta Utara, Senin (6/3/2023).
“Jangan bolak-balik, kita jangan membuat berita itu. Karena nanti setiap waktu akan seperti itu. Oleh karena itu, memang harus dikaji, memberikan kompensasi atau bagaimana,” kata dia lagi.
Luhut juga menambahkan bahwa orang yang memberikan izin kepada warga agar tinggal di kawasan depo itu tidak benar. “Yang memberikan izin itu saya kira tidak benar. Karena itu tanggung jawablah, sudah ada berapa nyawa hilang,” kata Luhut.
Pernyataan yang lebih keras datang dari pengamat migas, Dr. Kurtubi. “Jangan salahkan Pertamina. Salahkan yang melegalisir. Mencuri itu! Saya tahu persis itu tanah Pertamina! Siapa yang legalisir, diurus itu! Pertamina saja yang disalahkan!”.
SEBELUMNYA, Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin mengusulkan Depo Plumpang dipindah menjauhi permukiman padat penduduk. Usulan itu muncul ketika Ma’ruf Amin bersama dengan Menteri BUMN Erick Thohir meninjau tempat kejadian kebakaran.
“Saya berharap supaya depo ini supaya lebih aman itu bisa direlokasi di pelabuhan di daerah Pelindo,” ujar Ma’ruf, Sabtu (4/3/2023), dikutip dari Kompas TV.
Wapres yang biasa nyaman di kursinya, turun ke lapangan, meninjau wilayah korban kebakaran hebat di Plumpang Koja, Jakarta Utara. Ada 19 orang dilaporkan meninggal dunia dan 49 luka-luka akibat kebakaran ini. Sementara, ratusan lebih dari seribu warga setempat mengungsi di sejumlah lokasi.
Kawasan Tanah Merah merupakan sebutan wilayah yang meliputi tiga kelurahan yakni Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan di Kecamatan Koja, serta Kelapa Gading Barat di Kecamatan Kelapa Gading.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, Tanah Merah merupakan milik negara dengan status hak guna bangunan (HGB) atas nama Pertamina. Total tanah negara di Tanah Merah mencapai 153 hektar. Namun area yang digunakan sebagai Depo Pertamina Plumpang hanya sekitar 70 hektar. Sisanya, sebanyak 83 hektar dicaplok (okupasi) warga.
Pertamina memiliki lahan di Tanah Merah sejak tahun 1968 dengan membelinya dari PT Mastraco. Pada tahun 1974 Pertamina mulai memagari tanah tersebut. Sejak 1980-an warga mulai banyak menghuni kawasan yang belum dimanfaatkan oleh Pertamina. Entah mengapa dibiarkan jumlahnya terus menyeruak, sehingga sebanyak yang sekarang ini.
Tanpa rasa malu dan rasa bersalah warga justru menantang surat kepemilikan Perum Pertaminan, alih alih menunjukan surat kepemilikan tanah dari mereka sendiri, sebagai penghuni yang sah. Lebih gila lagi, mereka minta tanggung jawab akibat kebakaran depo untuk para korban dan keluarganya. Padahal pemukiman mereka lah yang mendekati depo, bukan Depo yang mendekati pemukiman mereka.
Jadi sudah jelas ‘kan, yang nyerobot tanah lebih berhak dari yang punya hak mengelola tanah. Yang utang lebih galak dari yang utangi. Apalagi selama ini – dan sampai kini ada politisi pendulang suara yang membackingi. ***