Di zaman ketika sukses diraih dengan kreasi, inovasi, ketekunan dan kegigihan, gelar menjadi nomor sekian. Pendidikan penting, pengalaman penting, keahlian penting. Namun yang utama adalah karakter, attitude, tata krama.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
DI KAMPUNG saya, kaum priyayi yang bergelar ‘raden’ adalah mereka yang selalu berpembawaan santun dan hati hati dalam berbicara. Kesopanan mereka menurun ke anak anaknya. Di awal 1970-an, saya kenal anak anak mereka yang berpenampilan khas, halus bicaranya, dan selalu pakai sendal. Sedangkan saya dan teman teman saya ‘nyeker’ saja.
Saat main bareng, mereka sering dipanggil orangtuanya untuk tidur siang. Sedangkan saya dan teman teman, main di sawah, di kali, di kuburan atau mana saja buat manjat pohon cari buah yang belum mateng. Anak priyayi tidak begitu. Tertib hidupnya.
Karena itu, saya heran ketika ada yang bergelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) kok ngasal bicaranya dan menyebarkan hoax, bikin fitnah dan akhirnya masuk bui. Padahal gelar yang disandangnya sangat tinggi di kraton – yang seharusnya melekat padanya keluhuran budi pekerti dan hati hati. Menjaga tata krama. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Anda tahu yang saya maksud, yaitu Drs. Kanjeng Raden Mas Tumenggung – KRMT Roy Suryo Notodiprojo, M.Sc, politisi Partai Demokrat, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga di zaman SBY. Tak sekadar bergelar Raden Mas, melainkan juga menyandang gelar akademis, Drs. dan M.Sc. Juga sempat menduduki kursi jabatan wakil rakyat, anggota DPR RI.
Tapi dia masuk bui setelah mengungggah foto Jokowi dalam bentuk patung. Menghina kepala negara sekaligus menghina agama Budha.
GELAR tak terkait darah luluhur juga ada dalam agama, yang kita sebut Habib, Sayid dan Sayidahah, juga Syarif dan Syarifah, tapi setidaknya kita mengenal dua habib yang masuk bui lantaran menganiaya santri dengan cara brutal, dan membuat provokasi massa dengan ucapan kata kata kotor tak terkira.
Kita sebut saja Habib Smith dan Habib Riziek Shihab. Di Pamekasan – Jawa Timur, ada habib yang dipolisikan karena lecehkan dua santrinya.
Belakangan ada yang membongkar bahwa kehabiban mereka diragukan. Bahkan lebih ekstrim, nasab (jalur kuturnan) habib di Nusantara ini sudah hilang dan putus sejak 500 tahun lalu. Terungkap juga, warga Arab Yaman yang dibawa ke Tanah Air oleh penjajah Belanda merupakan bagian dari strategi penjajah untuk melemahkan semangat juang warga pribumi, melalui orang orang yang disebut keturunan nabi.
Dan kini, meski mereka sebenarnya numpang, tapi minta diistimewakan.
Gelar keagamaan tak menjamin akhlak mulia pemiliknya. Ada politisi kita bergelar kyai haji yang masuk bui setelah ditangkap KPK, yaitu H. Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 22 Mei 2014 lalu. Dia diduga terlibat korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013.
Padahal dia pernah memimpin Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).Dia divonis 6 tahun setelah dituntut 11 tahun. Hukumannya diperberat menjadi 10 tahun saat mengajukan banding.
Akibat penetapan status tersangka ini, Suryadharma dipecat dari jabatannya sebagai Ketua Umum PPP pada 10 September 2014. Dia digantikan oleh Romahurmuziy yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PPP. Apes, Romahurmuziy pun masuk bui kena gep KPK lantaran kasus korupsi juga.
Partai bergambar Kabah – simbol yang dimuliakan umat Islam itu berlumuran kasus korupsi.
Sebelumnya, politisi Islam lain, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) periode 2009—2014 H. Luthfi Hasan Ishaaq, Lc, M.A. dijemput dan ditahan KPK pada tanggal 30 Januari 2013 dengan sangkaan menerima hadiah atau janji terkait dengan pengurusan kuota impor daging pada Kementerian Pertanian. Lutfi lulusan D3 Bahasa Arab, KMI Gontor, yang melanjutkan ke Universitas Imam Muhammad bin Saud Arab Saudi . Dia menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKS periode 2004—2013.
Selain heboh korupsi, jualan konsesi impor sapi, ada cerita bernuansa skandal seks meramaiakan kasus korupsinya.
DALAM dunia modern, status kehormatan masuk ke universitas dengan gelar akademik. Profesor, doktor M.Sc, MA, S3-S2 semuanya mengandung gelar yang berdampak penghargaan dan kehormatan kepada penyandangnya.
Namun sebagaimana gelar keturunan, gelar akademik juga tak menjamin kelakuan, attitude yang memilikinya.
Misalnya saja, Prof.DR. Amin Rais dan Prof. Dr. Dien Syamsyuddin. Dua duanya profesor, dua duanya akademisi, dan dua duanya pernah memimpin ormas Islam besar di tanah air, PP Muhamadiyah – tapi dua duanya kini jadi olok olok warga Indonesia.
Terbaru Prof. Amin Rais mengobarkan jihad (Hayya ‘ala jihad) dan mencoba mengobarkan kerusuhan di Solo. Hingga anak keturunannya juga tak jelas, ada yang bikin hoax dan rumah tangganya bubrah.
Sedangkan Prof. Dien Syamsudiin berkali kali melontarkan provokasi yang meresahkan umat. Setelah gagal mengembangkan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) bersama sederet tokoh oposan, Dien kini giat mempromosikan Anies Baswedan sebagai figur yang tepat untuk memimpin Indonesia ke depan.
Sakit hatinya kepada pemerintah Jokowi sudah sampai ke ubun ubun. Di mana ada perlawanaan pada Jokowi, di sana dia bergabung.
DI DUNIA MILITER, juga ada gelar dan pangkat yang sangat tinggi, yang untuk mendapatkannya melalui test yang amat ketat dan berat, namun pemiliknya juga ngaco dan tak ada wibawa. Misalnya, Kivlan Zein dan Gatot Nurmantyo.
Mayjen (Purn) Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) selalu berhalunisasi kebangkitan PKI dan enteng menyebut PKI sedang rapat, kongres, reuni, punya massa jutaan yang mau berontak dll. Terakhir menuding, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) banyak menampung pihak yang terkait PKI.
Belakangan, orang dekat Prabowo itu divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 4 bulan 15 hari karena terbukti memiliki senjata api dan peluru tajam ilegal. Majelis hakim menilai, Kivlan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta, menerima, menguasai, dan menyimpan senjata api beserta amunisinya.
Sedangkan Jendral Gatot Nurmantyo, bikin blunder mengaitkan pencopotannya sebagai Panglima TNI dengan arahannya untuk nonton bareng film ‘G30S/PKI’ – yang mengarah pada tudingan pemerintah pro PKI.
Padahal film “Pengkhianatan G30S” dihentikan penayangannya oleh Letjen TNI (Purn.) Muhammad Yunus Yosfiah – notabene seniornya di Angkatan Darat – saat menjabat Menteri Penerangan di era BJ Habibie.
Sejak 1998 pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI” – “Janur Kuning” dan “Serangan Fajar” dievaluasi karena bernuansa pengkultusan tokoh, yaitu Jendral Suharto, dan tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi. Apalagi juga ada pernyataan keberatan dari korps Aungkatan Udara (TNI AU) yang menjadi pihak yang disudutkan dalam cerita film itu.
Di zaman ketika sukses diraih dengan kreasi, inovasi, ketekunan dan kegigihan, gelar menjadi nomor sekian. Pendidikan penting, pengalaman penting, keahlian penting. Namun yang utama adalah karakter, attitude, tata krama.
Itulah yang diabaikan oleh tokoh tokoh berderet gelar-gelarnya, yang kemudian nyungsep di penjara dan kehilangan kehormatan. ***