Hidup kita ibarat gelas kosong. Kita mau mengisi gelas itu dengan apa, pilihan itu sepenuhnya tergantung pada kita yang menjalani dan memaknainya.
Sebenarnya, pilihan yang paling tepat untuk mengisi gelas dan memenuhinya adalah dengan zat cair. Mengapa? Zat cair itu mengisi gelas sesuai isi dan bentuknya.
Berbeda hasil dan isinya, jika kita mengisi gelas itu dengan paku, kelereng, atau batu kerikil. Isinya tidak maksimal, karena dapat dipastikan tersisa rongga/lubang di dalam gelas itu.
Ketika kita memutuskan hidup ini sebagai air, kita adalah air yang berguna bagi sesama. Air sebagai lambang kehidupan. Sehingga kita dituntut untuk jadi pribadi yang murah hati, dan menghidupi.
Kenyataannya, banyak dari kita yang kurang peduli, atau kehilangan empati untuk berbela rasa pada sesama.
Kita sering kali abai, lupa, atau pura-pura tidak melihat orang yang menderita atau kesusahan di sekitar kita. Tapi, ada juga orang yang mau berbagi setelah jadi kaya lebih dahulu.
Semua itu jelas melemahkan jiwa, mengingkari hati nurani, dan iman sendiri.
Padahal, sifat air yang menghidupi itu tidak mengenal kasta, golongan, atau sekat. Bahkan, jika kita sadar dan memahami, dua pertiga dari tubuh kita terdiri dari air. Kita juga tidak perlu takut kekurangan air, karena dua pertiga bumi adalah air.
Dengan berbagi air, rezeki pada orang lain, kita tidak perlu takut air di dalam gelas itu bakal berkurang. Selama kita mau obah, bergerak dan bekerja, kita dengan mudah menemukan sumber mata air. Dan setiap orang mempunyai porsi rezekinya sendiri.
Berbeda dengan orang yang rakus atau culas yang hidupnya sebagai pemburu rezeki. Banyak dari mereka yang menghalalkan segala macam cara, yang penting kaya raya.
Mereka lupa, bahwa semua gelas itu, rezeki kita memiliki takarannya sendiri. Akibatnya, gelas yang kepenuhan air akan tumpah, dan air itu jadi mubazir.
Air mubazir itu ibarat rezeki yang disalahgunakan oleh si rakus untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Misalnya, memburu kenikmatan daging, berfoya-foya, dan ben diarani. Mereka kaya raya, tapi hidupnya tidak tenang, gelisah, kemrungsung, bahkan tersiksa. Lebih suloyo jika di kemudian hari jatuh sakit dan sakit-sakitan. Harta benda pun jadi tak berarti.
Sebaliknya, pribadi yang murah hati hidupnya damai sejahtera. Ibarat air dalam gelas yang isinya tetap penuh, meski sebagian rezekinya untuk berbagi. Hidup mereka selalu
dilimpahi berkat Allah.
“Barang siapa mencukupkan diri dan selalu bersyukur, jiwanya subur dan hidupnya makmur.”
red-joss
Foto : Andrew Ren / Unsplash