Oleh Dimas Supriyanto
Selama 20 tahun terakhir tak ada tanda tanda munculnya tokoh mahasiswa yang layak dibanggakan. Tak ada konsep cemerlang muncul dari kampus. Yang ada gerakan “anak mama” berseragam mahasiswa yang demo demo sambil selfie, bentrok bentrok anarkis, membully kepala negara, sekadar menunjukkan bahwa mereka “pernah turun ke jalan” dan jadi “aktifis” dengan “a” kecil dalam tanda kutip. Alias aktifis salon.
Sungguh menyedihkan. Padahal sejarah mencatat dalam setiap zaman: kaum intelektual, khususnya mahasiswa menorehkan tinta emas, mengubah haluan perjalanan bangsa. Mahasiswa adalah agen dan motor perubahan.
Namun pada dekade 2.000 hingga 2021 ini mahasiswa lunglai, tak berdaya. Sejak reformasi 1998, tidak ada lagi gelombang besar dari kampus. Yang nampak hanya riak–riak kecil yang mengusung isu – isu sektoral dan elitis. Itu pun kemudian diketahui hanya titipan, order politisi partai dan pengusaha hitam yang terganggu kepentingannya.
PARA PENDAHULU mereka yakni angkatan 1998 yang berhasil menggulingkan diktator Orde Baru yang berkuasa 32 tahun dengan represif, militeristik, sayangnya, diteruskan “anak anak Mami” yang manja. Dan rendah kapasitas intelektualnya.
Generasi 2000 hingga kini cerdas secara akademis, tapi kehilangan kemampuan merumuskan permasalahan bangsa dan menyuarakan rakyat. Mereka jadi mahasiswa salon. Aktifis pragmatis. Gagap ideologi.
Memang masih ada demo demo tapi nampak menjadi hura hura dan area mejeng. Karena membawa isu isu receh. Bentrok bentrok hanya romantisme semu. Anarkis dan destruktif pula. Sehingga memang layak ditindak.
Tak ada terobosan dan pemikiran cemerlang sebagamana para aktifis HMI, PKMRI, GMNI di era 1970 dan 1980-an yang pemikiran pemikirannya masuk halaman satu media nasional pada zamannya. Khususnya Kompas dan Sinar Harapan.
Tak ada konsep cemerlang yang terdedah dari kepala mereka kini yang bisa dibaca masyarakat luas.
Tak ada tokoh mahasiswa yang layak dibanggakan, sebagaimana masa Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, Gumilang Kartasasmita atau Rahman Tolleng, Yusuf dan Sofyan Wanandi, Hariman Siregar, Bambang Warih Koesoema, Sjahrir, Sarwono Kusumaatmaja, dll. Apakah mereka mengenal Heri Akhmadi, Indro Tjahyono dan Dipo Alam, Muhyar Jara . Apakah mereka tahu sepak terjang Ekki Shahrudin, Indra J. Piliang, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Mukti Ali?
Jangan jangan mahasiswa sekarang malah tidak kenal nama mereka? Jangan jangan mereka lebih fasih menyebut Hasan Al Banna, Yusuf Qaradhawi, Sayid Qutb, Erdogan, yang mencekoki keberanian mereka berpolitik, sebagai pegangan pengikut Ikhwanul Muslimin dan PKS.
Sebaliknya terindikasi kuat para mahasiswa universitas negeri, yang tergabung dalam BEM, terkooptasi gerakan sektarian radikal, jadi kadal gurun dan kaki tangan oposan yang hanya berhenti pada kemampuan memprotes pemerintah, ikut merebut kekuasaan dan membully kepala negara.
APA yang dibanggakan dari mahasiswa yang mengangkat kartu kuning kepada presiden di kampus mereka sendiri untuk menyuarakan isu kepalaran Papua? Padahal ada Bupati dan Gubernur yang bertugas di sana. Diketahui kemudian tokoh mahasiswa itu kader partai ! Dan apa yang dibanggakan memberikan julukan “Jokowi the King of Lies”. Mahasiswa cap apa? Sekedar berani kritis tapi tak berotak? Tidak melihat seoak terjang Gubernur di depan hidung mereka yang cuma menata kata? Belagak pilon?
Nampak sekali mereka sedang jadi pion dan corong kaum oposisi frustrasi. Membawa suara pesanan. Bukan suara rakyat sebagaimana pendahulunya.
Sungguh memalukan!
SEBAGAI orangtua dari dua mahasiswa universitas negeri – saya sungguh beruntung karena anak anak saya tidak ikut menjadi aktifis kampus.
“Selesaikan kuliah, pastikan tepat waktu, cari kerja – adik adik menunggu …” begitulah nasehat yang saya sampaikan. Dan mereka menurut.
Sebagai pekerja media saya tak berlimpah uang. Menguliahkan dua anak sembari menyekolahkan dua adiknya lagi jelas menguras biaya. Sikap pragmatis praktis apa boleh buat harus dilakukan. Anak anak harus lebih baik dari orangtuanya.
Terbukti putri saya langsung menembus bank plat merah bank terbesar dan ternama dan kemudian bisa pindah ke perusahan asing. Tandanya serius dia belajar dan sungguh menimba ilmu. Tidak hura hura di jalan, sok sokan jadi aktifis, demo demo untuk selfie.
SEBENARNYA, di balik itu, saya paham juga, sudah lama kampus kampus negeri dan swasta terkontaminasi virus ideologi kanan. Kampus menjadi tempat kaderisasi organisasi ekstremis dan partai politik. Apalagi para mahasiswa yang kurang membaca. Empuk jadi mangsa mereka.
Gara gara kurang membaca kurang dan kurang diskusi – kemampuan merumuskan masalah pun lemah. Akhirnya diperalat elite politik. Jadi tunggangan. Bak abang ojek dijadikan alat transportasi.
Mereka sok kritis pada istana, pada presiden, tapi menutup pada maraknya penyebaran ideologi intoleran radikal di kampus sendiri.
Kita tentu sepakat gerakan mahasiswa diperlukan untuk mengawal dan mengontrol kerja pemerintahan, khususnya mengawal pelaksanaan agenda reformasi. Pemerintah yang terlalu kuat tidak baik untuk rakyat.
Tapi gerakan mahasiswa beda dengan gerakan buruh yang memprotes hanya untuk nasibnya dan membawa konsep sederhana. Mahasiswa seharusnya punya gagasan cemerlang, berjangka panjang, yang bisa dipertanggung secara intelektual. Akademik.
Saat ini, gerakan mahasiswa kurang terlihat perannya dalam mengawal demokrasi dan menjadi oposisi untuk kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada rakyat. Hanya melampiaskan kemarahan saja dengan isu yang sudah dibawa politisi sebelumnya. Membebek.
Twitt yang disuarakan BEM UI dan disambut hangat oposan dan aktifis gagal, menunjukkan kecerdasan mereka setara anak SMA. Bahkan di bawahnya. Tidak argumentatif. Tidak konseptual. Tanda mereka kurang bacaan dan kurang wawasan.
Mereka mirip kumpulan abang ojek yang menerima order dan tumpangan. ***
Foto. Ist.