Penulis Syah Sabur
Untuk apa media besar begitu bernapsu memberitakan kasus bunuh diri seorang selebriti yang dikenal karena sensasinya, bukan prestasinya? Seharusnya media berpikir, apakah publik dirugikan jika media tidak mengulang-ulang berita seperti itu?
Dalam beberapa hari ini, hampir semua stasiun televisi (juga media online) beramai-ramai memberitakan kasus bunuh diri NA, model majalah dewasa. Isinya nyaris tidak ada perbedaan dengan berita pertama sejak peristiwa tragis itu diberitakan tiga hari lalu (16/2/2022) bahwa ia meninggal dengan dugaan bunuh diri.
Karena itu tak sedikit stasiun televisi yang kembali mengungkap berbagai peristiwa miring yang pernah menimpa artis yang memang penuh sensasi itu. Seolah kasus bunuh diri tidak cukup sensasional untuk diberitakan. Ada juga televisi yang menayangkan adegan saat ia sedang stres di depan polisi dan media. Sang artis berteriak sambil mengucapkan, “Aku sehat, aku sehat.” Cuplikan itu diulang dalam berbagai program di televisi tersebut selama dua-tiga hari.
Saya membayangkan, betapa pedihnya perasaan keluarga almarhumah melihat adegan tersebut. Sebab, bagi keluarga, kehilangan anak saja sudah berat, apalagi anaknya diketahui meninggal dengan cara bunuh diri. Tindakan yang berbuah aib bagi keluarga.
Seolah semua itu tak cukup, penderitaan keluarga masih ditambah dengan penayangan berulang-ulang dengan adegan saat putri mereka sedang stres.
Berita receh
Seharusnya stasiun televisi, apalagi yang sudah punya nama besar, memiliki keberanian untuk tidak menayangkan berita tertentu, berita receh seperti kasus bunuh diri NA. Kalaupun mau memberitakannya, cukuplah sekali-dua kali, kecuali ada hal baru yang sangat penting.
Lagi pula, untuk apa media besar begitu bernapsu memberitakan kasus bunuh diri seorang selebriti yang dikenal karena sensasinya, bukan prestasinya. Seharusnya media berpikir, apakah publik dirugikan jika media tidak mengulang-ulang berita seperti itu?
Apakah almarhumah merupakan orang yang menggunakan uang negara untuk berbagai kelakuannya? Apakah ada karyanya yang monumental sehingga publik merasa dirugikan dan kehilangan? Kalaupun ada publik yang dirugikan, pasti itu publik (khususnya pria) yang amat doyan cerita perempuan penuh sensasi.
Almarhumah bukan pejabat negara atau guru agama yang layak kita gugat perilakunya. Dia juga bukan artis besar dengan banyak karya gemilang yang layak dikenang. Dari struktur sosial, dia juga jelas jauh di bawah Pangeran Andrew, putra Ratu Elizabeth dari Inggris yang dituduh melakukan pelecehan seksual sehingga penting sekaligus menarik dijadikan berita.
Daripada mengglorifikasi kasus bunuh diri artis penuh sensasi, mengapa media tidak memberi porsi yang lebih besar untuk sejumlah peristiwa di Tanah Air. Ada topik minyak goreng yang masih mahal dan langka atau harga kedelai yang melonjak dengan korban pedagang kecil dan rakyat jelata. Ada juga soal dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang diprotes buruh karena baru bisa dicairkan setelah usia 56.
Di luar itu, tentu ada pula pembicaraan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara yang jadi polemik. Belum lagi Covid-19, yang kasusnya kembali meningkat tajam. Rasanya terlalu banyak peristiwa yang jauh lebih penting ketimbang kasus bunuh diri seorang artis yang tidak punya prestasi.
Sebaliknya, media juga bisa mengajukan pertanyaan seperti ini: pesan apa yang mau disampaikan dengan mengulang-ulang berita seperti itu? Apakah hal itu diniatkan agar masyarakat tidak bunuh diri dan menyia-nyiakan hidup? Kalau itu pesan yang mau disampaikan, hal itu sudah cukup dengan satu-dua berita. Selebihnya menurut saya, berita seperti itu sungguh tidak berguna.
Bisa jadi media akan kehilangan sedikit rating/share atau iklan dengan tidak terus-menerus memberitakan kasus seperti itu. Tapi, apakah media akan bangkrut tiba-tiba jika tidak memberitakan kasus seperti itu?
Pertanyaan selanjutnya, apakah semua itu sepadan dengan dampaknya bagi masyarakat yang dicekoki berita sampah? Apakah hal itu juga sepadan dengan tugas media untuk mencerdaskan bangsa sekaligus sebagai penjaga nurani bangsa (watchdog)?