Seide.id – Gorontalo di Sulawesi Utara memiliki catatan tersendiri dalam sejarah revolusi kemerdekaan di Indonesia. Daerah itu lebih dahulu ‘menyatakan kemerdekaan’ sebelum Jepang datang.
Tokohnya adalah Nani Wartabone, pejuang yang kerap menyuarakan kemerdekaan bagi negeri, mendengar Jepang telah menduduki Manado. Ia tahu, cepat atau lambat Jepang akan masuk Gorontalo.
Orang Belanda panik. Nani melihat ini momen yang tepat.
Bumi hangus
Orang-orang Belanda melarikan diri ke Poso. Hal ini membuat orang Belanda di Gorontalo menjadi ketakutan dan bersiap pergi dengan terlebih dahulu melakukan bumi hangus. Sebagai seorang pamong dan anggota Pandu di masa Hindia Belanda, Nani merasa waktu perlawanan terhadap Belanda telah tiba.
Saat tanggal 22 Januari 1942, beberapa orang Belanda membakar kapal motor Kalio dan gudang kopra di pelabuhan agar tidak dipergunakan Tentara Jepang. Mengetahui hal ini, Nani Wartabone menyiapkan senjata dan para pemuda. Jumat pagi, 23 Januari 1942, pasukan yang dipimpin langsung olehnya berangkat dari Suwawa, sebuah kecamatan di sebelah timur, menuju Gorontalo.
Sepanjang perjalanan banyak rakyat ikut bergabung. Pukul 09.00 pagi semua pejabat Belanda di Gorontalo berhasil ditangkap oleh pasukan Nani. Setelah itu, Ia memimpin rakyat menurunkan bendera Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya.
Masih di ingat benar oleh Opa Musa ia dengan 3 kawannya maju sebagai pembawa Bendera Merah Putih, ke depan umum.
Upacara kemerdekaan
” Pak Nani itu memotong bambu lalu menancapkan di tengah tanah lapang yang akan jadi tiang bendera, saya masih umur 16 tahun kala itu saya memegang salah satu ujung bendera Merah Putih yang kita kibarkan”
Tutur Opa Musa pada saya.
Kemudian Nani Wartabone berpidato yang sebenarnya adalah sebuah proklamasi kemerdekaan.
“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh pemerintahan nasional”
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Nani Wartabone ditangkap dan dipenjara di Manado hingga Juni 1944. Dia kembali dipenjara dan dipindahkan ke Morotai, lalu ke penjara Cipinang, Jakarta, karena menolak menyerahkan kekuasaan kepada Australia sebagai wakil Sekutu. Dia dibebaskan pada tanggal 23 Desember 1949.
Proklamasi Gorontalo adalah Satu dari Tiga Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang paling awal dilakukan orang Indonesia selain Proklamasi Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta 17 Agustus 1945.
Sedang Dua Proklamasi yang lain adalah Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945, Proklamasi Rengasdenglok 16 Agustus 1945.
Nani Wartabone dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
Gorontalo sendiri sejak 5 Desember 2000[menjadi provinsi sendiri, berdasarkan UU Pemekaran Wilayah. Ibukota propinsi baru ini adalah Gorontalo.
Bila Aceh dikenal sebagai ‘Serambi Mekkah’ maka Gorontalo mendapat julukan ‘Serambi Madinah’. Dalam catatan sejarah Indonesia, satu-satunya Presiden RI yang berasal dari Suku Gorontalo adalah Presiden Republik Indonesia ke-3, Prof. DR. Ing. B.J. Habibie, dari garis keturunan ayahnya yang memiliki marga Habibie, yaitu Alwi Abdul Jalil Habibie.
Upaya kemerdekaan dari Gorontalo yang disuarakan Nani Wartabone, menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk melawan segala bentuk penjajahan!
Beny Rusmawan