Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SESUNGGUHNYA tidaklah mengejutkan jika DPRD DKI sepakat tidak mendukung hak interpelasi Formula E. Meski merugikan negara ratusan miliar, bahkan mendekati triliunan rupiah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan aman damai, nyenyak tidur. Setidaknya sampai jabatan berakhir tahun depan.
Keributan tak ada guna, sebab ada dosa dua dua pihak sehingga Formula E gagal. Saling mengunci. Mana mungkin anggaran ratusan miliar dari Balaikota bisa keluar tanpa sepengetahuan DPRD? Di gedung Balaikota, jarum jatuh saja DPRD bisa dengar, mosok Rp. 900 miliar keluar tak dengar? Mosok cuma asal tahu? Yang benar saja!
Penganggaran untuk lomba Formula E di Jakarta, konon, telah disepakati oleh DPRD DKI dalam pengesahan APBD. Sehingga, proses dana untuk menyukseskan perhelatan lomba tersebut telah dilakukan secara prosedural.
Mengutip berita dari laman Kompas dot com, edisi 19/08/2019, Pemprov DKI Jakarta mengajukan anggaran dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah Perubahan (APBD-P) 2019 dan APBD 2020. Saat sudah ada empat (4) anggaran yang diajukan dengan total mencapai Rp 1,6 triliun.
Untuk apa saja? 1. Rp 360 milliar untuk commitment fee, 2. Penambahan anggaran Rp 934 milliar, dengan rinciannya 22 juta poundsterling untuk biaya penyelenggaraan dan 35 juta Euro untuk asuransi. Jika dikonversi dengan menggunakan rupiah (1 poundstreling Rp 17.205), 22 juta poundsterling setara Rp 378,46 miliar. Lalu 35 juta Euro (1 euro Rp 15.892) setara Rp 556,22 miliar. Total Rp 934 miliar.
Selain itu, 3. Rp 306 milliar diajukan Jakpro, badan usaha milik daerah (BUMD) yang ditugaskan oleh Anies untuk menyelenggaraan turnamen balap mobil listrik tersebut.
Terakhir, 4. Pemprov DKI Jakarta mengajukan anggaran senilai Rp 600 juta untuk sosialisasi dan pre-event Formula E, agar masyarakat mengetahui Jakarta akan mengadakan Formula E.
Dari laman bisnis.com, Maret 2021 lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DKI Jakarta mencatat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah membayar Rp983,31 miliar kepada Formula E Operations (FEO) terkait penyelenggaraan Formula E.
Pencatatan itu dilakukan terhadap transaksi keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2019 hingga 2020. “Berdasarkan penelitian transaksi keuangan terkait penyelenggaraan Formula E diketahui bahwa pembayaran yang telah dilakukan kepada FEO adalah senilai GBP53.000.000 atau setara Rp983,31 miliar,” tulis Kepala Perwakilan BPK Perwakilan DKI Jakarta Pemut Aryo Wibowo melalui laporan pemeriksaan yang dilihat Bisnis, Kamis (18/3/2021).
Tapi ajang balapan klas dunia Formula E, gagal terlaksana. Padahal pohon pohon di seputar Monas – yang berusia puluhan tahun – sudah ditebang. Monas sudah digundulkan.
GAGASAN interpelasi kandas. Dua dua pihak, DPRD dan Gubernur – sudah saling sepakat dan saling memahami. Menutup aib bersama.
Ketimbang saling tuding, saling hajar, padahal dua duanya salah – mendingan Gubernur dan DPRD sinergi saling memperkaya dan memakmurkan masing masingnya. Lebih baik menutupi aib sesama penilep duit negara dan berkontribusi nyata kepada partai masing masing yang lagi butuh dana pemilu.
Apa yang sudah terjadi terjadilah! Sudahlah – kubur dalam dalam – lupakan. Yang berikutnya, bagaimana mengolah proyek proyek kakap agar lebih cantik, lebih asyik dan ciamik. Pokoknya lebih canggih. Biar saja media, LSM dan rakyat ramai. Yang penting Kemendagri, KPK, jaksa dan polisi sudah di-lobby.
Semua pihak sudah bisa “saling memahami”.
Lagi pula politsi di Kebonsirih dan pejabat Balaikota akan terus saling membutuhkan, saling mengamankan untuk memastikan modal dan investasi yang dihabiskan dalam politik kembali dan berlanjut. Bahkan bisa untung berlipat ganda.
Taik kucing membela kepentingan rakyat! Cuih!
APBD DKI Jakarta 2021 Rp. 84,1 Triliun, dan akan naik di tahun berikutnya. Di dalamnya ada belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga, belanja transfer dll – yang dengan begitu ada bayangan ‘succes fee’ / komisi 10-30 persen – bahkan bisa lebih – yang bisa dibagi merata antara pejabat, wakil rakyat dan pelaksana proyek. Terutama di bagian pengadaan. Sama sama tahu saja. Perusahaan kontraktor dan rekanan proyek yang akan mengaturnya.
Kenapa musti bertengkar dan berkelahi, jika bisa saling berbagi? Yang penting semua kebagian dan aman. Di sini senang di sana senang.
SEKADAR nostalgia, semoga Anda masih ingat cerita insiden anggaran masa Ahok BTP yakni penggelembungan anggaran ‘pemahaman’ hingga Rp.8,8 Triliun untuk sosialisasi SK Gubernur? Lalu dijawab Ahok dengan coretan, “Pemahaman Nenek Lu!” – Ya! Bikin geger masa itu. Aib dan skandal koruptor di Balaikota dan Kebon Sirih Jakarta terbongkar habis.
Frasa “Pemahaman Nenek Lu” bermula dari coretan-coretan Ahok pada dokumen rancangan APBD tahun 2015 lalu. Enam tahun silam. Persisnya pada dokumen program “Sosialisasi SK Gubernur DKI” yang diajukan DPRD senilai Rp8,8 triliun.
“Apa yang mau disosialisasi dari SK Gubernur? Tinggal dilihat doang, makanya gue tulis ‘Nenek lu!’ di lingkaran. Balikin. Sudah baca ‘nenek lu!’ tersinggung kali mereka,” tutur Ahok kepada wartawan, Selasa (3/3/2015) sore.
Coretan ballpoint itu pula yang meruncingkan perseteruan Pemprov yang kala itu dipimpin Ahok dengan sebagian besar anggota dewan.
Kini dokumen “Pemahaman Nenek Lu!” menjadi cerita bersejarah di Indonesia. Dari seorang Gubernur yang menyisir anggaran untuk kepentingan rakyat dan disalahgunakan oleh tikus-tikus koruptor yang menganggap menggarong duit negara sebagai kewajaran. Dan Ahok BTP berjuang sampai titik darah penghabisan.
Kini sungguh menjadi langka, ada pejabat yang berani terus terang dan frontal seperti ini!
Insiden politik “pemahaman nenek lu” itu menjadi pelajaran bagi wakil rakyat yang korup dan pejabat yang tamak di Balaikota. Kedua belah pihak malah merugi. Pejabat dan DPRD sama sama apes. Rencana mengeduk APBD untuk partai dan keluarga gagal.
Partai perlu sumbangan, uang kas, sedangkan para politisi perlu pencitraan, dan semua butuh biaya. Hanya dengan mengeruk duit APBD maka semua bisa terlaksana dan terwujud dengan aman dan sentosa.
Buat apa menghemat duit negara untuk pembangunan rakyat? Sementara investasi politik tidak kembali. Tujuan terjun ke politik ya memperkaya diri. Mosok memakmurkan rakyat? Urusan rakyat nomor sekian. Yang utama citra diri, partai, kepercayaan dari seolah olah, seakan akan pembawa aspirasi meski nyatanya, numpang fasilitas buat memperkaya diri.
Rakyat adalah bemper untuk pencitraan dan kampanye di pemilu berikutnya. Cukup dengan tebar sembako dan ‘angpau’ lagi, rakyat terpedaya, lalu memilih lagi dan mereka bebas ngeruk duit APBD lagi.
Selama puluhan tahun begitulah lazimnya.
YA! Sebelumnya, Fraksi PDI-P dan PSI telah mengajukan dokumen hak interpelasi Formula E kepada Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi. Selanjutnya, dewan menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan jadwal rapat paripurna interpelasi.
Rapat paripurna interpelasi Formula E akan berjalan apabila jumlah anggota dewan yang datang memenuhi jumlah minimal alias kuorum. Untuk memenuhi syarat kuorum, dewan yang hadir minimal 50 persen plus satu dari total anggota dewan atau 54 orang.
Jumlah anggota PDIP dan PSI hanya 33 orang. Sedangkan tujuh fraksi beranggotakan 73 orang. Rinciannya 19 Gerindra, 16 PKS, 10 Demokrat, 9 PAN, 7 NasDem, 6 Golkar, 5 PKB, dan 1 PPP.
Namun Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik menyatakan tujuh fraksi DPRD DKI sepakat tidak mendukung hak interpelasi Formula E. Menurut dia, tujuh fraksi itu terdiri dari 73 anggota dewan. “Prinsipnya bahwa tujuh fraksi sepakat untuk tidak ikut interpelasi,” kata dia kepada media, Jumat, 27 Agustus 2021 lalu.
Setelah diundang di kediaman gubernur dan kenyang menikmati santap malam, maka sepakat tak ada interpelasi.
Taufik mengutarakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak mempersoalkan rencana interpelasi dari PDIP dan PSI. “Pak gubernur kalau soal interpelasi itu haknya dewan,” ujar politikus Partai Gerindra ini.
Duh cantik banget uraian pendukung gubernur penata kata. ***