Foto : Anja/Pixabay
Dalam kata Zoroaster, istilah guru, “pengajar dari matahari.”
Ini bermakna, bahwa guru itu “simbol sang cahaya, simbol sang penerang, dan simbol sang matahari mini,” yang senantiasa memancarkan cahaya.
Hal ini dimaknakan, bahwa tatkala sang guru mengajar, semua murid akan gampang memahami materi yang diajarkan. Dalam konteks ini, peran sang guru, laksana sebuah titian / jembatan penghubung antarhati, sang guru dan sang murid.
Guru, bahkan laksana “gema / eko” bagi sang murid, karena pengajaran sang guru, akan mampu dipantulkan kembali ke dalam hati dan pikiran sang murid.
Sang guru spiritual akan mampu “menunjukkan sebuah jalan” kepada sang murid, walau sang murid hebat akan melintasi jalannya sendiri.
Sang guru spiritual juga, bahkan mampu, menyampaikan pengajarannya dengan peduli pada budaya serta tradisi sang murid, dia justru sangat menghargai pluralisme, dan bahkan, mampu melintasi semua agama sang murid.
Sang guru spiritual akan memberikan kebebasan berpikir untuk menyimpulkan sendiri inti pengajaran kepada sang murid.
Dalam konteks ini, tidak sikap dominasi atau otoriter, karena baginya, sang murid adalah sosok pribadi terhormat, subjek terberkati, dan bukan objek “kelinci percobaan” sang guru.
Saudara, mengapa sang guru spiritual diibaratkan sebuah “samudera,” karena ternyata, samudera itu “berisi lebih banyak air dan letaknya lebih rendah” daripada sebuah sungai.
Secara filisofi, bahwa jika sang murid ingin memasang “foto” sang guru di kamarnya, maka, perhatikan!
- Letakkan foto sang
guru di dinding timur
dan bukan menghadap
ke timur. - Letak foto sang guru
harus lebih tinggi saat
Anda berdiri pun duduk
dan bahkan berbaring,
agar Anda bisa
menerima berkatnya. - Letakkan foto guru
lebih tinggi daripada
kepala Anda. - Selimuti foto sang
guru dengan kain
sutera agar tidak
menerima energi
negatif.
Dan, guru spiritual
adalah sepercik sang cahaya tak terpadamkan, karena dia menerima cahaya dari hati Sang Tuhan, sumber cahaya abadi.
Kediri, 5 Desember 2022