Guru Tersembunyi

Saya tuh bukan anggota Bengkel Teater, artinya bukan murid langsung Rendra.

Awalnya saya hanya tahu, Om Rendra itu temannya Pak Bagong, karena beliaune sering dolan ke rumah. Rendra itu ayahnya kawan2 saya – Teddy, Andreas, Daniel – di SD Pangudi Luhur Yogya. Lebih dari itu, ketika SD ditahun 1970an, saya mengenal pemikiran dan gairahnya berteater dari pemberitaan koran, majalah, bundel majalah Basis dan kliping2. Juga dari kaset Pembacaan Puisi Rendra terbitan Naviri. Atau sesekali diajak Pak Bagong nonton latihan Bengkel Teater di Ketanggungan Wetan, Yogya.

Tapi, siapa menduga, tokoh yang kukenal dari jarak jauh itu, sesungguhnya magma yang diam-diam membakar semangat dan menggerakkan saya masuk jagad teater, lalu menyebabkan saya keblasuk sampai hari ini. Dari semula memanggilnya “Oom” berubah sapaan jadi “Mas Willy” – ketika saya mulai menerjuni teater diusia remaja, karena ikut2an anggota Bengkel yang menyapa begitu.

Memasuki jagad kesenian Yogya memang menggiring saya ketemu irisan2 pergaulan dengan penggiat dari kelompok seni mana pun. Dan anggota-anggota Bengkel menjadi bagian dari pertemanan itu: mbak Sitoresmi, Untung Basuki, Fadjar Suharno, Tertib Suratmo, Iskandar Waworuntu, Sawung Jabo, Edi Haryono, Bram Makahekum, Iwan Bernani, Wawan Prahara, Udin Mandarin, Udinsyah, Bambang Isworo, Dahlan Rebo Paing, Sukap, Dadang Christanto, Adi Kurdi, Wardono, Mayon Sutrisno, dan lain lain.

Jika membaca bentangan time line perjalanan saya, saya harus mengakui kalau Mas Willy itu diam-diam guru tersembunyi. Inspirator. Pemicu awal. Titik pijak keberangkatan saya masuk jagad teater, untuk kemudian saya tekuni dengan serius sebagai ilmu kehidupan. Semula hanya media pembelajaran seni peran, untuk gagah2an main dan akting di atas panggung, sampai bermuara sebagai “ilmu urip”. Saya yakin Mas Willy sendiri pun tidak tahu, kalau saya memuliakannya sebagai “wong agung” karena memang ini rahasia yang sangat personal. Dan sekarang saya buka.

Kisahnya, tahun 1975, saya – usia baru 14 klas 2 SMP, digandeng Mbah Jito, Roedjito/skenographer yang juga mendesain tata pencahayaan “Hamlet” Bengkel Teater di Teater Tertutup, TIM, Jakarta. Rendra yang memerankan Hamlet. Saat itu Rendra masih 40 tahun usianya. Saya menonton sebagai penyelundup. Gratisan. Nontonnya di balkon, di ruang penata cahaya, tempat di mana Mbah Jito bekerja. Penonton mbludak.

Ketika itu Rendra dan Bengkel Teater memang pioner perkara pentas teater. Pementasannya selalu ditunggu. Itulah kali pertama nonton Oom Rendra di panggung. Sebuah pesona yang penuh sihir. Setiap gerak, setiap ucapan, setiap langkahnya, sangat kharismatik. Dan vokalnya sungguh lantang, artikulatif penuh wibawa, apalagi diimbuh wajahnya yang nggantheng, bikin mbak-mbak pada klepek-klepek. Dan sosoknya yang lencir padat dengan rambut sebahu berwarna perak. Sebuah paduan sempurna aktor panggung yang menggemaskan. Uasuwoook.

Sebagai anak ingusan, saya sungguh terpana melihat Hamlet yang sedang berpura-pura linglung, omongannya seperti meracau, sambil sesekali jalannya sempoyongan. Rendra yang Hamlet bermonolog. Mungkin dengan improvisasi di beberapa bagian. Rada panjang. Dan penonton menikmati, sesekali ketawa meledak karena monolognya nyerempet kesana kemari. Penonton bertepuk tangan. Sebuah peristiwa teater yang sangat menakjubkan. Hamlet yang dimainkan Rendra dengan belitan kain serupa sarung dan bertelanjang dada, memantulkan sihir panggung. Saya seperti tertikam melihat itu semua.

Saat itulah, saya geram dan bersumpah dalam hati,”Tunggu saatnya Om. Jika kelak saatnya tiba, yang main monolog di atas panggung seperti Om, adalah aku. Aku ingin seperti Om. Tunggu Om.”

Ya, itulah momentum yang menurut saya sangat bersejarah. Api yang tersulut dalam hati. Terus membakar. Mas Willy, matur nuwun untuk sejarah ini. Swarga langgeng. Kowe pancen inspirator sing waskita. Berkah dalem.

(Butet Kartarejasa)