Gus Dur, Islam Fundamentalis dan Taliban

Alih alih kalangan Islam politik membela kyai NU, malah sebaliknya mengerahkan demo untuk menurunkannya.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

TAK DISANGSIKAN bahwa gejolak sosial dan krisis  politik di Afganistan menarik perhatian dan perlu diwaspadai di sini. Ada banyak politisi kanan, khususnya PKS dan MUI serta partai dan aktisis pro Islam radikal lain –  tak bisa membendung libido betapa senangnya saat Taliban menguasai Kabul, dan ingin segera pemerintah Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan mereka.

Mendadak di negeri kita  muncul “humas” dan “jubir” Taliban yang menyebut Taliban kelompok yang baik, moderat, sudah berubah dan akan menjadikan Afganistan aman. Kebrutalan dan kebengisan mereka kepada kaum wanita dan anak anak di masa lalu,  seolah tak pernah ada. Terhapus.

Barang tentu para “jubir”  itu ingin sinergi untuk menjalin relasi politik dan mempersatukan negara Islam –  dalam romantisme masa lalu, mewujudkan Pan Islam Asia melalui Pakistan, Afganistan dan Indonistan – Indonesia ‘pro hijau’.

BELAJAR dari lengsernya Gus Dur maka kita perlu mewaspadai gerakan fundamentalis dan Islam politik ini.  Hati hati. Waspada. Terus bersama kita jaga Indonesia kita, dengan politik nasionalis dan keragamannya.  Bhinneka Tunggal Ika.

Bahkan seandainya kekuatan kelompok Islam berkuasa di sini maka hal yang terjadi di masa awal kekuasaan mereka adalah pertarungan sesama Islam sendiri di dalamnya. Dan akan berdarah darah.  Sebagaimana Taliban melawan ISIS dan Mujahidin di Afganistan saat ini.

Jangan lupakan sejarah:  Kelompok yang gigih melengserkan Gus Dur dari istana adalah kalangan Islam sendiri. KAHMI, HMI,  FPI, laskar jihad,  termasuk dalam daftar kelompok dan massa yang dikerahkan untuk menurunkan Gus Dur. (Lihat buku ‘Menjerat Gus Dur’ karya Virdika Rizky Utama, 2019).

Saat kekuasaan Gus Dur kritis, ada upaya mendekati Gus Dur ke istana, selain minta tiga pos kementrian, juga memberlakukan Syariat Islam.  Jika Syariat Islam diberlakukan ke seluruh Indonesia, maka upaya melengserkan Gus Dur dibatalkan.

Gus Dur, dengan sikap seorang nasionalis dan melekat sifat pluralisme di dalam jiwanya, menolak permintaan itu.  Ia memilih kehilangan jabatan. Keluar dari Istana Negara.

Pemberhentian Jusuf Kalla (Golkar) dan Laksamana Sukardi (PDIP) merupakan pemicu asalnya. Bukan rahasia lagi,  JK punya basis massa Islam kanan, melalui KAHMI. Saat itu disebut sebagai “HMI Connection”  – lewat Akbar Tannjung, Amin Rais, Fuad bawazier selain JK.  Basis kelompok dan massa yang kurang lebihnya sama yang juga dikerahkan untuk menjatuhkan Ahok BTP di Pilkada 2017 lalu.

Kesimpulannya; alih alih kalangan Islam politik membela kyai NU, malah sebaliknya mengerahkan demo untuk menurunkannya.

Artinya, Islam tidak tunggal.  Bukan satu.  Terlebih lebih lagi, Islam politik.  

Analis politik punya bahasa melambung lambung tentang jaruhnya Gus Dur itu. Tak ada faktor tunggal yang menyebabkan Gus Dur jatuh. Tapi satu hal yang tak bisa disangsikan, seorang kyai, alim, pemimpin ormas NU terbesar di Indonesia, tidak serta merta aman di posisinya saat berkuasa di negeri yang 85% Islam ini. Sesama Islam sendiri ada yang giat menurunkannya.

Karena itu, Islam politik harus tetap diwaspadai. Meski HTI-FPI dibubarkan ideologi mereka tidak mati, sebagaimana DI/TII – di dekade 1950-60’an. Mereka yang masih teriak “komunas-komunis”  hari ini adalah upaya mengalihkan  perhatian untuk mengamankan kaum radikal yang sedang merayap merebut kekuasaan. Kini melalui kaum Taliban.   ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.