Live report di tengah terik matahari. Ibadah dan menjalankan tugas jurnalistik berbarengan. (Foto dok. Syah Sabur)
DI SAAT musim haji seperti saat ini, rasa kangen ke Tanah Suci selalu memenuhi perasaan. Ya, pergi ke Tanah Suci memang selalu ngangenin, termasuk untuk saya yang pernah dua kali berhaji dan sekali umroh bersama istri tercinta.
Khusus untuk haji, saya mendapatkan dua kesempatan itu tanpa diduga. Yang pertama saya dapatkan tahun 1997, saat masih bekerja di koran Suara Pembaruan. Sekitar dua pekan menjelang haji, saya ditemui senior saya, bang Wall Paragoan. Dia menawarkan jatah hajinya kepada saya karena dia sudah bernazar untuk pergi haji dengan biaya sendiri.
Tentu saja kesempatan itu saya terima dengan penuh sukacita. Saya pun menyiapkan semua dokumen hingga akhirnya saya benar-benar berangkat ke Tanah Suci.
Haji yang kedua pun mirip. Saya mendapat tawaran haji juga di saat last minute, sekitar dua pekan menjelang keberangkatan. Tanpa diduga, mas Abeng (Bambang Hamid), sahabat saya di Metro TV yang menjadi penanggung jawab liputan haji Tahun 2014, menawari saya untuk liputan haji. Lagi-lagi tawaran tersebut saya sambut dengan penuh syukur.
Bagi sebagian jurnalis, berhaji sambal liputan itu akan mengganggu ibadah. Bahkan ada teman yang komplain karena uang saku yang diterima dari kantor hanya setengahnya. Gila!! Mendapat kesempatan berhaji masih komplain soal uang saku. Komplain juga karena merasa tidak bisa khusyuk beribadah.
Liputan dan ibadah haji
Betulkah berhaji dan liputan bisa saling mengganggu? Pengalaman saya membuktikan tidak. Sebab, hampir semua aspek ibadah haji bisa menjadi bahan liputan yang menarik. Melihat jemaah haji berdesak-desakan untuk mencium batu hajar aswad, saya pun penasaran apa yang mendorong mereka melakukannya. Padahal, upaya tersebut amat berisiko. Minimal bisa terdorong banyak jemaah lain yang berebut mencum batu hitam itu. Hal itu juga bisa berakhir mengenaskan; jemaah terinjak-injak sesama jemaah. Bahkan banyak cerita, ada jemaah yang patah tangan akibat terdorong jemaah lain.
Setelah meminta camper diam-diam mengambil gambar dengan kamera handphone, saya pun bertanya kepada banyak ustad atau pembimbing haji yang mudah ditemui di antara jemaah, termasuk dalil yang menguatkan upaya tersebut. Sebagai pelengkap, saya bertanya kepada jemaah mengapa mereka ngotot mencium hajar aswad. Tanpa susah payah, saya pun bisa tawaf (berjalan mengelilingi kabah) dan mendapat satu berita.
Demikian juga saat melihat banyak Jemaah yang terpaksa salat wajib di jalan, di trotoar atau di bagian dalam hotel di sekitar Masjidil Haram, saya mendapat ide tentang sah-tidaknya salat di jalan. Lagi-lagi, saya meminta camper mengambil gambar seperlunya. Setelah itu, saya wawancara jemaah asal Indonesia yang salat di jalan disertai pandangan ulama. Jadilah satu berita.
Melihat jemaah menyerbu pedagang kaki lima tiap selesai salat saja, saya langsung membayangkan berita. Tidak perlu pergi jauh karena sumber berita ada di depan mata. Para pedagang menjual aneka kebutuhan. Mulai dari pakaian, tas, koper, makanan, minyak wangi khas Arab, karpet, sajadah, dan lain-lain.
Melihat merpati yang berebut makanan di dekat Masjidil Nabawi saja, saya bisa menjadikannya berita. Saya berpikir, ternyata ibadah ibadah haji memberikan rezeki bagi pedagang kecil yang menjual makanan burung untuk dibeli jemaah dan diberikan kepada rombongan merpati. Adegan merpati berebut makanan saja jadi hiburan kecil bagi jemaah.
Ibadah dan mencari nafkah
Tidak hanya itu, saya pun meminta pendapat ulama tentang haji dan aspek ekonomi. Menurut ulama, ibadah dan mencari nafkah memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, mencari nafkah yang halal pun merupakan ibadah.
Di lain kesempatan, saya bertemu perempuan yang sudah sangat sepuh tengah kebingungan karena terpisah dari rombongannya. Dia tidak bisa bahasa Indonesia dan hanya bisa bahasa Jawa yang tidak saya pahami dialeknya. Saya pun meminta nenek tersebut untuk duduk ditemani camper sedangkan saya mencari petugas haji Indonesia yang biasa yang menangani jemaah yang tersesat.
.
Dari situ saya bisa membuat liputan tentang suka-duka petugas dalam membantu jemaah yang tersesat. Tugas yang tidak mudah karena tiap hari selalu ada orang tua yang tersesat, tidak tahu tempat menginap, kesulitan berkomunikasi karena banyak jemaah yang berasal dari berbagai pelosok di Tanah Air. Tak sedikit juga Jemaah yang hampir tidak bisa jalan setelah berputar-putar tak tentu arah selama beberapa jam dan kehausan/kelaparan sehingga harus digendong atau dinaikkan ke kursi roda (kalau kebetulan ada).
Rasanya, ke mana pun saya pergi untuk beribadah, saya selalu menemukan sumber berita. Di tengah-tengah istirahat, jurnalis juga bisa datang ke klinik tempat jemaah dirawat. Kalau mau di tempat itu, jurnalis bisa membuat berita hampir tiap hari. Tentang mayoritas penyakit yang diderita, tentang jumlah petugas kesehatan, jam kerja mereka, jumlah pasien, tentang stok obat, juga tentang tugas mereka mendampingi jemaah yang sakit dalam menjalankan tawaf atau sa’i. Sa’i adalah berjalan bolak-balik 7 kali antara bukit Shafa dan bukti Marwah.
Berjubel di warung bakso
Bahkan saat mencari makan, saya pun dengan mudah bisa menemukan berita. Bisa tentang jemaah Indonesia yang selalu berjubel di warung bakso atau warung nasi Padang. Padahal bakso dan hidangan nasi Padang biasa saja. Tapi itulah, mereka kangen dengan makanan di kampung.
Di lain waktu, saya menemukan warung yang menjual bahan makanan dari Indonesia. Pandangan saya pun tertuju pada pete yang ternyata banyak diminati jemaah Indonesia. Saya pun membuat beritanya dan siapa sangka, berita tersebut menjadi salah satu berita favorit di layar kaca. Padahal, liputan pete saya buat tanpa perjuangan. Modalnya hanya wawancara penjual dan pembeli, haha.
Masih kurang bukti? Liputan tentang pondokan jemaah, jemaah mencari batu di jalanan becek untuk melempar jumrah, kemacetan luar biasa menuju Arafah, soal tanaman kurma, atau berebut naik ke bukit Uhud, itu hanya sebagian dari liputan. Belum lagi antrean jemaah yang amat panjang untuk membeli ayam Al Baik (KFC model Arab), yang lebih panjang dari antrean untuk melempar jumrah. Lihat juga sebagian jemaah Afrika yang tidur di pinggir jalan karena bekal mereka pas-pasan.
Saking banyaknya berita yang saya kirim, produser di kantor meminta saya untuk istirahat sejenak. “Stok berita mas Sabur masih banyak,” kata produser, Asvin Elyana.
Semacam wisuda setelah selesai semua ritual haji.
Intinya, saya bisa melaksanakan ibadah haji sambal melakukan liputan. Jadi, tidak ada alasan bahwa liputan mengganggu ibadah atau sebaliknya. Saya pun mengerjakanya keduanya dengan suasana gembira. Tidak terpikir uang saku yang hanya setengah.
Mengapa saya harus memikirkan uang saku ketika saya bisa naik haji tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun? Padahal banyak orang harus menunggu bertahun-tahun, belasan hingga puluhan tahun untuk bisa berhaji dengan biaya sendiri yang tidak murah.
Soal liputan, hanya perlu sedikit kejelian karena ibadah haji adalah sumber liputan yang tiada habisnya. Lagi pula, bukankah melaksanakan tugas kantor (yang menghasilkan nafkah untuk keluarga) pun merupakan ibadah? ***