Miniseri lima episode seputar dunia fashion yang nama produknya menjadi brand sejagat, ini tampil glossy dan fashionable.
Oleh AYU SULISTYOWATI
DI ANTARA nama-nama desainer fashion Amerika tahun 80-an macam Bill Blass, Anne Klein, Ralph Lauren, terselip satu nama: Halston. Nama yang terakhir ini bahkan pernah menjajah segala kelas fashion Amerika, dengan segala sesuatu yang berbau fashion dari gaun, tas, parfum hingga karpet.
Namun sejak meninggal 30 tahun silam, nama Halston kini barangkali tak lagi sering disebut-sebut. Munculnya generasi baru dunia fashion seperti Calvin Klein, Ralph Lauren, Giorgio Armani atau Donna Karan juga membuat nama Halston terlupakan banyak orang sebagai salah satu perancang paling jenius yang pernah dimiliki Amerika. Padahal ia disebut sebagai orang yang membentuk dekade 70-an Amerika (juga berpengaruh ke belahan dunia lainnya).
Lahir di Indiana 23 April 1932, Roy Halston Frowick adalah bocah ajaib yang sejak kecil sudah sering membuat topi dan baju untuk ibu, nenek dan kakak perempuannya. Bakat itu menjadi nyata ketika ia benar-benar menjadi desainer professional saat belajar School of the Art Institute of Chicago pada awal 1950-an.
Dengan kemampuan bersosialisasi dan ambisinya, ia bisa ‘memaksa’ seorang klien kaya untuk membukakan toko di Magnificent Mile, Chicago. Tak lama setelah itu ia jadi kepala pembuat topi di Bergdorf Goodman, sebuah department store besar.
Namanya mulai naik ketika ia sukses menciptakan topi yang dikenakan Jacqueline Kennedy saat inagurasi suaminya, JFK di tahun 1961. Setelah itu ia mulai merancang busana wanita dan membuka butik di Madison Avenue, New York.
Dengan bantuan dua tangan kanannya: Joe Eula dan Elsa Perreti – model yang kelak jadi desainer jewelri terkenal, Halston sukses membuat rancangan modern minimalis dengan ‘clean-cut’ yang disukai wanita segala lapisan. Blouse dress rancangannya bahkan laris manis dan dicontoh wanita seluruh dunia. Gaya busana wanita kala itu adalah Halston.
Halston tahu dirinya brilian. Jenius bahkan. Tapi ia juga keras kepala dan sombong, khas kesombongan seniman. Kadang orang lain terpaksa harus ‘mengakalinya’ agar mau melakukan sesuatu. Seperti saat fashion publicist legendaris Eleanor Lambret mengajaknya berpartispasi memperkuat tim desainer Amerika ‘melawan’ desainer Eropa dalam ‘pertarungan bersejarah’: The Battle of Versailles.
Lambert membawa lima perancang Amerika terpanas saat itu: Stephen Burrows, Halston, Bill Blass, Oscar de la Renta dan Anne Klein. Melawan lima perancang top Perancis pada masanya: Yves Saint Laurent, Hubert de Givenchy, Pierre Cardin, Emanuel Ungaro, dan Marc Bohan (head designeri Dior saat itu).
Setelah nego maju mundur dengan Lambret, akhirnya Halston setuju berpartisipasi. Ia mengajak teman lamanya, aktris-penyanyi Liza Minnelli membuka fashion show mereka, dan membuktikan kalau perancang Amerika tak kalah digdaya.
Sepulang dari Prancis, nama dan karya Halston makin ‘menggila’, terutama lantaran ia bekerjasama dengan perusahaan konglomerat besar Norton Simon Inc. yang diwakili David Mahoney. Bersama Mahoney, Halston lantas sukses besar menjual parfum mereknya, juga lini fashion lainnya.
Di puncak karirnya ia bertemu Victor ‘Hugo’ Rojas, penjaja cinta yang akhirnya menjadi pacarnya. Dalam miniseri ini, digambarkan Hugo lah yang memperkenalkan Halston pada narkoba. Selain itu, laki-laki berkumis tebal ala Freddie Mercury ini juga posesif, social climber dan gila duit.
Keras kepala dipadu sederet keputusan salah dalam bisnis, Halston malah kehilangan merek dagang atas namanya ke pihak lain. Di sela-sela kejatuhannya, ia divonis menderita AIDS. Halston lantas menghabiskan sisa hidupnya di jalanan, pergi ke mana ia mau sebelum meninggal pada 25 Maret 1990. Kala itu usianya 57/
Diangkat dari biografi karya Stephen Gaines: Simply Halston (1991), Halston tampil cukup memikat, namun kurang maksimal. Padahal kisah hidup Halston ini bisa sangat epik. Kritikus yang sangat mengenal sosok Halston bahkan banyak yang kecewa dengan miniseri ini. Terutama lantaran sang kreator Ryan Murphy (Nip/Tuck, American Horror Story) gagal memperlihatkan kebesaran Halston sebagai sosok yang membentuk dekade 70an dengan fashion dan sentuhan artistiknya.
Di antara kritik itu, muncullah David Rosendale mantan PR Norton Simon, menuliskan pengalamannya saat bekerja dengan Mahoney dan Halston. Ia mengatakan banyak penceritaan mengenai dua tokoh tadi yang tak sesuai dengan fakta. Menurutnya, tak benar Mahoney mengejar Halston peragaan busana di Eropa untuk merayunya menandatangani kontrak. Faktanya, Rosendale sendiri yang mengadakan konferensi pers di awal Oktober 1973, nyaris satu bulan sebelum pertarungan Versailles dilaksanakan.
Mahoney juga bukan orang yang membuat kejatuhan Halston, sampai ia kehilangan brand-nya sendiri ke pihak lain. Selama bekerjasama, Mahoney selalu mengikuti arahan Halston. Termasuk ketika Halston memutuskan untuk membuat lini busananya dengan harga lebih murah untuk jaringan supermarket JC Penney.
Juga ia mengatakan tak mungkin Halston membuat parfum dengan bantuan ‘aroma’ celana dalam Victor. “Halston tak pernah memuja Victor seperti itu,” tandasnya. Selain fakta bahwa homeseksual belum menjadi hal yang terbuka di tahun 1970-an, sangat berbeda dengan yang digambarkan dalam Halston.
Banyak juga yang mengatakan kalau miniseri kurang maksimal lantaran penulis naskah Ian Brennan dan timnya tak mau menggali lebih dalam. Bahkan ia tak mewawancarai keluarga atau kerabat Halston yang masih hidup. Padahal kabarnya Ryan Murphy memegang kontrak mahal dengan Netflix. Artinya biaya riset pasti ter-cover.
Pertemanan Halston dengan Andy Warhol dan Bianca Jagger, juga hanya disebut-sebut di beberapa bagian. Padahal adegan-adegan di Studio 54 – di mana Halston sering bertemu Bianca dan Warhol — lumayan banyak ditampilkan di miniseri ini.
Begitu pula bagaimana hubungan Halston dengan majalah Vogue, atau bagaimana Revlon dan Max Factor memperebutkannya hanya ditampilkan sekilas tanpa kedalaman yang berarti. Tak mengherankan kalau sebagian kritikus mengatakan kalau Ryan Murphy memang jago bikin presentasi, tapi lemah di eksekusi.
Bagaiamanapun miniseri lima episode ini tampil glossy dan fashionable. Harus diakui kalau tim artistik dan set film ini bekerja sangat baik. Fashion dan make-up yang ditampilkan juga spot-on, kita seperti diajak kembali ke dekade 1970 – 80-an. Sama sekali tak mengherankan kalau nominasi Primetime Emmy diberikan untuk kategori: Production Design for a Narrative Period or Fantasy Program, Outstanding Period Costumes, dan Outstanding Period and/or Character Makeup.
Kelebihan lain yang membuat serial ini asyik ditonton adalah musiknya. Sutradara Daniel Minahan lumayan jeli memasukkan lagu-lagu pada adegan yang pas, membuat Halston juga mendapat nominasi Emmy 2021 di kategori Outstanding Music Supervision.
Namun yang membuat Halston benar-benar hidup adalah sang pemeran utama. Ewan McGregor, sekilas agak terlalu macho memerankan Halston. Tapi aktor asal Skotlandia itu bukan hanya menguasai bahasa tubuh Halston – perhatikan kelingkingnya sangat menggoreskan pinsil di atas kertas, atau caranya memegang cangklong rokoknya – ia juga bicara sangat mirip seperti tokoh aslinya. McGregor memberi tambahan satu nominasi: Outstanding Lead Actor in a Limited or Anthology Series or Movie.
Para pemain lain meski tak sebagus McGregor tapi tak ada yang mengecewakan. Dari David Pittu sebagai Joe Eula yang setia dan sabar, atau Rebecca Dayan sebagai Elsa Perreti tampil pas. Krysta Rodriguez juga bermain bagus sebagai Liza Minnelli. Bahkan pemeran Victor Hugo, Gian Franco Rodriguez sukses membuat kita terbawa emosi.
Di Emmy Awards yang akan diumumkan 19 September nanti McGregor harus mengalahkan empat pesaingnya: Paul Bettany (WandaVision), Hugh Grant (The Undoing), Lin-Manuel Miranda (Hamilton) dan Leslie Odom Jr. (Hamilton).
Kemungkinan McGregor menang tampaknya cukup besar. Ia bermain luar biasa. Apalagi ia memberi nilai plus di miniseri yang sebenarnya bisa jauh lebih bagus ini.
Sebagai hiburan Halston tak buruk. Tapi jangan percaya serratus persen, lantaran sebagai biografi yang akurat, miniseri ini lumayan gagal.
Rating: C+
Genre: Biografi, Drama
Kreator: Ryan Murphy
Sutradara: Daniel Minahan
Pemain: Ewan McGregor, David Pittu, Rebecca Dayan, Bill Pullman, Krysta Rodriguez
Produksi: Killer Film, Ryan Murphy Productions
Tayang di: Netflix