“Hambali pernah mendapat pendidikan militer di Afghanistan. Dia angkatan ke-4 dan lulus 1989, dan sempat menjadi instruktur,” kata Nasir Abas, bekas pimpinan Jemaah Islamiyah kepada BBC.
Seide.id. – Hambali, sosok yang disebut sebagai ‘otak’ serangan teror bom di Bali, Oktober 2002, dan beberapa serangan bom lainnya, dilaporkan akan segera diadili dalam persidangan militer Amerika Serikat, Senin (30/08) waktu setempat.
Setelah melewati 15 tahun masa penahanannya di penjara Guantanamo, Hambali menunggu sidang pertamanya dihadirkan untuk mendengarkan dakwaan atas dirinya. Demikian BBC mengabarkan di laporan terbarunya.
Pemilik nama asli Encep Nurjaman yang disebut sebut sbegai salah-seorang pimpinan organisasi teroris Jemaah Islamiyah ini akan menghadapi dakwaan resmi di depan komisi militer AS di Teluk Guantanamo.
Diketahui, Hambali ditangkap dalam operasi gabungan CIA-Thailand di Ayutthaya, Thailand, 14 Agustus 2003, ketika dalam pelarian. Setelah ditahan di beberapa penjara rahasia milik CIA, dia akhirnya dipindahkan ke Guantanamo pada September 2006.
Upaya Jakarta untuk membawanya pulang saat itu tidak membuahkan hasil, meskipun tim penyidik kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) belakangan diizinkan untuk memeriksanya di Guantanamo.
Selain disebut sebagai perancang serangan Bom Bali 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang. Dia dianggap bertanggung jawab dalam serangan serentak beberapa gereja di tujuh kota di Indonesia pada malam Natal, pada akhir tahun 2000.
Selain Bom Bali 2002, menurut As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, Hambali berada ‘di belakang’ bom Marriot (5 Agustus 2003), bom Kedutaan besar Australia (9 September 2004), bom Bali 2 (1 Oktober 2005) dan terakhir bom Marriot-Ritz Carlton (17 Juli 2009).
Bom di Atrium Senen, Jakarta, 1 Agustus 2001, juga diduga melibatkan Hambali. Pelakunya, Dani, warga Malaysia, adalah anak buah Noerdin M. Top, yang juga bawahan Hambali di Jamaah Islamiah (JI).
Ridwan Isomuddin, nama lainnya saat dia menetap di Malaysia, dilaporkan ikut mendanai pula aksi serangan bom di depan rumah Dubes Filipina di Jakarta, 1 Agustus 2000.
“Rangkaian ledakan bom tersebut merupakan proyek Al-Qaeda yang dipercayakan pelaksanaannya kepada Hambali,” kata As’ad dalam buku Al-Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014).
Hambali dilaporkan pula terlibat pendanaan untuk pelatihan kepada sukarelawan lokal di Poso dan Ambon saat dua wilayah itu dikoyak konflik agama. Pria kelahiran 1964 asal Cianjur, Jawa Barat, ini diyakini sebagai penghubung Jemaah Islamiyah (JI) dan organisasi teroris Al-Qaeda di Asia Tenggara.
Aparat kemanan AS juga menuduh Hambali merencanakan penyerangan terhadap kedutaan besar Amerika Serikat, Inggris dan Australia di Singapura.
Setelah melewati 15 tahun masa penahanannya di penjara Guantanamo, yang berulangkali dikritik para pegiat HAM terkait ‘teknik interogasinya’, Hambali menunggu sidang pertamanya untuk mendengarkan dakwaan atas dirinya.
Hanya saja persidangannya digelar oleh Mahkamah Militer AS dan bukan peradilan sipil. Hal yang dikritik sejak awal oleh pengacaranya dan pegiat HAM dunia.
Ditanya apakah Hambali masih berstatus warga negara Indonesia (WNI), Teuku Faizasyah dari Kementrian Luar Negeri RI, menjawab : “Sepengetahuan saya saat Hambali ditangkap di Thailand, yang bersangkutan memegang paspor non-Indonesia,” katanya, dalam keterangan tertulis. “Jadi status kewarganegarannya merujuk ke paspor tersebut.”
Pada Maret 2010 lalu, Hambali mengajukan permohonan pembebasan dari penahanan tanpa tuduhan kepada pengadilan distrik di Washington. Namun permintaannya tidak diluluskan.
Hambali, awalnya, terlibat gerakan jihad saat bertemu Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir — dua tokoh Negara Islam Indonesia (NII) — di Malaysia pada 1980an.
Dua orang ini melarikan diri ke Malaysia karena menjadi buronan pemerintahan Orde Baru, akibat terlibat gerakan pendirian Negara Islam.
Pada 1987, ketika Afghanistan dicaplok Soviet, Hambali dikirim ke sana untuk mengikuti pelatihan militer dan ikut bertempur mendukung kelompok Mujahidin.
Menurut mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, Hambali merupakan “kader paling cerdas”, terbukti dia terpilih “sebagai lulusan terbaik angkatan keempat.”
“Hambali pernah mendapat pendidikan militer di Afghanistan. Dia angkatan ke-4 dan lulus 1989, dan sempat menjadi instruktur,” kata Nasir Abas, bekas pimpinan Jemaah Islamiyah, kepada BBC News Indonesia, Sabtu (28/08). – dms