Karena kami sahabat, saya hadir untuknya. Saat kutatap wajahnya, dia tersenyum. Namun tak seperti biasanya. Senyumnya hampa: senyum itu lahir dari rasa (hati) yang tak rela, kecut, dan tawar.
Dalam (KBBI) hampa adalah (1) tidak berisi, kosong: padi yang — dibuang saja; (2) tidak bergairah; sepi: perasaannya (hatinya)
Hampa itu seperti langkah tak berjejak, senja tapi tak jingga, cinta tapi tak rata.
Hampa hinggap tidak saja dalam hati, dia bisa hinggap juga dalam perjalanan hidup seseorang, bahkan singgah dalam berbagai tempat ibadat: seperti masjid, mushola, gereja, kelenteng, pure, vihara.
Hampa di ujung perjalanan. Ada kalanya ketika segala keinginanmu terwujud, hatimu malah bereaksi sebaliknya, merasa hampa. Mungkin karena kamu kurang bersyukur. Atau mungkin karena selama ini, kebahagiaan yang kamu dapatkan mengorbankan kebahagiaan orang lain. Sehingga hatimu akan selalu gelisah dan tidak pernah terpuaskan.
Hampa, bisa juga terjadi di awal hidup bersama, ketika sadar setelah patner hidupnya muncul dari lorong jati dirinya (tunnel).
Hampa di rumah Tuhan. Bagaikan gadis jelita yang awalnya banyak pendamba dan pemuja, kini mushola atau gereja dan rumah ibadat itu sunyi menuntun hampa.
Seiring dengan perkembangannya dari masa ke masa, bangunan ibadat dengan berbagai corak itu berubah fungsi sebagai tempat beristirahat, berteduh dan persinggahan semata, yang sifatnya sementara. Hanya segelintir saja yang masih mengindahkannya sebagai tempat peraduan menatap Tuhan.
Betapa tidak? Banyak pemuja yang tak lagi berminat dan hadir menyapa pujaannya. Tak pernah lebih 100 dari 12.000 yang hadir untuk mengadu peliknya hidup ini pada Tuhan. Bahkan ketika dilakukan secara virtual.
Hampa itu hanya dapat dilawan dengan kehadiran. Seluruh hidup-Nya di dunia, adalah bentuk kehadiran Sang Guru, terutama mereka yang sakit, tak berdaya, hampa hidupnya, bimbang dan terasa lelah oleh beratnya beban.
Salam sehat dan tak jemu berbagi cahaya. (Jlitheng)