Seide.id – Merasa berbahagia itu memanjangkan situasi menyenangkan atau pleasurable. Kini bahagia menjadi target hidup orang di dunia, mengukurnya dengan indeks kebahagiaan. Bukan besarnya devisa yang diperoleh negara yang kini menjadi tujuan lagi, melainkan seberapa bahagia rakyatnya. Ternyata bukan negara kaya yang indeks kebahagiaannya tinggi, malah negara adidaya kapitalistis rendah saja indeks kebahagiaannya.
Sekolah tidak mengajarkan bagaimana kita berbahagia. Untuk meraih kebahagiaan tanpa henti, dibutuhkan gaya hidup menyenangkan atau comfortable lifistyle. Kita membaca ada perlu tiga syarat untuk meraihnya, yakni bersiap kalau hidup itu tidak selalu tetap, memiliki kekuatan dalam (inner strength) mewaspadai bila terjadi siatusi buruk, dan jangan menunda menggali sumur sebelum haus.
Bahwa kebahagiaan itu ada di dalam jiwa. Kehidupan tidaklah konstan karena selalu berubah-ubah, tidak pernah memberikan kebahagiaan tanpa henti. Supaya kebahagiaan kita berlangsung tanpa henti, kita perlu berinvestasi dalaman kita, alam yang kekal tak tergantikan (unchanging eternal) yakni jiwa kita. Lebih dari itu, di seberang jiwa ada puncak kebahagiaan yang kita menyebutnya sebagai “bliss”.
Banyak berkembang riset keilmuan untuk masalah spititual, tempat jiwa kita bermukim. Ne-science sebagai pengungkap aneka sumber yang tidak membahagiakan kita. Bahwa perasaan tidak menyenangkan dan penyakit (illness) yang bikin kita tidak happy. Diciptakan jenis latihan dan cara bagaimana mengungkit rasa bahagia, antara lain sacred frequency program, penyembuhan dengan frekuensi bunyi tertentu untuk meditasi.
Berbahagia berarti bicara soal keseimbangan jiwa, badan dan pikiran (soul-body and mind, SBM). Sementara menyenangkan secara fisik yang tertangkap pancaindera soal lima rasa sentuhan, mata, telinga, citarasa. Dan itu baru soal fisik.
Pikiran, apa yang kita pikirkan terkait juga dengan apa yang fisik rasakan. Bila pikiran kita tidak berbahagia, perasaan kita juga sama tidak berbahagia. Pikiran sendiri bisa memilih, punya kemampuan bernalar untuk mengalami berbagai jenis kesenangan untuk meraih kebahagiaan, kebahagiaan dari pikiran. Ihwal kesenangan atau pleasure sendiri yang membuat kita berbahagia tidak bisa kita perikan, tak bisa kita ungkapkan, ibarat menjelaskan rasa gula kepada orang tidak berlidah.
Kita sadari, kehidupan dunia luar selalu berubah-ubah. Problem hidup 80 persen sebab kenyataan spiritual. Seperlimanya terbatas soal kejiwaan dan fisik, sepertiganya soal spitirual kejiwaan dan atau fisik, dan sebagian besar murni masalah spiritualitas.
Sebagian besar problem hidup diatasi dengan praktik spiritual (spiritual practice). Bahwa faktanya, rata-rata spiritual level orang kebanyakan cuma 20 persen, hanya golongan santo, orang kudus dengan level spiritual 70 persen. Siapa pun bisa meningkatkan kekudusan spiritualitasnya dengan praktik spiritual. Riset ihwal itu banyak dilakukan.
Jiwa sendiri tersusun oleh sepersepuluh dunia kesadaran (conscious), selebihnya alam bawah sadar (subconscious). Alam bawah sadar ini yang banyak melakukan peran terhadap rasa berbahagia atau tidak berbahagia.
Dunia sadar yang membuat kita resah cemas sedih gelisah gundah. Dalam dunia sadar kita berada dalam gelombang otak beta – beta wave, yang bila terus menerus menstimulus berulang-ulang terhadap alam bawah sadar membentuk impresi-impresi. Kekuatan impresi yang dialami alam bawah sadar ini yang akan masuk kembali ke dunia sadar: rasa suka tidak suka, naluri, dan keinginan, dan semua sikap sumbang dalam kehidupan. Meditasi dan sejenisnya memindahkan gelombang beta otak memasuki gelombang alpha (Brain Alpha wave) yang bebas dari stimulus dunia luar.
Oleh karena sekarang semakin banyak orang yang hidupnya tidak seimbang antara jiwa, badan, dan pikiran (SBM), maka semakin banyak orang mencari kesembuhan spiritual (Spiritual Healing Remedy), termasuk mencari pelatihan ESP (extrasensory persception).
Bahwa kebahagiaan itu subyektif. Bagaimana orang per orang memilih untuk mengikhtiarkannya. Namun satu hal, apa yang dialami masyarakat di negara-negara dengan indeks kebahagiaan terbilang tinggi, setelah semua kebutuhan dasar hidup, basic needs terarih, ternyata membangun rasa bersyukur dan tidak berekspektasi muluk-muluk dalam hidup, itu kuncinya. Kita bisa mengutipnya. Hiduplah secukupnya, Fragal living, tidak ngoyo, enough is enough, sak madyo. Maka menjadi berbahagia itu pilihan.
Semoga semua berbahagia,
Dr HANDRAWAN NADESUL