Dalam sejarah politik kenegaraan, sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi – atau pasca reformasi – peran wakil presiden nyaris tak signifikan. Sebagai jabatan sangat berwibawa karena menjadi orang kedua di seantero negeri, dengan kode panggilan, “RI-2”. Namun dalam keputusan politik nyaris tak banyak mengubah keadaan. Mengapa keberadaannya kini dipersoalkan?
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
MENGAPA media, para pengamat, politisi dan para aktifis demokrasi, hanya terobsesi pada masa lalu wakil presiden terpilih, dan bukan kepada masa lalu presiden terpilih? Apa pengaruh wakil presiden dalam peta politik di masa lalu, di masa kini dan di masa datang?
Mengapa upaya terus mengusik keluarga presiden dua periode yang fenomenal dan akan berakhir jabatannya, tahun ini – tak kunjung usai, seperti dendam yang tak terlampiaskan.
Gerakan menjatuhkan Presiden Jokowi sebelum masa jabatan berakhir 20 Oktober 2024 ini nampak datang dari berbagai lini dan tidak spontan, tapi terstruktur, sistematif dan masif (TSM).
Ada kesan, banyak pihak yang tidak bisa menerima transisi kekuasaan 2024 kepada Prabowo Subianto, berjalan mulus, “smooth landing” – tak ingin ada “soft landing”. Dengan segala cara landasan dirusak, agar terjadi “hard landing”. Bahkan “crash landing”
Dalam sejarah politik kenegaraan, sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi – atau pasca reformasi – peran wakil presiden nyaris tak signifikan. Sebagai jabatan sangat berwibawa karena menjadi orang kedua di seantero negeri, dengan kode panggilan, “RI-2”. Namun dalam keputusan politik nyaris tak banyak mengubah keadaan.
Seberapa penting peran yang dilakukan oleh Sultan HB IX, H. Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, BJ Habibie, Megawati, Hamzah Haz, HM Jusuf Kalla, Budiono, KH Ma’ruf Amin? Mereka, jelas sekali, bukanlah sosok sosok yang bermanuver dan mengguncang.
BJ Habibie dan Megawati, menjadi pengecualian, karena keduanya melewati transisi sejarah dengan mundurnya Presiden Suharto dan Gus Dur. Akan tetapi, sesudah mendapatkan dan mengambil alih jabatan – menjadi RI-1 keduanya tak terpilih kembali, di pemilu sesudahnya.
Jadi, apa target menyudutkan wakil presiden terpilih kini; Gibran Rakabuming. Juga upaya membidik dan merusak citra adik bungsunya, Kaesang Pangarep.
JELAS sekali peta politik tanah air ; nasional, regional dan internasional di masa datang akan ditentukan oleh kinerja presiden, dalam hal ini Prabowo Subianto. Dan masa lalu Prabowo Subianto tak kurang kontroversialnya.
Jika Prabowo lima tahun terakhir ini dianggap sudah berubah, mengapa tidak dengan Gibran Rakabuming?
Seandainya benar hal yang diributkan terkait Gibran itu benar – seandainya saja valid dan terotentifikasi – apa urusannya dengan kehidupan dia di hari ini?
Di masa itu, dia adalah seorang anak yang membela ayahnya. Kini dia wakil presiden terpilih.
Jelas sekali kontroversi ini tak perlu ada jika kelompok kalah yang tak mau – dan belum bisa – menerima kekalahannya. Jika para pembenci presiden Jokowi, yang hilang jabatan, tersingkir, mengidap kecewa dan sakit hati, mau intropeksi.
Anies Baswedan, Said Sidu, Refly Harun, Abraham Samad, terus merepet, karena menganggur, tak bisa legowo, enggan mawas diri.
Memanfaatkan petualang pikiran yang suka membolak-balikan logika, seperti Rocky Gerung, beserta segelintir media “mainstream” yang menjual kontroversi.
Terbaru, pendekatan petinggi PDIP untuk bergabung masuk kubu Prabowo dan KIM Plus, terkesan menetapkan syarat tanpa presiden sebelumnya, Jokowi, dan hal itu tidak mungkin – menegaskan bahwa perusakan nama Jokowi memang upaya memisahkan Prabowo Jokowi, Prabowo Gibran.
Tak baik untuk kita semua, untuk keseimbangan suatu pemerintahan – jika tak ada oposisi, tak ada suara yang kritis dan konstruktif. ***