Hargai Waktu yang Menghargaimu

Hargai Waktu yang Menghargaimu

Waktu menjadi berharga tatkala kita mampu memanfaatkan dengan baik

“Yuk, kerjain PR!” Atau “Sudah tulis jurnal proyekmu?”

Seberapa sering kita sebagai orang tua mengatakan itu, lalu ditanggapi anak dengan lima menit lagi, atau … nanti sesudah makan, atau … aku lagi sakit perut jadi tak bisa konsentrasi?

Tak berbeda dengan anak, pernahkah ada momen saat bertemu dengan orang dewasa yang ketika diingatkan deadline atau ditagih tugasnya, beribu alasan dia ungkapkan.

Mulai dari sibuk dan overload, gawai yang bermasalah, kondisinya sedang kurang fit, bahkan yang terparah moodnya sedang buruk, jadi tak bisa menuntaskan tugasnya.

Kesalkah Anda dengan situasi tersebut? Atau mulai dengan marah dan berakhir putus asa?

Saya, salah satunya. Hal pertama yang seketika tebersit saat itu, ‘mengapa orang bisa seenaknya menunda-nunda menyelesaikan tugas yang diembannya.’ Pernyataan saya seolah sudah sempurna saja, ya!

Padahal …

Saya pun pernah seperti itu. Terutama ketika terlalu cemas dan insecure apakah tugas atau karya saya sudah baik atau belum. Dalam beberapa kompetisi karya fiksi, saya yang terbiasa bukan mepet deadline, malah di waktu sangat mendesak mendaftarkannya. Bahkan saking cemasnya, ada yang saya batalkan keikutsertaan dalam 1 jam terakhir deadline.

Faktanya, hal itu ditunjukkan bungsu saya juga ketika dia menunda mengerjakan PR-nya, atau menulis jurnal proyek risetnya.

‘Terlalu sulit! Aku nggak tahu harus ngapain. Awalnya kayak gimana, nanti aku banyak salahnya.’

Melihat hal itu berarti dalam benak saya dan si bungsu, ada standar yang ditetapkan untuk segera mengerjakan. Yaitu bila hal itu berkategori MUDAH. Ketika berubah menjadi kompleks atau sulit, sebagai cara berkelit, kami memilih berlambat-lambat mengerjakannya.

Merujuk pada analisa psikologi, ternyata perasaan insecure akan hasil yang tidak terbaik atau maksimal menjadi salah satu penyebabnya. Lalu, apalagi kira-kira alasan seseorang bertindak proscranitation – secara psikologi?

Menunda-nunda pada umumnya didorong keinginan seseorang menghindari tugas, karena tidak yakin mampu melakukannya dengan baik. Hal ini mungkin terkait kompleksitas hal yang harus dikerjakan, atau ada hal lain yang lebih menarik dan menurut kita lebih penting dilakukan menurut skala prioritas.

Dari beberapa ulasan psikologi yang saya baca, ada beberapa penyebab seseorang menunda-nunda menuntaskan tugas dan atau tanggung jawabnya.

1. Rendahnya rasa percaya diri seseorang

2. Memiliki kecemasan berlebih bila berhadapan dengan hal baru

3. Ketidakmampuan memotivasi diri mengerjakan tugas yang membosankan atau tidak disukai

4. Menetapkan standar sempurna dalam setiap penyelesaian tugas

5. Manajemen waktu yang buruk

6. Punya masalah pribadi yang mengganggu keseharian, seperti masalah keuangan atau kesehatan

Hal lain yang tidak saya masukkan di atas adalah kecenderungan seseorang yang suka membesar-besarkan hati, yang dikenal dengan istilah affective forecasting. Agak sulit saya menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Namun, contohnya seperti ini.

Seseorang yang merasa tidak enak sudah menunda tugas yang harus tuntas hari ini, lalu melakukan afirmasi diri bahwa besok pasti diselesaikannya. Ternyata kesibukan di esok hari sungguh padat. Sehingga tidak bisa menuntaskannya lagi. Kondisi affective forecasting ini hanya untuk menutupi perasaan tidak enak karena belum mengerjakan, akan tetapi ketika tidak bisa lagi di esok hari, kondisi seperti itu akan terulang kembali. Dan, bila terus menerus hal itu sudah menjadi lingkaran setan yang sulit diputus.

Laman Psychology Today pernah mengungkapkan dalam salah satu tulisannya, dalam temuan salah satu riset dikatakan orang yang suka menunda-nunda dan berlambat-lambat menuntaskan tugas umumnya memiliki nilai hidup yang berbeda.

Analisanya menyebutkan pribadi tersebut lebih menghargai hal atau peristiwa yang dialami saat itu (enjoy the moment), tidak ‘gila kerja’ (istilah satire untuk orang yang memiliki etos kerja yang kuat), merasa performa kerjanya lebih baik bila mengerjakan hal yang bermanfaat untuk dirinya, dibanding menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.

Sejujurnya, bila ingin berpikir sederhana, ya tak usah mengontrol apa yang tak bisa saya kontrol. Tabiat dan pilihan hidup seperti di atas contohnya.

Namun, sebagai ladang belajar jadikan hal itu sebagai bahan mengevaluasi diri untuk tidak melakukan hal demikian.

Renungkanlah hal berikut ini sebagai bentuk refleksi diri.

Di dunia ini tak semua hal mutlak menuruti atau berjalan sesuai keinginan diri sendiri saja. Selama berinteraksi dengan orang lain, sepanjang kita bekerja, berkeluarga, dan hidup bermasyarakat; adakalanya kita membantu, berkontribusi untuk orang lain, yang berarti mengerjakan hal tertentu yang sebenarnya tak wajib kita selesaikan. Hanya karena kesukarelaan kita mau melaksanakannya.

Kerja-kerja sukarela semacam ini memang tak berisiko teguran, sanksi atau pemutusan hubungan kerja; melainkan (hanya) kredibilitas, imej buruk, dan tentu saja pertanggungjawaban moral. Bagaimana seseorang bertanggung jawab atas keikutsertaan dalam komunitas atau lembaga itu, termasuk mempertanggungjawabkan hal-hal yang telah diperoleh.

Tak mudah memang karena terkait komitmen setiap orang, akan tetapi bila tujuan utamanya adalah tercapainya visi, misi komunitas, dan untuk kehidupan dan dunia yang lebih baik, tentu mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya akan dilakukan dengan sendirinya.

Sebagai catatan, perilaku menunda-nunda yang lama kelamaan bisa menjadi kebiasaan buruk seseorang ini, bila dibawa ke dunia profesional, memungkinkan dilabeli sebagai orang yang kinerjanya buruk. Deadline proyek juga akan tak sesuai waktu yang berarti mengurangi produktivitas dan menambah biaya akibat keterlambatan.

Lebih lanjut lagi, perilaku menunda-nunda ini memberi pengaruh buruk bagi kesehatan mental, karena ketika hal tersebut dilakukan, level stress, kecemasan, rasa bersalah dan depresi mengalami peningkatan. Bila berkelanjutan, hal tersebut akan membentuk siklus negative thinking, yang berujung pada harga diri yang rendah dan putus asa.

Bila kesehatan mental sudah mulai terimbas, ahli akan menyarankan orang tersebut untuk mengikuti CBT (Cognitive Behavioural Therapy) yang membantu mengidentifikasi dan menghadapi hal-hal penyebab kita menunda-nunda), serta MBSR (Mindfulness-based stress reduction) di mana seseorang biasa melakukan meditasi untuk belajar hadir pada momen tersebut dan mewaspadai setiap pikiran dan perilaku yang muncul ketika ingin menunda-nunda

Sayangnya, berapa banyak dari kita yang telah menyadari bahwa perilaku berlambat-lambat dan menunda-nunda akan berefek sedemikian jauh bagi diri seseorang.

Pendapat saya sendiri, menunda-nunda hanya akan menumpuk pekerjaan di waktu yang lain, dan membuat tambahan beban pikiran karena belum selesai.

Yang jelas, tak ada seorang pun ingin ketidakmampuan menghargai waktu dan momen dalam arti kesadaran untuk mengapresiasi diri sendiri, seharusnya tidak sampai berujung penyesalan.  

Karena dalam beberapa hal, peluang,  momen, peristiwa tahu-tahunya terlewat karena kondisi yang tak terduga, seperti sakit atau kematian.

Unggahan video Kira Andersen tentang momen putri sulungnya menari bersama mendiang suaminya, dua bulan sebelum berpulang karena kanker di laman instagram, menunjukkan caption ini

Never take a day for granted. Every single day is a gift.” – @theessentialsbykira

Betapa berharganya setiap waktu ketika momen, tanggung jawab, kehadiran, bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Psikopat Terselubung

Kompetitif Sehat dalam Dunia yang Kompetitif, Bisakah?

Meluruskkan Ihwal Food Additive

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta