Sebagaimana Dikisahkan Iwan Burnani pada sahabatnya
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
Hari Selasa, 3 Agustus 2009. Aku mau ke rumah sakit tiba-tiba aku di telepon anak Mbah Surip bahwa Mbah Surip meninggal dan minta dimakamkan di Bengkel Teater Cipayung. Aku telp Mbak Ida mengabarkan hal itu. Mbak Ida minta waktu 15 menit, untuk memastikan mas Willy bisa menerima kabar itu. Karena masalah sakit jantung yang sedang diidapnya. Tak mau kondisi Mas Willy tambah merosot.
Aku menunggu. Ternyata tak sampai 15 menit mbak Ida mengabari balik, “Silahkan, Wan. Mas Willy minta Iwan yang urus semua sampai selesai dan segera dimakamkan, ” pesannya.
Aku pun segera menuju ke rumah Mamiek Prakoso, tempat mbah Surip disemayamkan sementara, lalu aku temui anak laki lakinya, Farid. Aku bilang, “tolongg kabari keluarga di Mojokerto, apakah mereka ikhlas almarhum dimakamkan di Cipayung. Ini penting. Khawatir, nanti sudah dimakamkan mereka nggak setuju”.
Hasilnya, semua keluarga setuju . Barulah Mbah Surip dimakamkan di Cipayung malam hari setelah menunggu anaknya dari Mojokerto minta dinikahkan di depan jenazah almarhum.
Menjelang doa tahlilan, sambil Yasinan, memperingati tiga hari meninggalnya Mbah Surip, kami juga berdoa untuk kesembuhan mas Willy . Setelah itu, aku rapat dengan anak-anak Bengkel. Selesai rapat aku mau pulang dulu ke Cibubur di jalan aku lapar dan mau makan pecel lele.
Baru saja mau pesan, Yus, adik iparku telp mas Willy sudah tak ada. Pesanan langsung kubatalkan, ngebut memacu mobil VWku ke Mitra Keluarga Kelapa Gading dan tiba-tiba Yus telepon lagi, mengabari, “Mas Willy meninggal di Mitra Keluarga Depok”. Waduh!
Sampai di rumah sakit aku langsung masuk dan aku lihat mbak Ida sudah pingsan. Clara Shinta dan yang lain terpukul dan amat sedih. Aku tanya sama petugas rumah sakit dimana Mas Rendra. Mereka bilang nggak boleh masuk dan aku marah.
Aku nekad mendobrak tempat mas Willy sedang dibersihkan, tubuhnya sudah kaku dan telanjang. Aku langsung aku peluk erat dan nggak bisa menahan tangis. Setelah itu tubuhku lemes, hilang tenaga, dan dipapah sama petugas rumah sakit.
Setelah cukup kuat untuk bicara, aku berunding dengan Clara Shinta dan Tedy, anak Mas Willy, dan diputuskan disemayankan di rumah Clara shinta di Pesona . Sampai di rumah mas Willy disemayamkan dan aku berunding lagi sama clara Shinta dan Tedy. “Kita makamkan di Cipayung dan sudah disiapkan sesuai dengan permintaan Mas Willy lokasinya sebelum dia meninggal, “ katanya.
Kami sepakat sehabis sholat subuh di bawa ke cipayung menghindari macet dan pemakaman ditetapkan jam jam 14.00 menunggu Yonas, anak mas Willy yang tinggal di Kalimantan.
Semula kami sepakati, jika pk. 14.00 belum datang, jenazah tetap akan langsung dimakamkan. Namun yang terlambat datang malah Naomi dan Rachel dari Jogya sehingga akhirnya ditinggsl saja. Saat pemakam, aku pingsan di lokasi pemakaman, saat bangun orang-orang sudah sepi. Setelah mas Willy meninggal semua program yang kami gagas dengan semangat, mandeg. (Bersambung)