Hari-hariku Bersama WS Rendra (2)

Sebagaimana Dikisahkan Iwan Burnani pada sahabatnya

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

 “Oke, Wan.  Aku suka kamu sutradarai dan kamu jangan kecewa. Nanti kita buat film!” kata Mas Willy, setelah kegagalan kelanjutan produksi serial sinetron Oemar Bakrie.

“Mas, mau buat film?” tanya saya kaget.

“Iya!” jawabnya

“Oke, “ kubilang, “buat film” aku menggumam saja.

Sesudah itu aku sudah sering ke Cipayung – maskar Bengkel Teater – dan kami ngobrol lagi.  “Nih, ” katanya sembari kasi buku tebal. Terus aku baca. Dua hari selesai aku baca dan aku tertarik. Tentang perjuangan seorang dokter di Irian. Terus dia tanya, “bagaimana?”

“Wah, asyik, Mas. Aku suka. Jadi, Mas, aku sebagai apa di sini?” tanyaku bingung

“Sutradara, aku bilang kan seneng kamu nyutradarain aku”. Dan aku terkaget-kaget.

“Kamu gila bisa mengatasi keadaan aku, bagaimana waktu itu kamu nyuruh aku naik sepeda, boncengan, udah tahu umurku tujuhpuluh. Kalau goncengan sambil dialog berdua, ‘kan susah, Wan? Pasti ada oleng dan keseimbangan, nanti kamu coba saja kalau sudah umur tujuhpuluh. Kamu pasti merasakan keseimbangan itu. Aku sekarang sudah umur tujuhpuluh, o, iya aku juga merasakan keseimbangan itu ngga ada. Kalau naik motor kadang-kadang udah, udah ngga beres juga, kan?”.

“Nah…aku suka lagi kamu bisa ngakalin bagaimana dengan cara… aku ngga bisa naik sepeda berboncengan sambil dialog”.

Ya, aku inget waktu itu, Pri, waktu kita di Amerika, kita pernah ke tempat Tom, Lighting Engineer, inget kan? Di rumahnya itu ‘kan tempat kumpul kru-kru film dan alat-alatnya. Aku lihat kamera-kamera sampai terbengong-bengong melihat shooting. Dan aku lihat ada gandengan trailer yang rendah, itu buat adegan-adegan mobil itu bukannya kaya di sini mau nempel di mobil. 

Trailer itu yang membuat aku ada ide…. “Mas, akua da ide. Tapi mau nyewa trailer di mana, ada sama Rano di Jakarta. Kita shooting di Bandung.

Akhirnya… aku sewa pick up. “Ini aku disuruh naik pickup? ” tanyanya

“Iya, Mas Willy akting seperti naik sepeda beneran. Tapi kameraku nggak bisa biasa, harus low. Kalau tidak, view di jalan kelihatan bohongan”.

Dan Alhamdulillah Mas Willy seneng banget.

Ya, Pri, waktu kita di New York aku sering jalan sendiri nggak bersama group. Aku jalan sama Hasan orang dari Konjen dan aku di ajak jalan-jalan ke New Jersy, Philadelphia sampai ke Atlantic city – kota judi – dan aku diajak main judi juga ha.. ha .. ha ..

Kadang-kadang, saya potong aktingnya “Cut!” Kubilang.

“Ini apalagi, sih, Wan? “ Mas Willy protes.

“Mas, ini film, bukan teater. Aku minta Mas Willy lebih rileks, body language-nya juga harus santai. Film, film, lebih realis, ” kata saya mengarahkannya.

“Oke Siap, “ dia bilang.

Tiba-tiba punya problem lagi, ada adegan dia harus berboncengan sama Nungki. Bagaimana dia dari sekolah harus nganter Nungki untuk mencari uang pinjaman untuk bayar uang sekolah anaknya? Ya, itulah tragis hidup seorang guru – yang untuk sekolahkan anaknya aja tidak  bisa.

“Tadi bagaimana ini, Wan? Dialog sama Nungki, panjang lagi? Tar ‘cut to cut’. Panjang lagi.”

Aku tak menjawab, menyelesaikan dulu shooting di dalam, sambil cari ide. Setelah scene Nunky Kusumastuti di dalam selesai, aku bilang sama Mas Willy, “Mas nanti pas Nungki keluar dari dalam menemui Mas Willy nunggu di sepeda dan Mas Wily bonceng Nungky, begitu baru mau jalan ban sepeda tiba-tiba kempes dan mas Willy berhenti turun lalu mas Willy melihat ban belakang yg kempes. Di sini mas Willy bisa memainkan perubahan ekspresi yang tadinya problem pinjam uang yang nggak tahu apakah Nungky dapat atau tidak ditambah dengan ban kempes dn shotnya akan aku ambil dari ruji-ruji sepeda?

Meski produksi macet, Mas Willy menyukai gaya penyutradaraanku. Kerjasama kami berlanjut.

“Bagaimana, Mas ? ” tanya saya. Spontan dia jawab “Waah,  oke banget!”

“Setelah itu Mas Willy dengan menuntun sepeda mencari tambal ban sambal berdialog sama Nungky, ” papar saya.

Mas Willy bilang,  “Oke take yuk…”

JADI, PRI — setelah Oemar Bakrie aku mulai aktif di bengkel dn ikut diskusi kewarga negaraan yang di pimpin oleh Eeep Saefulloh Fattah dan diskusi ini sudah berjalan lama, termasuk SBY dan Wiranto pernah ikut juga Sutrino Bachir yang dulu Ketum PAN. Aku jg mendampingi mas Willy buka kelas untuk Sutrino Bachir dan anggota cukup banyak. Mas Willy mengajar tentang politik dn kebudayaan. Lumayan juga. Mas Willy dibayar..

Tahun 2008 Mas Willy kedatangan Menteri Kehutanan Bang AS Kaban dan rupanya mas Willy diminta membuat pementasn tentang hutan yang akhirnya diberi judul Suluk Hijau. Aku bilang “Mas aku siap tuk membantu, nggak kasih honor juga nggak apa!”. Para pemainnya, selain anak Bengkel ada, Ayu Azhari, KH Mustapa Bisri dan musiknya Wayan Sadre almarhum.

Setelah selesai pentas aku mau pulang ke Cibubur dan Mas Willy memanggil aku. Dia mengeluarkan uang dari kantong kertas dan memberi aku honor.

Program ini berlanjut dengan membuat film dokumenter tentang hutan dan aku menjadi Sutradaranya. Mas Willy Rendra membuat puisi tentang hutan dan proses pemembuatan puisinya seru.

Aku disuruh ambil kertas kosong ditaruh di meja dia dan aku lihat 1 hari, 2 hari, 3 hari kertas itu masih kosong.

Aku tanya, “kapan puisinya selesai mas?” Dia menjawab,  “Sabar, puisi pesanan ini rada susah” katanya.

Di hari ke empat (4) puisi itu jadi dan hasilnya bagus . Ditulis tangan dan aku lupa dimana mudah-mudahan ada sama mbak Ida (Ken Zuraida.ed) tapi aku cek di buku puisi mas Willy yang baru di terbitkan kok nggak ada puisi itu? Padahal buku puisi yang tebal itu menerbitkan sajak Mas Willy dari awal sampai sajak yg terakhir dia tulis di rumah sakit Mitra Keluarga tapi di DVD hasil suting aku ada. (Bersambung)

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.