PADA hari ini, Rabu, 4 Agustus 2021, K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur berulang tahun. Seandainya Gusti Allah mengizinkan beliau terus bersama kita, maka usia beliau kini berusia 81 tahun. Secara kebetulan di KTP saya, tertulis lahir 4 Agustus juga, lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Jadi kami merayakan ulang tahun bareng.
Persamaan saya dan Gus Dur adalah sama sama pluralis – humanis. Nasionalis, moderat. Bhineka Tunggal Ika. Bedanya beliau Kyai, saya Abangan. Beliau paham bola, saya nggak. Beliau punya ingatan sangat baik – mampu menghapal ribuan nomor telepon – sedangkan saya pelupa. Sama sama suka nonton bioskop, mengamati film, baca buku dan rajin nulis.
Gus Dur suka melucu, lucunya lucu bener. Sedangkan saya lucunya ngasal. Tapi kami sama sama punya empat anak. Kebetulan saya dari dua induk.
Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil di Jombang, 7 September 1940. “Addakhil” konon berarti “Sang Penakluk”. Ayahnya adalah KH. Abdul Wahid Hasjim , menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia, putra dari KH M. Hasyim Asy’ari, pahlawan nasional Indonesia. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar di Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
“Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”. Megawati beberapakali menyebut “Mas Dur”.
Sedangkan saya keturunan Marhaen yang artinya rakyat jelata. Wong Deso. Soekarnois. Ayah saya buka bengkel, tapi sejak bayi saya ikut Bude, beda kota, yang punya warung makan di jalur selatan Jawa. Sampai tahun 1975, yaitu ketika saya meninggalkan kampung halaman, tempat kami tinggal belum teraliri listrik. Jelang ke ibukota tugas rutin saya mengompa lampu Petromak, dan membersihkan torong (kaca) lampu tempel di kamar kamar.
Sejak 1970-an, Pak De saya membawa radio transistor merk Telesonic 2 band. Itulah barang paling modern dan paling merah di rumah kami, masa itu, selain sepeda. Dari sana keluarga kami mengenal lantunan suara emas Waljinah dan Enny Koesrini, juga Ki Narto Sabdo dan Nyi Tjondrolukito . Dari kakak saya, saya mengenal Koes Plus dan Panbres, juga Titiek Sandora dan Tetty Kadi, The Bee Gees dan Elvis Presley, yang suaranya hilang timbul, soalnya diterima pakai jalur pendek (SW alias short wave) siaran Radio Australia.
Menyusul kemudian mesin jahit Singer datang, lambang bergengsi bagi kaum yang “agak berpunya” di kampung kami. Saya sempat belajar menjahit juga, setidaknya menambal celana dan baju sendiri.
Karena saya tinggal di rumah yang merangkap rumah makan, praktis saya selalu makan nasi. Bagi generasi 1960-70 ini penting diceritakan, sebab teman teman saya banyak makan gaplek, jagung. Indonesia baru bangkit dari krisis warisan Orla yang mengalami inflasi hingga 635 persen, dan uang dipotong (sanering), dari Rp1.000 menjadi Rp.1 rupiah
Sampai sunat di usia 13 tahun, untuk pertama kali saya makan telor asin utuh satu butir. Sebelum itu, sebutir telor harus dibagi 4 atau delapan. Saudara banyak. Masa kecil saya sempat korengan dan kudisan juga, sama dengan generasi di usia yang sama di seluruh Indonesia. Saya ceritakan ini, karena mendengar curhat yang sama dari sahabat saya di kantor yang berasal dari Banten, Cirebon dan Tapanuli.
GUS DUR secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Prancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Kita sama sama mengenal Gus Dur sebagai tokoh pejuang pluralisme, pejuang demokrasi – dengan latar belakang muslim taat – kalangan yang cenderung menolak demokrasi. Dia menggagas membumikan Islam dengan mengganti kata kata Arab ke Indonesia, dan mendapat perlawanan ulama ulama yang ke Arab araban.
Dia menjabat sebagai Presiden Indonesia ke empat antara 1999 hingga 2001, menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999. Sebelum berkantor di istana, Gus Dur menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Gud Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional dan langsung membuat kejutan dengan menghapus Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Terbukti kemudian Departemen cuma jadi sarang proyek, dan Kementrian Sosial jadi bancakan koruptor yang memanfaatkan bencana dan musibah rakyat untuk keuntungan pejabatnya. Kita lihat sekarang tokoh bersih dan dedikatif macam Bu Risma kewelahan mengatasi pejabat internal yang biasa memanfaatkan bencana sebagai rezeki tambahan.
Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Gur Dur berkuasa ketika parlemen sangat kuat. Gus Dur tidak taktis, sering menerima masukan keliru, sehingga main tabrak. Kelemahan pada pandangannya juga kelemahan pada politiknya. Meski juga kelebihan pada instinknya. Demikian memang yang terjadi di antara mereka yang ada masalah di indra netra.
Pada masa pemerintahannya yang sangat singkat, yakni 18 bulan – dan diturunkan secara kasar – Gus Dur melakukan diplomasi ke berbagai negara, 80 kali mengadakan perjalanan ke luar negeri – meninggalkan warisan yang kita nikmati kini. Desakralisasi istana. NU yang makin nasionalis dan tebal rasa NKRI-nya. Mengembalikan Irian barat menjadi Papua.
Saudara saudara kita dari Tionghoa yang bisa merayakan lagi berbagai tradisi leluhurnya. Imlek jadi hari raya resmi dan dirayakan lagi dengan sukacita, Barongsai dan kuliner hidup lagi. Kong Hu Chu diakui sebagai agama, dan penganutnya bisa menikah secara Khong Hu Chu juga. Juga bahasa Mandarin di kalangan generasi mudanya.
Gus Dur membela Inul Daratista dari serangan Rhoma, membela Dewa dari keroyokan FPI, membela Ahmadiyah yang diangggap menyimpang serta warga minoritas lain yang terpinggirkan.
Gus Dur meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun, setelah rutin menjalani cuci darah, akibat berbagai komplikasi yang dideritanya.
Setelah tak bersama kita, nama Gus Dur terus dimuliakan. Makamnya tak henti henti diziarahi warga. Sebaliknya para politisi yang mendorong jatuh entah di mana. Tetap jadi pecundang dan gelandangan politik.
Saya menyama-nyamakan diri dengan Gus Dur bukan atas kemauan saya, melainkan ada sponsor yang mengirimi kaos dan topi Gus Durian. Katanya, tulisan tulisan saya sejalan dengan cita cita Gus Dur. Alhamdulillah. Kebetulan kok tanggal lahirnya sama juga, katanya. Saya malah nggak ngeh. ***