Seide.id- Sebanyak apapun harta yang kita kumpulkan. Setinggi prestasi atau jabatan apapun yang kita raih. Semua itu tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan keselamatan jiwa.
Ya, keselamatan jiwa itu prioritas pertama dan utama, jika dibanding dengan kebendaan yang bersifat duniawi. Bukan popularitas, tahta, maupun harta dunia. Melainkan keselamatan jiwa adalah puncak kebahagiaan sejati.
Ketika kita diingatkan keselamatan jiwa, itu adalah anugerah Allah agar kita sadar diri. Allah yang setia menyapa dan rindukan umat-Nya agar kita bahagia.
Di usia yang belum genap 30 tahun, saya seperti disadarkan, ketika dalam suatu kunjungan tugas sosial ke rumah seorang Oma yang tinggal berdua dengan pembatunya.
Oma itu tinggal di lingkungan elite, dan anak-anaknya sukses. Bahkan kedua orang anaknya yang tinggal di luar negeri mempunyai usaha sendiri. Kenapa Oma tidak tinggal bersama anaknya?
Ternyata, Oma yang terbiasa hidup mandiri itu tidak ingin merepoti anak-anak atau cucunya. Menurut Oma, hidup ikhlas itu tidak menuntut, tapi suatu kesadaran pribadi untuk saling menghargai dan menghormati. Bahkan, jika Oma itu tidak kuat lagi, ia rela tinggal di rumah jompo, dan ikhlas.
Kemandirian dan keikhlasan Oma itu sungguh menginspirasi saya. Sehingga saya mampu menulis sebuah novel rohani “Sayap-Sayap Kaku”. Sekaligus menyadarkan saya untuk membahagiakan kedua orangtua yang tinggal bersama keluarga kakak di kampung.
Kebahagiakan yang saya maksud adalah kebahagiaan jiwa orangtua agar menjalankan keimanannya dengan baik.
Ketika mudik kampung, saya mengutarakan tentang keimanan itu pada orangtua. Intinya, semua agama itu baik asalkan ditekuni dan dijalankan secara benar dengan kesungguhan hati. Bahkan saya selalu siap dan menyediakan waktu untuk menemani mereka belajar agama.
Selain itu, hidup sekadar menabung kebaikan itu tidak cukup sebagai bekal peziarahan menuju pulang pada Allah, jika kita tidak tahu pasti arah-Nya. Sehingga dibutuhkan tuntunan atau kompas yang arahkan kita ke jalan Allah.
Perlahan tapi pasti, dengan hati-hati, dan sabar saya menjelaskan makna iman yang benar dan baik agar direnungkan oleh kedua orangtua saya.
Hingga akhirnya, kebahagiaan itu datang. Saat saya mudik kembali, kedua orangtua telah mengikuti pelajaran agama. Bahkan untuk pertama kali kami bertiga mengikuti misa Minggu sore yang berbahasa Jawa. Mereka akhirnya dibaptis.
Kini, kedua orangtua saya telah berpulang pada Allah. Itulah puncak kebahagiaan saya, karena Allah berkenan gunakan saya sebagai saluran berkat-Nya.
(Mas Redjo)
Tinggal di Kompleks itu Siap Mental, Kalau di Kampung Siap Bahagia