Hartono Setyawan alias Hartono Prapanca (kanan) bersama pengacaranya, Frans Winartha di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan . Foto: Screenshoot SCTV.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SYAHDAN ketika berlangsung KTT Non Blok di Jakarta, 1992, Hartono Prapanca ketiban rejeki nomplok. Panen besar. Tak ada acara pertemuan internasional yang tak memerlukan kehadian ladys escort – begitu sebutan kerennya. Politik itu keras, Bung. Perlu ada bunga dan pewari. Mereka berfungsi juga sebagaimana Laison Officer yang merupakan penghubung satu delegasi dengan delegasi yang lain. Ladys Escort adalah pelicinnya.
Jauh sebelum ramai bisnis lady escort import; biasa disebut Kuda Putih – Cungko – Cewek Uzbek, yang dianggap sebagai suguhan yang prestige, Hartono Prapanca sudah memulainya.
Konon dari hasil KTT Non Blok itu, dengan jaminan mutu dan jaringan yang dimilikinya – juga atas permintaan konsumen yang memerlukan – Hartono pun mengembangkan bisnisnya ke berbagai kota. Di antaranya Semarang, Surabaya, Bali dan bahkan Batam.
Hartono mengalami nasib apes saat mengembangkan ke Planet Bali. Hartono bisa bertahan dari gempuran aparat, tapi tidak ketika menghadapi konglomerat yang satu itu. Dia remuk.
Tahun 1994 dia membangun Planet Bali sebagai “one stop entertainment”. Namun terhempas oleh krisis perbankan, sehingga Bank Tamara, yang memberikan pinjaman tidak sanggup lagi membiayai bisnis ambisius yang digagas Hartono.
Konon, Hartono kemudian meminjam uang kepada bos Artha Graha, Tomy Winata. Ia kemudian diberi pinjaman modal sebesar Rp 8,5 milliar untuk kelanjutan proyeknya. Belakangan, pinjamannya ke Tomy Winata membengkak hingga Rp 63,7 miliar. Kasusnya sampai ke pengadilan, bahkan sempat diendapkan hingga dua tahun.
proyek itu berhasil dirampungkan dan diresmikan pemakaiannya pada 8 Agustus 1997. Bupati Badung I Gusti Alit Putra sendiri yang meresmikan. Ironisnya, dua hari setelah peresmian, tiba-tiba aparat Pemda mempersoalkan izin Planet Bali. Tempat tersebut diterpa isu miring soal esek-esek. Akibatnya, Hartono tak bisa melunasi utang dan bunga yang jumlahnya terus membengkak.
Dan ujung-ujungnya seluruh properti miliknya, di Bali, Batam, Surabaya, dan Jakarta disita. Tidak hanya itu, Planet Bali pun kemudian ditutup 8 Agustus 1997 lalu.
Nasib apesnya berlanjut karena dia kena kasus aborsi di rumahnya di Jalan WR Supratman 85 Surabaya, hingga masuk bui. Dia mendekam di LP Kadung Pane dan sejak itu namanya menghilang. Tak ada bidadari mengelilinginya seperti dulu. Konon hartanya juga perlahan lahan ludes.
Tapi sebagai legenda bisnis servise esek esek papan atas, dia tetap jaminan mutu. Tak heran, ketika ada orang lain menggunakan namanya sebagai situs online, banyak yang tergiur dan tertipu, hingga ratusan juta. Situs itu memakai nama HartonoPrapanca, memasang foto artis ibukota. Tarifnya bahkan berlipat, menjadi puluhan juta. Namun belakangan yang dikirim orang lain. Modus lama. Sempat jadi urusan polisi juga. Setelah itu, namanya hilang lagi.
Sampai kemarin terdengar dia telah tiada. Sang Legenda Prapanca itu telah pergi selamanya.
Hartono adalah orang Semarang. Masa kecilnya mengenaskan. Dia bergaul dengan teman yang kini dikenal sebagai konglomerat. Sejumlah temanya cerita tentang Hartono sejak merintis hingga setelah menjadi germo papan atas .
Meski berlumur dunia kelam, Hartono memiliki etika tata krama. Dia sengaja tak bertegur sapa dengan teman temannya yang sudah sukses bila jumpa di depan umum. Pura pura tak kenal. Dia tak mau mempermalukan temannya, karena dia punya pilihan “bisnis” yang berbeda.
Hartono sudah meninggal dunia. Tapi bidang bisnis yang ditekuninya merebak, karena penawaran dan permintaan ajeg, bahkan meningkat. Bisnis purba yang tak bisa dihilangkan Bahkan di wilayah paling puritan sekalipun.
Dari Surabaya, selain melesat nama Hartono ada nama Keyko, yang juga mengelola bisnis esek klas menengah hingga atas . Bahkan mengklaim memiliki ribuan anak buah dari berbagai profesi.
Menyusul di ibukota mencuat nama Robby Abbas, pria melambai yang spesialis memperdagangkan para selebritis dan selebgram – wanita wanita model – dari kalangan atas juga. Tarifnya puluhan juta.
Dalam wawancara dan pernyataannya di media Robby Abbas menyebut bahkan bersumpah, bukan dia sendiri yang menawar nawarkan para artis untuk para cukong, melainkan artis artis dan model yang bersangkutan yang minta dicarikan “client” alias langganan.
Gaya hidup papan atas tapi tak ada pemasukan, menjadi tantangan bagi para wanita molek yang sudah terekspos di media massa dan media sosial. Jalan pintas pun ditempuh. Sekarang begitu, sejak dulu pun begitu. Kita banyak belajar dari Hartono Prapanca. (SELESAI) ***