Harus Basa-basi atau Blak-blakan, Ya?

Seide.id- Ada suami yang mengaku kelabakan ketika istrinya bertanya, “Pa, aku masih cantik enggak sih?”

Si suami mengungkapkan, “Gimana enggak kelabakan? Kalau saya jawab jujur apa adanya dia sudah enggak cantik lagi, pasti bakal marah besar. Sementara, kalau sekadar basa-basi, dia juga tersinggung.”

Kata pakar, sebaiknya suami tetap berkata jujur. Toh, tak ada tolok ukur yang pasti tentang cantik atau tidaknya seorang petempuan. Bagi setiap orang, kecantikan itu relatif dan sifatnya amat subyektif.

Jadi, kalau istri bertanya seperti itu, suami yang bijak akan mengatakan, “Apa pun kata orang, buat Papa, Mama tetaplah wanita tercantik.”

Meski begitu, bila dirasa perlu, barangkali bisa ditambahkan, “Tapi, ada baiknya Mama dandan deh.”

Itu jika selama ini istri dinilainya kurang memperhatikan penampilan alias ogah dandan.

Pertanyaan di atas dari sang istri bisa jadi merupakan wujud dari ketidakpercayaan diri. Artinya, bila hubungan suami dengan istri oke-oke saja, kalaupun penampilannya tidak secantik dulu, istri akan tetap merasa percaya diri.

Buat suami juga tidak akan ada persoalan apakah istrinya masih cantik atau tidak. Toh, pertimbangannya ketika menikah bisa dipastikan bukan semata-mata berdasarkan cantik-tidaknya istri.

Waspadai benih keretakan
Jawaban atas pertanyaan tersebut biasanya cuma sebatas guyon dan tidak menuntut jawaban serius.

Semakin tua usia perkawinan, yang seharusnya dominan adalah hal-hal psikis suami-istri.

Bagi suami, ketertarikan badaniah tak lagi jadi hal utama. Jadi, jika istri tetap mencecar suami dengan pertanyaan semacam itu, suami bisa balas bertanya, “Ada apa sih kok pakai tanya-tanya begitu?”

Mendapat jawaban demikian, istri yang hanya berniat guyon ketika mengajukan pertanyaan, tentu akan segera menangkap isyarat bahwa suaminya tidak suka  pertanyaan tersebut. Sehingga, paling tidak, ia akan mengerem untuk tak bertanya lebih jauh.

Buat Si Jujur sungguhan, mencecar dengan mengorek-korek informasi jelas sangat mendongkolkan. Bisa-bisa yang bersangkutan akan marah.

Sebaliknya, pasangan yang tidak jujur, meski bisa sama-sama marah,  pasangannya biasanya bisa menangkap perbedaannya. Sebab, ia marah bukan karena dongkol dicurigai, melainkan gusar karena takut ketahuan.

Jujur vs tidak jujur
Membedakannya? Tidak sulit, kok. Soalnya, emosi Si Jujur biasanya tak akan meledak-ledak. Selain itu, ia pun umumnya akan memberi argumentasi.

Sebaliknya, pasangan berbohong biasanya karena takut ketahuan akan berusaha memojokkan pasangannya.

Ia, contohnya, malah balik bertanya atau bahkan menyalahkan pasangannya guna menutupi kesalahan yang dilakukannya. Dalam psikologi, hal ini dikenal dengan istilah proyeksi.

Yang bersangkutan bukan lagi mengedepankan argumentasi, melainkan menuduh pasangan melakukan hal-hal yang justru dicurigakan kepadanya.

Ia akan menyusun strategi sedemikian rupa agar meriam tuduhan atau kecurigaan tersebut tak tertuju ke dirinya. Antara lain, dengan berkelit supaya jangan dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke inti persoalan.

Di lain pihak, cecaran pertanyaan bisa saja justru membuat suami melakukan introspeksi.

“Ada apa sih dengan istriku? Kenapa jadi bertanya-tanya seperti itu? Apa selama ini sebagai suami aku dianggap tidak memperhatikannya? Atau jangan-jangan aku memang kelewat sibuk dengan urusan sendiri, hingga ia merasa terabaikan lantas butuh penegasan atas kecantikannya?”

Jangan ceplas-ceplos
Yang jelas, jujur tetap yang terbaik. Apa pun reaksi pasangan, mengungkapkan apa adanya dari lubuk hati biasanya jauh lebih memuaskan untuk jangka panjang. Kendati, bisa saja ketika itu mungkin yang bersangkutan tersinggung.

Taruhlah, tubuh si istri sekarang memang lebih berisi. Katakanlah, “Ya, setelah melahirkan Mama memang enggak selangsing dulu, tapi Mama tetap menarik kok.”

Suami tak harus berbohong atau memutar balik fakta, sementara istri pun bisa menerimanya.

Namun, ada baiknya suami-istri pun pandai mengantisipasi keadaan. Jika kejujuran dirasa bakal sangat menyakitkan pasangan, janganlah kebenaran tadi disampaikan seluruhnya secara ceplas-ceplos.

Singkirkan pula keinginan untuk mencela pasangan seenaknya dengan mengatasnamakan kejujuran.

Contohnya, “Ya, bodi Mama sekarang memang enggak beraturan! Persis kayak bantal!” Ini kan menyakitkan sekali. (Puspayanti)