Foto : cocoparisenne/Pixabay
Oleh: Fr. M. Christoforus BHK
Manusia sejagad, telah mengklaim dirinya, sebagai “mahkota” (corona), segala ciptaan, bahkan “citra” teragung Tuhan.
Bahwa sang manusialah ciptaan yang bernalar rasional serta berbudi luhur mulia.
Tatkala sang Adam serta Bunda Hawa terpental ke dalam tabir dosa, maka tumbuhlah onak dan duri di Eden, simbol hati sang manusia.
Firman Tuhan, “dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, penzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, dan hujat.”
Maka, dosa-dosa sang manusia dapat disimbolkan dengan aneka perangai unik binatang-binatang.
Jika, sang manusia itu doyan “berlagak serta bercongkak ria,” maka, dia disimbolkan sebagai burung “merak” karena rajin “pamer diri.”
Jika, sang manusia itu doyan “berkeras kepala,” maka, dia disimbolkan sebagai “kambing.”
Jika, sang manusia itu doyan “mengumbar hawa nafsu serta rakus,” maka, dia disimbolkan sebagai “babi.”
Jika, sang manusia itu doyan “bermalas ria alias bantal sang iblis,” maka, dia disimbolkan sebagai “kura-kura.”
Jika, sang manusia itu doyan “marah-marah serta kejam,” maka, dia disimbolkan sebagai “harimau.”
Jika, sang manusia itu doyan “berbohong,” maka, dia disimbolkan sebagai “ular si penggoda.”
Dan jika, sang manusia itu doyan “mencuri,” maka, dia disimbolkan sebagai si licik “serigala.”
Saudara, inilah taman hati sang manusia, tatkala manusia mengingkari kesucian taman Eden. Di sana akan meriap onak dan duri, permusuhan, sengketa, kelaliman, serta aneka kejahatan.
Maka, sesungguhnya, taman “hati sang manusia” pun juga adalah sebuah “kebun bintang.”
“Alangkah kejinya hati sang manusia itu!”
Malang, 28 Agustus 2022