Mas Wendo Arswendo Atowiloto saya kenal sejak 40 tahun lalu, melalui novel romantisnya, Semesra Merapi dan Merbabu (terbit awal 1977). Sedangkan Ricke Senduk baru kenal lima tahun terakhir. Dua duanya pribadi yang sangat berkesan. Untuk mereka saya berikan kesaksian.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
SEMESTA mengantarkan saya pada lingkungan Mas Arswedo Atmowiloto, jurnalis idola muda di era 1980-90an dan Ricke Senduk, tenaga andalannya. Akhirnya saya dipertemukan langsung dengan Mayong Suryolaksono, Ramadhan Syukur, Yustina Danujaya, Turluki Taningdyah, Shinta K. Sari, Nana S. Pertiwi, Yenny Wiryadi, dll.
Dari grup Monitor dan HAI, dalam peliputan di lapangan, sejak pertengahan 1980an saya sudah mengenal Syamsuddin Ch Haesy, almarhum Syamsudin Noer Moenadi (Senem), alm.Veven Sp Wardhana, alm. Hans Miller Banurea, alm Remmy Soetansyah, Ernawan B Prianggodo, juga Ludi Hasibuan, Gunawan Wibisono, Jodhi Yudono, Marcel Hartawan dan Arno Santosa. Belakangan bertemu dengan Butet Kertarejasa dan Yanto Bhokek.
Mas Wendo Arswendo Atowiloto saya kenal sejak 40 tahun lalu, melalui novel romantisnya, Semesra Merapi dan Merbabu (terbit awal 1977). Sedangkan Ricke Senduk baru kenal lima tahun terakhir. Dua duanya pribadi yang sangat berkesan.
Pada era 1980-’90an, jurnalis mana yang tidak membaca tulisan Arswendo? Dia sangat produktif, menembus berbagai genre: fiksi, fatures, opini dan kritik, yang membanjir dua media utama Indonesia, yakni majalah remaja HAI dan suratkabar “Kompas”. Lebih dari sekadar tulisan opininya yang ditunggu pembaca, cara dia mengelola media, yang melahirkan jurnalisme “Lheer” (tablod “Monitor”) dan jurnalisme “Kasih Sayang” (“Bintang”) juga menjadi rujukan saya.
Dekade 1980an, saya menjadi andalan di “Pos Kota” – koran kriminal dan perkotaan yang keras dan sangar – untuk menulis features untuk memperlembut penampilannya. Agar tampil lebih soft. Koran Kompas dan majalah HAI dan tabloid Monitor bukan saingan kami, melainkan rujukan – referensi. Saya ditugasi Redpel Almarhum HM Syukri Burhan meniru dan belajar, kepada para penulis hebat di Kompas masa itu, terutama Kompas edisi Minggu dalam melahirkan features yang ringan dan menarik.
Era 1980-an adalah era kejayaan Rudi Badil (terkenal dengan tulisannya yang ringan dan lucu, petualang, pendaki gunung, dan pendiri Warkop Prambors), Noorca N. Massardi (wawancara satu halaman, eksklusif), Evie Fajari (yang kemudian jadi Pemred Nova dan memimpin Divisi Majalah Kompas Grup), tentu saja Arswendo Atmowiloto. Mereka dikenal sebagai penulis artikel opini yang piawai. Enak dibaca, kritis, dan tajam, tapi tak menyakiti.
Arswendo Atmowiloto telah pergi. Juga Ricke Senduk. Teman teman “Monitor” dan “Bintang”, dan tabloid anak anak “Fantasy” yang masih terkenang pada mereka menyelenggarakan malam kenangan pada keduanya, yang diwujudkan oleh Ludi Hasibuan. Di kawasan Petukangan, Jakarta Selatan, Sabtu petang 9 November ini.
Produser kaset era 1980an, Judhi Kristianto mengirim kembang dan hadir, ikut mengenangkan almarhum sebagai jurnalis jenius. “Saya banyak belajar dari mas Wendo tentang dunia media cetak, ” kata Mas Judhi Jeka. Pertemananya dengan alamrhum Wwendo cukup intens. “Saya membesuknya saat masuk LP Cipinang dan waktu sakit setelah keluar dari sana, ” kenangnya. Dia juga dekat dengan Ricke Senduk dan banyak menjalin kerja sama.
PADA MALAM di akhir pekan itu, di antara teman jurnalis media yang lama dekat dengan Mas Wendo – saya diundang di sebuah rumah kantor di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, untuk memberikan kesaksian. Bukan tentang sosok Senopati Pamungkas – melainkan tentang Ricke Senduk, dalam acara Haul 5 Tahun Arswendo Atmowiloto & Kenangan untuk Ricke Senduk, Wujud Cinta adalah Air Mata
Tentang Arswendo dikenangkan kembali oleh Gunawan Wibisono, tenaga andalan almarhum di tabloid “Monitor” dan “Bintang”. Semasa di Monitor, Gunawan Wibisono sendiri berhasil menggaet Grace Simon, meski pernikahannya kandas kemudian . Sedangkan Mayong Suryoleksono, jurnalis tampan berhasil yang eluluhkan aktris film dan politisi Nurul Arifin dan awet hingga sekarang.
Saya diminta naik ke panggung, untuk memberikan kesaksian sebagai rekan dan partner kerja Ricke Senduk, perempuan andalan almarhum Mas Wendo yang beberapa pekan lalu menyusul bossnya di media itu.
Di dekade 1990an, Ricke adalah perempuan Menado yang cantik dan muda, yang oleh awak “Monitor” dikira akan diorbitkan sebagai artis. Ternyata dia masuk dan bergabung untuk menjadi tenaga sirkulasi. Meski punya kemampuanmenulis, karena berlatar belakang jurnalis “Jawa Pos”.
Saya mengenangkan kebersamaan kami dengan Ricke Senduk, satu satunya perempuan di antara pendiri portal berita dan opini Seide.id, setelah Monitor tak terbit lagi. Kami dipertemukan oleh Yanto Bhokek, dari Tabloid “Bintang”. Ricke menerima amanah sebagai Pemimpin Perusahaan “Seide.id”, sedangkan saya menjadi Pemimpin Redaksinya.
Para pendiri Seide.id – dari kiri: Gunawan Wibisono, Yanto Bhokek, Dimas Supriyanto, herman Wijaya, Ricke Senduk, Harry Tjahjono, Sukma Redjo, dan Sugeng Setyo. (dok)
KAMI menjadi dua sejoli yang mengelola media online, sebagai “pengabdian” – karena tak ada gaji – tak ada tunjangan, kecuali pada awalnya – untuk menampung artikel opini para senior yang masing masingnya telah pensiun di media cetak, tapi ingin terus menulis. Mereka adalah Harry Tjahjono, Sugeng Setyo, Sukma Redjo, Herman Wijaya, Gunawan Wibisono dan saya. Yanto Bhokek, eks “Monitor” ikut menggagas pendiriannya – tapi tak masuk, karena masih mengelola media online “Tabloid Bintang”.
Hubungan kami, saya dan Ricke, tak sebatas sesama pengeloa media, pengikut perkembangan politik mutakhir, sesama Ahokers, dimana dia kenal Ahok BTP secara pribadi. Melainkan sebagai sesama “mbah” – Oma-Opa – kakek nenek. Saya kakek dua cucu, Ricke nenek dari tiga cucu.
Setiap menelepon, almarhumah bicara panjang tentang cucu cucunya, anaknya, bicara merepet, mencurahkan semua di kepala dan hatinya, media kami, tentang isu politik mutakhir, tentang gereja, pendeta, dan berbagai hal. Sedangkan saya mendengarkan sambil membalikkan hape ke kiri dan kanan kuping, karena kuping jadi panas – saking lamanya dia bicara. Tak peduli siang, sore, atau tengah malam.
Kepada teman teman dan keluarga almarhumah, saya memberikan kesaksian, bahwa Ricke Senduk adalah jurnalis yang terus menulis hingga akhir hayatnya. Di Seide.id, kami menulis bergantian setiap hari.
Sisi baik Ricke yang saya sampaikan di panggung kemarin, selain cerewet, bicara merepet dia ramah, murah hati, suka menolong, ringan tangan. Saya kenangkan bagaimana sigap menolong teman sesama Ahokers yang masuk rumah sakit, selain dia sendiri juga sering transfer ke rekening saya, berbagi rezeki.
Nyaris tak ada yang dirahasiakan oleh Ricke pada saya, dalam hidupnya dan perjalanan pertemanan kami yang begitu singkat. Hanya satu yang tak pernah diceritakan olehnya: kesehatannya. Masalah di lambungnya.
Setelah dia pergi, saya diberitahu oleh Gunawan Wibosono bahwa Ricke sudah lama bermasalah dengan lambung dan pencernaannya. Serangan mendadak yang menyakitkan di tengah malam, mengantarkannya ke IGD hingga Ricke pergi selamanya. Tak tertolong lagi.
Saya menyesali mengapa Ricke tak menceritakan itu kepada saya, sehingga saya bisa membalas kecerewetannya agar dia peduli pada kesehatannya. Ricke hidup sebagai keluarga berada, banyak uang, mapan dan peduli sesama. Tapi ternyata dia abai, kurang peduli pada kesehatannya sendiri.
“Dia ngandelin Promag, ” kata Gun. Merokok tak henti dan membongkar dapur rumah adalah kehidupan lain dari Ricke Senduk yang saya ketahui kemudian . “Kalau makan ngandelin Go-Food. Baru belakangan saya juga tahu dia pegang obat untuk jantung. Kayaknya urusan lambungnya sampai ke jantung, ” kata Gunawan lagi – yang bersama almarhumah selama puluhan tahun di media yang dikelola Arswendo Atmowiloto.
Ricke Senduk dan Mas Wendo, kami selalu mengenangka kalian.
Semoga keduanya damai di surga. Amin. ***