Seide.id – Pemutus rantai kekerasan dalam rumah tangga bukan hal mudah. Kendati bukan mustahil perempuan atau istri juga merupakan pelaku tindak kekerasan, tapi kenyataannya hampir 90 persen pelaku kekerasan fisik dalam rumah tangga adalah suami.
Superior vs sub-ordinat
Mengapa demikian? Secara kultur sejak kecil pria ditiupkan semangat untuk tumbuh jadi sosok pemberani.
Tuntutan budaya inilah yang akhirnya “mencetak” lelaki sebagai individu yag cenderung lebih agresif. Pola ini juga yang seakan mensahkan laki-laki melakukan tindak kekerasan, termasuk kepada pasangannya dan anaknya.
Posisi suami superior, sementara istri sub-ordinat dalam masyarakat patriarki cenderung memudahkan sikap dan perilaku kekerasan terhadap petempuan atau istri.
Penyebab kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga timbul lantas tumbuh subur tentu beragam.
Posisi sub-ordinat memaksa istri harus melayani suami. Kekerasan dipandang sebagai bentuk hukuman untuk mendidik dan mengoreksi istri agar menjadi pribadi yang lebih baik menurut versi suami tentu saja).
Ada juga kekerasan yang dilakukan untuk menutupi kesalahan, menyamarkan perbuatan, serta sebagai penegasan bahwa istri tidak pernah boleh membantah suami.
Tipe kepribadian juga pegang peranan. Laki-laki yang berkepribadian paranoid, antisosial, cemburuan, enteng melakukan pelanggaran norma, seenaknya merugikan orang lain, dan mudah terlibat tindak kekeraasan, umumnya mengarah menjadi pelaku tindak kekerasan
Lingkaran setan
Apa pun alasannya, kekerasan terhadap perempuan haruslah dihentikan. Dampak fisik dan psikis tak hanya dirasakan oleh istri, tapi juga anak.
Tidak jarang pula kekerasan berujung pada kecacatan atau bahkan kematian.
Tidak sedikit istri yang terdorong “mencari aman” dengan cara bunuh diri. Atau melampiaskan perasaan tertekan dan tidak berdayanya kepada anak.
Mengapa demikian? Karena ia tidak memiliki saluran pelepasan emosi, kecuali terhadap anaknya. Padahal anak yang terbiasa melihat ataupun mengalami tindak kekerasan, perkembangan kepribadiannya tidak kondusif.
Tidak menutup kemungkinan mereka kelak menjadi pelaku tindak kekerasan pula. Lihatlah, betapa kekerasan menjadi lingkaran setan dalam kehidupan keluarga.
Jangan salah, tindak kekerasan bukan berupa kekerasan fisik saja. Kekerasan verbal juga termasuk di dalamnya, karena akan menorehkan luka batin.
Kekerasan verbal tidak sebatas berupa makian dan umpatan, tapi juga tindakan mempermalukan pasangan di hadapan banyak orang. Termasuk juga mengintimidasi dan mengancam, “Awas, berani ngadu.”
Ada pula kekerasan finansial dan kekerasan seksual.
Kekerasan finansial dilakukan dengan membatasi akses ekonomi pasangan, sehingga istri menjadi sangat bergantung pada keputusan suami sebagai pemberi nafkah.
Contohnya, istri tidak boleh bekerja, tapi uang belanja dijatah dengan batas minim sehingga membuatnya pusing tujuh keliling mengelola uang belanja keluarga.
Kekesaran seksual terjadi saat suami memaksakan hubungan seks pada istri yang kondisi emosi dan fisiknya sedang tidak siap.
Tidak mudah memang keluar dari belenggu kekerasan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan. Namun, korban perlu menetapkan hati bahwa perlawanan yang ia lakukan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan juga demi anak-anak dan sesama perempuan di seluruh dunia. (Puspayanti, kontributor)