Hidup Kadang di Bawah, Kadang di Bali

Odalan di Ubud03

Upacara Piodalan atau odalan berlangsung di seantero pelosok Bali dengan jadwal yang berbeda beda. Di bulan November ini, tak hanya di Ubud, melainkan juga di Gianyar, Tabanan, Batur, Besakih, Nusa Penda, selain Denpasar, dan lokasi lainnya. Kontan kami menjadwalkan nonton.

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

BEGITULAHsambutan baliho iklan di dalam bandara Ngurah Rai – Denpasar, saat kami mendarat di Selasa petang, 12 November 2024 ini. Matahari sudah masuk peraduan di luar bandara. Malam datang menjelang, saat mobil jemputan tiba menuju penginapan.

Memenuhi ajakan teman, saya ikut tetirah, berempat menghayati Bali di penghujung tahun ini. Sederet villa sudah disiapkan di Ubud, tempat sunyi, sepi dengan pemandangan sawah di pagi hari. Serasa turis bule saja. Saya menolak menempati satu kamar sendiri di villa itu, karena suasananya mistis. Cahayanya temaram juga. Bikin “serr”. Seorang teman menemani bergabung. Satu villa di ujung dibiarkan kosong.

Begitulah hidup. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang di Bali. No stress, semua beres!

Sudah sepuluh tahun lebih menetap di Kota Depok, kadang berlama lama di Jakarta, kadang mampir di KL, kadang di Macao. Dan sekarang terdampar di villa yang sepi di Ubud. Tergantung siapa yang ngajak, sih? Namanya juga cowok ajakan alias cowok panggilan.

UBUD sedang merayakan odalan, ketika kami bertandang ke sana. Odalan adalah upacara memperingati harijadi sebuah pura.

Kami baru pesan makanan dan menunggu hidangan makan siang di Oto Cafe di Jl. Pangosekan, Ubud – milik temannya teman, saat muncul iring-iringan persiapan upacara. Wanita wanita berkebaya dengan selendang di pinggangnya dan kain putih di kepala . Anak anak juga dengan tetabuhan yang belum dibunyikan. Kontan kami panik, serentak bangkit dari kursi, menyambar hape dan mengabadikannya dengan kamera.

“Lengkapnya siang nanti, lihat saja di depan, dekat pura, ” kata Koming Pundi , pemilik Oto Cafe. Bli Koming meninggalkan tamu istimewa, Yuke Sampurna, bassis band Dewa untuk menyambut kami. Dari seberang meja, kami memutuskan berdadag-dadag saja dengan Yuke yang masih pakai ikat kepala dan duduk bersama teman Balinya.

Upacara Piodalan atau odalan berlangsung di seantero pelosok Bali dengan jadwal yang berbeda beda. Di bulan November ini, tak hanya di Ubud, melainkan juga di Gianyar, Tabanan, Batur, Besakih, Nusa Penda, selain Denpasar, dan lokasi lainnya. Kontan kami menjadwalkan nonton.

Kami ya nonton yang di Ubud saja. Dua jam setelah makan siang. Sembari menunggu upacara, arak arakan ke pura, kami memutuskan untuk menengok saudara, sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa di Monkey Forest. Mereka menjerit jerit di atas pohon menyambut kerabatnya yang sudah lama tak berkunjung. Kangen juga rupanya.

Kembali ke Art Market – Ubud, sembari menyeruput Mixiu, bergabung dengan turis asing yang sedang menanti arak arakan. Sayup sayup terdengar suara suling dan gong, obrolan dengan warga lokal pemandu turis Jepang, terputus. Langsung pamit dan mendekati arah suara. Warga Bule, Jepang, Korea, juga “bule Depok” yang culun ini, merapat di pinggiran jalan. Iring iringan upacara yang sangat artistik dan khas Bali itupun berjalan takjim dan terekam dalam foto dan video.

Sejujurnya saya sudah lama sekali tak melihat iring-iringan upacara di Bali secara langsung. Dan seperti yang lain hati saya tergetar mengabadikan acara ini. Betapa indahnya Baliku. Artistik, estetik, warna warni, semarak. Menggetarkan. Pokoknya segala puji pujian selangit lainnya.

Bali magis dan indah. Dan kini glamor. Megah. Bali adalah Indonesia yang lain. Dia berbeda sama sekali dengan daerah Indonesia lainnya. Dan semakin cantik saja.

Ajakan “jangan mati sebelum ke Bali ” rasanya masih relevan dan berlaku hingga kini.

Sehabis nonton Odalan, kami memutuskan cari makan malam tradisional. Beda dengan cafe saat makan siang. Kami mencari pasar tradisional yang bangunannya sudah dimodernisir.

Seorang teman mengajak untuk menjajal Lawar, tapi dengan spontan saya menggeleng. “Kalian saja ya – saya nggak! ” Jawab saya cepat.

Lawar adalah masakan khas Bali yang menyajikan daging babi, sayuran, dan bumbu rempah-rempah – disantap bersama nasi putih hangat . Konon lawar memiliki rasa gurih dan unik.

“Serius nanya, Mas. Sampeyan gak makan daging babi karena alasan agama atau alasan lain?” tanya seorang teman.

Saya bilang, saya tidak makan daging babi, tidak makan daging anjing, tidak makan ular, tidak makan kuda, gajah, dan lainnya. Pokoknya daging apa saja yang saya anggap tidak layak dimakan.

“Lha ‘kan daging babi layak dimakan? Warga di seluruh dunia pada makan daging babi, kecuali Yahudi dan Muslim. Katanya, sampeyan Abangan Kejawen, ” bujuk teman.

“Sesekali cobain dah, mumpung di Bali, ” bujuk yang satu lagi .

“Yang gak bolah ‘kan dagingnya? Kalau kulitnya gimana? Gurih, lho, ” seloroh teman yang lain sembari terkekeh. “Padahal enak, bikin ketagihan, ” seorang lainnya menggerundel.

“Kalian saja, silakan menyantap Lawar. Nanti saya makan bebek goreng saja, ” kata saya.

“Lha ‘kan masaknya pakai minyaknya? Kan ‘mengandung’ juga?” selorohnya.

“Kalau ‘mengandung’ nggak apa apa. ” jawab saya, meniru teman yang menanggapi mie pangsit dan mie goreng di Mangga Besar, Jakarta.

GARA GARA saya menolak mencicipi Lawar, teman teman menggeser acara makan malam ke ke warung Ayam Betutu di pasar makanan tradisional di Pasar Senggol – area parkir GOR Kebo Iwa, sekira 13 kilometer dari Ubud. Sembari menggoda pemiliknya, ibu ibu eksotis. Kebetulan pembawaanya ramah dengan aksen Bali yang khas bikin gemes. Mengaku belum punya mantu pula. Kami pun memanggilnya sebagai calon mertua.

“Dari Jakarta? Pantes kayak bintang film, ” kata si ibu calon mertua. “Wah, Bapak orang kaya, ya?” katanya menunjuk teman lain, boss kami kali ini .

Sebenarnya yang dari Jakarta cuman satu – yang kaya juga cuman satu. Dua dari Depok (Depok Lama dan Depok Baru), satunya dari Pamijahan – Bogor ; wartawan yang banting setir jadi petani dan juragan cabe. Jadi yang layak mengaku orang kaya cuman satu. Ya, si boss itu. Dia yang membawa kami ke Bali. Sedangkan yang difitnah sebagai bintang film cuma pensiunan.

Kenyang makan nasi campur ayam Betutu dan puas menggoda yang punya warung, kami balik ke villa, ngobrol ngalor ngidup sambil nenggak bier. Saya tidak makan daging babi, apalagi menerkam anjing. Tapi saya tidak menolak bier. Lebih lagi Heineken. Sekaleng saja, bir dingin Heineken, sudah cukup untuk mengantar tidur nyenyak. Ada jadwal hiburan untuk hari berikutnya.

Begitulah hidup. Kadang di atas, kadang di bawah . Kadang di Jakarta, kadang di Bali.

Nikmat mana lagi yang engkau dustakan?

Om Swastiastu.

Rahayu***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.