Foto : Jon Hoefer / Pixabay
Laku prihatin itu dapat kita temukan pada orang yang sedang berpuasa, merintis usaha, atau yang tengah mempunyai karep agar niat itu diridhoi Allah, dan terealisasi.
Saat harapan itu terwujud, ada di antara mereka yang mengucap terima kasih dan bersyukur, bersikap cuwek, bahkan ada yang lupa diri hingga berubah 180 derajat.
Padahal laku prihatin itu sejatinya mengajak kita hidup baik, dan semakin baik lagi. Hidup itu amanah. Jabatan dan semua hasil capaian itu, karena anugerah Allah.
Tidak seharusnya kehidupan yang semakin membaik itu membuat kita berubah perilaku, baik lewat sikap, cara pandang, hingga penampilan.
Kita ingin berubah, tampil beda, dan keren. Kita lalu mempermak wajah, rambut, hingga model pakaian. Kita lupa diri, karena ingin dipuji dan demi gengsi.
Berbeda halnya, jika kita terbiasa dengan hidup sederhana dan prihatin. Kesederhanaan itu sebagai gaya hidup keseharian.
Kesuksesan atau hasil capaian itu tidak bakal membuat kita terlena, lupa diri, dan foya-foya. Karena kesuksesan itu datang dari Allah yang harus disyukuri dan dimaknai.
Begitu pula saat ada masalah atau kedukaan, kita mampu menyimpan hal itu, sehingga tidak tampak ke permukaan.
Sikap hidup orang prihatin itu konsisten, karena hidupnya terus menerus untuk memperbaiki diri. Dan jadi pribadi yang rendah hati. Hidup berkenan bagi Tuhan.