Saya mengenal dua tetangga komplek. Kebetulan rumah saya di depan rumah mereka. Setiap pagi jam 7, mereka sudah di depan rumah. Fajar menyalakan mobilnya, untuk berangkat bekerja. Salam mencuci mobil, membersihkan, lalu menyalakan mobilnya. Ia duduk di depan garasi, membuka dan membaca medsos di hapenya.
Bukan bermaksud meremehkan, meragukan, apalagi mencurigai.
Hidup seadanya itu yang seperti apa ? Sebab rutinitas yang dilakukan Fajar atau Salam adalah kehidupan yang rutin. Bedanya, yang satu bekerja menjemput rejeki. Satunya menunggu rejeki.
Yang satu bekerja maksimal, yang satu menjalani hidup seadanya, sebisanya, apa adanya. Kesannya, Salam bekerja teramat pasif. Dia menjalani hidup seadanya. Sepertinya hidup ini nrimo tanpa daya.
Salam itu contoh bagaimana hidup dianggap sebagai “rejeki itu tidak lari ke mana.” Itu sebabnya dia diam, tak ada inisiatif, bahkan mengantungi kedua tangan ke dalam saku. Salam itu menunggu rejeki datang. Adakah rejeki pekerjaan itu datang dengan sendirinya ? Siapa yang mau memberi secara cuma-cuma? Tidak ada pasal terbaik orang yang tidak minta tapi berharap diberi.
Lihat saja itu. “Burung di udara dipelihara oleh Allah, bunga mewarnai diri sendiri dengan cantiknya” Adakah mereka ini berdiam diri ? Tidak. Burung terbang mencari makanan dan kembali setelah di paruhnya membawa sesuatu buat anak isterinya di sarang. Tumbuhan selalu berproses dengan air, mataharai, dan nutrisi di sekelilingnya.
Tak ada burung dan ikan yang berdiam diri, karena mereka harus bergerak entah ke mana untuk mencari makan. Akar-akar pohon pun menembus tanah dan bebatuan untuk menghidupi dirinya sendiri.
Hidup seadanya itu pasif, padahal hidup yang sebenarnya itu aktif. Berdenyut. Bergerak. Lebih bijak, jika kita mengubah pola pikir, dari hidup seadanya untuk kita optimalkan. Untuk menggali dan mengolah talenta yang dianugerahkan Allah agar hidup ini berguna dan semakin bermakna.
Coba rasakan, syukuri, dan nikmati perubahan hidup kita. Dari hidup yang pasif menjadi aktif. Dinamis. Optimistis. Akan ada perbedaan besar.
Ketika hidup dipenuhi keoptimistisan, harapan yang ada di hati ini terus bertumbuh. Kita semakin semangat untuk mengenali diri sendiri, menggali talenta dan mengoptimalisasikan untuk pengembangan diri.
Tantangan itu kudu diwujud-nyatakan. Kita hidup tak bisa hanya dengan apa adanya, melainkan mengadakan apa saja yang ada dan bisa.
Hidup sebagai anugerah Allah yang harus ditanggapi. Ketika kita merasa memiliki hidup ini, kita diajak untuk mempertanggung jawabkan pada Allah yang memberi. Untuk memberikan hidup kita demi kemuliaanNya. Untuk memberi yang terbaik dari kita untuk Sang Khalik dan sahabat manusia. Untuk itulah kita hidup. Bukan seadanya tapi lebih pada sebisa mungkin kita memaknai … (MR)