Hikayat Bidara (1) ‘KTT ASEAN Labuanbajo & Kisah Sir Raffles’

Flora Nusantara - Bidara01

Bidara kerap dianggap sebagai pohon purba, sakral, wingit, sekaligus penuh khasiat obat. Sejak lama peradaban memanfatkannya untuk bebagai kebutuhan? Berdasar akurasi mikrokospik mislnya, para ilmuwan tahu bahwa mummy-mummy temuan dari peradaban Mesir Kuno, diawetkan dengan lumuran pasta yang mengandung bahan cengkeh, lada, biji pala dan daun bidara dari negeri di Timur. Indonesia, kah?

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id 12/05/2023 – Para pemimpin ASEAN. dan Timor Leste yang tahun ini diterima jadi anggota, usai ber-KTT di Labuanbajo, Manggarai Barat – Pulau Flores, NTT, Indonesia. Jika para pemimpin ASEAN itu sempat jalan-jalan ke Taman Nasional Komodo, tentu semua akan mudah menemukan pohon bidara yang biasa jadi tempat berteduh satwa Komodo atau Varanus komodoensis.

Bidara (Ziziphux muritiana) adalah pohon buah (bentuknya mirip apel mini) yang umum tumbuh di daerah kering. Di Brunai, Malaysia dan Singapura juga disebut bidara, walau ada juga yang menyebutnya jujub atau epal siam. Zee-pen kata orang Burma, manzanitas di Filipina, putrea di Kamboja, than di Laos; phutsaa atau ma tan di Thailand, dan tao atau tao nhuc bagi orang Vietnam.

Pohon yang rantingnya berduri (tapi anak-anak suka memanjat demi memetik ranum buahnya) ini banyak tumbuh di Indonesia, dengan nama daerah masing-masing. Di Jawa, Sunda dan Makasar biasa disebut bidara atau widara. Di Jawa kadang dipenggal jadi dara. Bedara di Alor, bekul di Bali, rangga di Bima dan Dompu, bukkol di Madura, gol di Sasak / Lombok), ko di Sawu, dan kalangga di Sumba.

Bidara kerap dianggap sebagai pohon purba, sakral, wingit, sekaligus penuh khasiat obat. Sejak lama peradaban memanfatkannya untuk bebagai kebutuhan? Berdasar akurasi mikrokospik mislnya, para ilmuwan tahu bahwa mummy-mummy temuan dari peradaban Mesir Kuno, diawetkan dengan lumuran pasta yang mengandung bahan cengkeh, lada, biji pala dan daun bidara dari negeri di Timur. Indonesia, kah?

Para sedulur kita, kaum Nasrani, punya kisah ihwal Penyaliban Yesus yang didalamnya ada jejak pohon bidara dalam bentuk visualisasi Christ’s Thorn Jujube atau Bidara Mahkota Duri Kristus, yang bisa jadi dipetik dari ranting pohon Ziziphus spina-christi yang tumbuh di daerah Afrika utara dan tropis serta Asia Barat, termasuk Palestina dan sekitarnya

Bidara juga disebut jujube, sebagamana orang India dan Pakistan menyebutnya. Bangsa Arab menyebutnya pohon sidr. Bahkan dalam kitab suci Al-Qur’an, QS:34 – Saba:16, ada kata ‘sidrin qollil’ (bidara yang langka) dan pada QS:56 – Al Waqiah:28. Tertera kata ‘sidr makhdud’ (pohon bidara yang tidak berduri). Pada QS:53 – An-Najm: 13-16 ada kata ‘sidratul muntaha’ yang berarti pohon bidara di batas akhir.

Dalam tradisi Islam, sidr atau bidara juga sejak lama digunakan untuk obat dan keperluan ibadah. Daunnya di’sunnah’kan untuk digunakan ketika mandi wajib bagi wanita yang baru suci dari menstruasi atau haid serta nifas. Bersama batang kecombrang, daunnya juga biasa digunakan untuk memandikan jenasah. Pohon bidara kerap ditanam di pekarangan. Sebagai penolak bala atau pengaruh jahat.

Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811 – 1815) dan penulis buku Story of Java (London, 1817) ada menulis catatan dan tersimpan di Museum Herbarium Bogoriense di Kota Bogor. Penyuka tumbuhan yang abadi sebagai nama bunga Raflesia-Arnoldi, ini mencatat sebagai Jujube, Indian Jujube, Indian Plum. Chinese Apple. Sedangkan orang Perancis menyebutnya Jujubier.

Sebelum datang ke Tanah Jawa, Sir Raffles memang lebih dulu berugas di India. Bisa jadi di siini dia kenal pohon jujube/sidr/bidara (Ziziphus mauritiana) dan varian jenisnya, yakni Ziziphus ziziphus (sinonim dari Ziziphus jujube Millers serta Ziziphus vulgaris Lamk). Yang banyak ditanam sebagai pohon buah segar dan dikenal luas sebagai Indian Jujube (apel india) atau Indian Plum atau plum india. – (Bersambung)

12/05/2023 PK 15:05 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.