Bidara tumbuh di banyak tempat, dan di masa kecil buahnya biasa saya petik di Rawa Ancol yang kini jadi Taman Impian Jaya Ancol. Namun di antara jenis yang umum, sejak dulu di Jakarta juga terdapat jenis bidara spesifik, rantingnya relatif tak berduri, buahnya ‘manis segar seukuran genggaman kepalan tangan, yang ‘orang gedongan’ Jakarta tempo dulu biasa menyebutnya bidara cina atau bidaracina. foto Hana Budiono.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 12/05/2023 – Pohon bidara (Ziziphus mauritiana) diperkirakan berasal-usul di Asia Tengah, menyebar alamiah di wilayah luas mulai dari Alzajair. Tunisia, Libia, Mesir. Uganda, dan Kenya di Afrika, Afganistan, Pakistan, utara India, Nepal, Bangladesh, Tiongkok selatan Tiongkok, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaysia, Indonesia hingga Australia.
Ada berapa banyak varieras bidara? Entah. Yang pasti, selain nama dan sebutan berbeda di tiap tempat, tiap tanah menghasilkan sosok varietas masing-masing. Di Padang Arafah di Mekah – Arab Saudi misalnya, saya temukan bidara arab berdaun hijau gelap dengan buah keungu-unguan. Tapi di Padng Arafah kini juga tumbuh varietas bidara yang masyarakat lokal menebutnya sebagai sidr (bidara) soekarno.
Jangan kaget, apalagi sampai ‘kebakaran jenggot’, ha…ha…ha…! Sidr (bidara) soekarno adalah bidara yang bibitnya berasal dari Indonesia; yang tahun 1963 ikut di’ekspor’ dan dikapalkan Presiden Soekarno (atas nama Pemerintah Indonesia) ke Arab Saudi untuk program menghijaukan Arafah. Semua jenis pohon kiriman itu kini tumbuh di banyak kota Arab Saudi, dan masyarakat menyebutnya pohon soekarno.
Dari Arafah, nyoook… kita terbang balik ke Indonesia, dimana pohon yang dikenali masyarakat Arab Saudi sebagai pohon sidr (bidara) soekarno banyak tumbuh alami di pingir-pinggir laut pulau, yang karena itu lantas juga kerap disebut anak-anak Indonesia sebagai bidara laut. Tak cuma di pinggir laut, bidara juga bisa tumbuh di tanah berketinggian 1000 m-dpl, dan dikenali orang sebagai bidara gunung.
Di masa kecil, antara tahun 1957 s/d 1967, saya (tentu saja ikut Ibu dan Bapak berikut para saudara sekandung) tinggal di satu sudut Kampung Bidaracina, yang mengampar di timur Jalan Bidaracina (kini Jalan Otto Iskandar Dinata/Otista) antara Gedung PPFN di Polonia dan Kampung Melayu di utara, dan kini menjadi Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur.
Lha kok namanya Bidracina? Apa hubungannya dengan bidara dan bangsa Cina di Tiongkok? Sebuah artikel berkait sejarah Jakarta menghubungkan nama Bidaracina ini dengan Geger Pecinan, serangan penuh kekerasan oleh pihak Belanda terhadap etnis Tionghoa di Batavia, Oktober – November 1740. Banyak orang Tionghoa di Batavia dibantai atas izin langsung Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.
Belakangan banyak sejara(h)wan menyebut artikel (sempat jadi isi sebuah buku,hi…hi…hi…!) ini sebagai summir, tak layak dipecaya. Yang mendekati kebenaran adalah, Bidaracina yang ditabalkan sebagai nama kampung ini merupakan toponimi nama tumbuhan bidara cina, sebagaimana banyak nama kampung di Jakarta yang dulu orang mengenalnya sebagai Betawi
Jakarta atau Betawi memang punya banyak kampung yang namanya diangkat dari toponimi tumbuhan, atau berkaitan dengan tumbuhan. Sebut misalnya Kebon Melati, Kebon Nanas, Kedoya, Srengseng (nama lain pandan duri), Marunda (nama lain manga kuweni), Pondok Pinang, Menteng, Condet yang berasal dari kata Ci (ca’i/sungai/kali) Ondet (kata lain dari buah buni), dan tentu saja Bidaracina.
Bidara tumbuh di banyak tempat, dan di masa kecil buahnya biasa saya petik di Rawa Ancol yang kini jadi Taman Impian Jaya Ancol. Namun di antara jenis yang umum, sejak dulu di Jakarta juga terdapat jenis bidara spesifik, rantingnya relatif tak berduri, buahnya ‘manis segar seukuran genggaman kepalan tangan, yang ‘orang gedongan’ Jakarta tempo dulu biasa menyebutnya bidara cina atau bidaracina.
Sekali lagi jangan kaget, apalagi sampai ‘kebakaran jenggot’. Walau disertai kata ‘cina’, tapi varian bidara satu ini sama sekali tak ada kaitannya dengan orang Cina atau kaum Tionghoa, atau bangsa China di Tiongkok sana. Bahkan para ahli botani menyebut pohon bidara tidak berasal dari Tiongkok, walau sejak abad lalu masyarakat di utara negeri itu berhasil membudidayakan bidara cina besar-besaran.
Sebagaimana petai cina, baru cina, pacar cina, kedondong cina, “Penabalan kata ‘cina’ itu khas Indonesia, untuk menyebut bahwa varian jenis tumbuhan yang khas atau punya spesifikasi khusus dibandingkan jenis tumbuhan tersebut pada umumnya,” ungkap almarhum David Kwa, sejara(h)wan Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia yang kini bermetamorfosa jadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI
Tak seperti yang tumbuh di pantai atau ditanam orang di pekarangan, bidara cina terbilang langka. Cuma di rumah orang gedongan saya lihat pohon buah bidara cina, ditanam di pot besar atau di pekarangan dalam, menghindari tangan jail mencuri buahnya, ha..ha…ha…! Pernah juga saya temukan bidara cina di rumah-toko orang India di Pasar Baru, yang mereka sebut jujube, putsa, apel India atau plum [ndia.
Saya jadi ingat catatan Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jawa 1811 -1815) yang tersimpan di Perpustakaan Museum Herbarium Bogoriense di Kota Bogor, yang juga menyebut keberadan pohon bidara sebagai Jujube, dan varietas unggulnya sebagai Indian Jujube (bidara india), Indian Apple (apel india), Indian Plum (plum india), Chenese Appel (apel cina) yang di Betawi disebut bidara cina.
Sebelum menjadi Gubernur Jawa, Sir Raffles memang bertugas di India. Dari catatan penulis buku Story of Java (London, 1817) ini antara lain kita tahu bahwa melalui Jalur Sutera (Road Silk) bibit varietas unggul bidara yang disebut apel india atau plum india ini ikut merayap ke timur, dan berhasil ditanam dan dikembangkan petani di utara Tiongkok, menghasilkan istilah Chinese Appel atau bidara cina.
Pasca Perang Candu ke-1 (1839-1842), Inggris mengakuisisi Hong Kong dari Pemerintah Dinasti Qing, dan baru dikembalikan lagi ke Republik Rakyat Tiongkok pada 30 Juni, 157 tahun kemudian. Inggris juga menanam Chinese Apple di koloninya itu. Sementara di rentang panjang sejarah, dari daratan Tiongkok orang menyebar ke mana-mana termasuk ke Bumi Nusantara.
Apakah kaum Tionghoa hadir ke Nusantara juga dengan membawa bibit apel cina, dan orang India membawa bibit apel india, yang sebenarnya merupakan varietas pohon yang sama, yakni bidara cina? Entahlah. Yang pasti Bidaracina sebagai nama kampung di Betawi, keberadan pemukimannya sudah ada sejak hadirnya Jayakarta atau Jakarta pada tanggal 22 Juni 1527.
Bidara cina (Ziziphus ziziphus) bersinonim dengan Ziziphus jujube Miller; dan Ziziphus vulgaris Lamk. Bidara yang dibudidayakan di Tiongkok bagian utara. Di Indonesia, tanaman buah ini terbilang langka. Secara umum saya Cuma pernah melihatnya di pasar-pasar tradisional di Bali, yang menjualnya sebagai buah bekul cina.
Bidara cina (atau bekul cina kata orang Bali) kembali ramai dibicarakan secara terbatas, saat bibitnya dalam kemasan tabulampot (tanaman buah dalam pot) dibudidayakan oleh Kebun Buah Mekarsari (kini Taman Wisata Mekarsari) di daeah Jonggol – Bogor, dan lantas hadir di pameran-pameran tanaman hias dan buah dengan, pohon buah putsa atau apel india.
Lebaran lalu, pohon putsa/apel india/apel cina atau bidara cina yang berbuah lebat saya temukan di kebun belakang rumah Hana Budiono, mantan wartawan femina yang kini pengusaha sukses bidang PR-Management. “Yang matang enak dijadikan manisan atau setup. Buah muda dicocol garam dan dirujak,” ucap Hana yang istri Budiono Darsono, pendiri Detik.com, dan kini mengelola Kumparan.com ***
SEIDE 15/05/2023 PK 1321 WIB