Semangat mengembalikan selera anak muda ke kuliner tradisi, Ny. Nelly menawarkan 11 varian dendeng dan ikan asin dari Kota Cikarang. Dia jajakan secara online dan offline dari kafenya.
VIRUS COVID 19 yang menyerang seantero dunia dan Indonesia selama dua tahun terakhir, dan ditetapkan sebagai Pandemi sejak Maret 2020 lalu, membuat sebagian besar warga tak bisa keluar rumah. Segala aktifitas dihentikan, ekonomi berhenti, dan warga dipaksa bekerja dari rumah alias work from home. Ny. Nelly Mawati merupakan salahsatu korbannya.
“Rasanya suntuk tak bisa kemana mana, karena biasanya selalu keluar, bukan hanya keluar rumah tapi juga keluar kota dan keluar daerah,” kata pegiat kampanye olahraga seni, khususnya senam anak anak dan remaja, yang kini menukik pada senam pembrantasan narkoba ini.
Kini, setelah pandemi mereda, Ny Nelly mendapatkan pencerahan. Kesibukan di dapur yang awalnya iseng dan menghilangkan stress, menghasilkan kreasi bermacam macam dendeng.
“Saya mengkreasi 11 varian denden, ” kata wanita berdarah Minang ini, dengan ceria.
Setiap musibah ada hikmahnya, juga pandemi. “Sekarang saya ingin bangkit lewat dendeng ini. Saya menyebutnya Dendeng Milenial, ” katanya.
Disebut Dendeng Milenial karena cita rasa yang diraciknya membidik kalangan milenial, yang tengah keranjingan masakan asing. “Saya ingin masakan tradisi disukai kembali, “tekadnya.
Wanita parobaya ini, memaparkan, masakan dendeng Padang olahannya disesuaikan dengan selera modern, tanpa menghilangkan ciri khas dendeng. “Kita perbaharui kita kombinasikan, agar disukai anak anak muda sekarang, ” paparnya semangat.
Varian dendeng yang dikreasikan Ny. Nellys di antaranya, Dendeng Krispi, Dendeng Cabe Ijio, Dengdeng Cabe Merah, Dendeng Oseng Jamur, dll. “Pokoknya ada 11 macam dan semua kreasi saya, ” katanya di kafe yang dibukanya, DenMil di Kota CIkarang.
“Dendeng yang dulu, nggak ada Dendeng Crispi, Dendeng Asam Padeh, Dendeng Cabe Lombok. Hanya ada Dendeng Batoko, jelasnya.
Wanita asal Lumbu Baso Agam, Minangkabau ini mengaku melihat Ibunya mengolah dendeng sejak kecil. “Ikut ikutan masak sama Ibu, atau lihat lihat saja. Tapi begitu pindah ke Jakarta nggak praktik. Setelah ada pandemi aja, praktik lagi, ” katanya dengan tawa.
Mengapa memilih mengembangkan dendang, dan bukan rendang yang telah dikenal dunia sebagai kuliner terlezat?
“Karena anak anak sekarang kurang suka kuliner yang pakai santan. Lebih sehat, karena nggak ada santannya, ” jawabnya. “Lagi pula varian rendang hanya satu macam. Nggak bisa diapa apain. Kalau dendeng kan bisa diapa-apain. Dendeng selalu dari sapi”.
“Selain itu, pembuatan dendeng lebih simpel, jelasnya.
Selanjutnya, Kembangkan 11 varian ikan asin juga.