Berjabat tangan keliling kampung menjadi acara khas Lebaran yagn sekarang sudah mulai menghilang ( Foto: Kompas)
Tiga hari menjelang lebaran…..
Orangatua kami telah membagi tugas kepada anak-anaknya. Furniture yang memenuhi di ruang tamu, sebagian dikeluarkan. Tadinya hanya 6 kursi, kini menjadi 12 buah tempat duduk. Ada dua almari yang kami keluarkan. Ruang tamu menjadi lega dan manusiawi. Di meja ada berbagai hidangan. Kue Kong Ghuan, dan juga kerupuk putih tipis yang sangat crunchy. Ada 12 lodong ( toples) berjejer di meja. Kata nenek, itu melambangkan 12 bulan dalam setahun, dan saatnya dibuka pada hari lebaran. Uniknya dari 12 lodong itu, 6 di antaranya berisi kue rengginang, dan lainnya kue kering. Letaknya diselang-seling khusus untuk lebaran. Mereka tak kenal Hari Raya Idul Fitri. Tahunya lebaran. Foto keluarga dibesarkan dan dipasang di ruang tamu. Paahal, biasanya ada di ruang duduk kami di belakang dekat taman.
Dua hari menjelang lebaran …..
Tembok, bambu mulai dicat putih. Lis kayu yang sudah kusam dicat baru. Halaman depan disapu bersih.Pohon-pohon yang daunnya sudah busuk dibuang, Ranting yang patah ditebang. Tepat di keliling batang pohon, diberi batu dan kerikil kecil, lalu dicat warna putih. Yang lain punya tugas membeli kartu lebaran di pinggi jalan, terutama di depan kantor pos yang banyak ditemukan penjual kartu pos, sekaligus menukarkan uang baru.
Sehari menjelang lebaran…….
Kami mempersiapkan 24 bungkusan, berisi berbagai kue kering, terutama rengginang, kue jenang dalam bungkus terbuat dari seratan batang bambu. Paket lebaran ini kami kirim pas buka puasa hari terakhir. Kami mengirim ke keluarga terdekat untuk memberi semangat menyambut lebaran bagi para tetangga dekat kami. Hari itu juga, biasanya kami tertawa dan senang membaca kartu pos atau kartu ucapan selamat lebaran dari berbagai sanak-keluarga dan teman jauh.
Tepat hari lebaran, …..
Di rumah, kami sekeluarga telah mempersiapkan uang receh tanpa amplol untuk anak-anak yang datang ke rumah. Di meja ruanga tamu yang dibuat bersambung diisi berbagai makanan, terutama ketupat, ayam opor, sambel goreng ati dan ayam goreng serta jadah, apem, dan serabi.
Di sepanjang jalan lorong, sudah siap anak-anak menyerbu rumah ke rumah. Tepat selesai sholat Ied di lapangan – karena mushola kami sempit- kamu semua langsung duduk di kursi dan sebagian menyambut di depan rumah. Anak-anak mulai berlarian menuju rumah, bersalman dengan seluruh keluarga, menerima uang, sebagian ada yang mengambil kue dan makanan di meja dan masuk ke rumah lain.
Untuk tamu dewasa, yang memberikan uang salam tempel adalah ibu. Semua kebagian. Setaelah jam 8 pagi, kami semua keluar rumah untuk mengunjungi tetangga kami lainnya.
Beberapa keluarga ikut sehingga lama-lama antrian di belakang kami makin panjang. Kami kemudian masuk ke rumah yang dekat kami, mengelilingi kamping dari sebelah kanan rumah kami ke kiri dan semua kebagian.
Untuk warga yang tidak mampu, kami sudah mempersiapkan paket lebaran dan ada uang yang ditaruh di bawah daun. Kelurga miskin yang tadinya jarang didatangi warga, ketika mereka mengikuti kami, semua warga ikut kebagian menjadi tuan rumah.
Lama-kelamaan, dari tahun ke tahun, budaya bersalaman menghaturkan selamat lebaran dan saling bersalaman mengucapkan maaf lahir bathin menjadi sebuah tradisi. Sebuah budaya tak tak pernah mempermasalahkan agama.
Bahkan, rumah ustadz yang biasanya menunggu di rumah, ikut barisan kami menuju ke rumah tetangga lain.
Ada cerita unik sebelum itu. Dulu, pak Ustaz ini hanya ada di rumah menunggu didatangai tetangga. Dia dan isteri, tak mau berjabat tangan atau tak mau menerima bersalaman atau ucapan dari kelompok agama lain, seperti katolik misalnya.
Suatu hari, saya membisiki isteri saat mau menjelang lebaran. Isteri setuju.
Begitui kami antri di belakang tetangga kami menuju pak Ustadz dan isteri, mereka kaget. Tak menyangkan bahwa isteri kami langsung memegang tangan pak Ustads, begitu juga saya langsung memegang tangan isteri pak Ustadz. Kami bersalaman dan mengucapkan selamat lebaran dan bermaaf-maafan.
Pak Ustadz dan isteri tentu saja terkejut dan shock. Tak menyangka yang datang kami. Sejak itu, keluarga ustadz itu justru mendatangai rumah kami setiap Natal dan Lebaran karena kami yagn dituakan di kampung itu.
Suasanya begitu hangat, mesra, damai dan saling mengharagai. Di kampung kami, setiap lebaran, semua orang, semua agama merayakan tradisi saling berkunjung dan saling memaafkan. Tak ada Islam, Kristen, Hindu atau Budha. Lebaran telah menjadi tradisi dan budaya untuk saling menghargai satu-sama lain.
Lebaran hari ini…..
Tiga hari menjelang lebaran, suasana sepi. Warga sudah banyak yang keluar rumah, mudik ke tempat kampung halaman. Tak ada kegiatan menonjol di lingkungan, kecuali membantu RT memasang umbul-umbul ucapan selamat hari raya idul Fitri. Bahkan saat menjelang lebaran, tak ada hantaran paket lebaran. Usai sholad ied, semua keluarga sudah memiliki jadual tersendiri di hari pertama lebaran: ke Ancol, Kebun Bintang Ragunan, makan bersama di cafe atau ke pantai.
Kami sekeluarga duduk di ruang tamu. Tak ada makanan istimewa di atas meja. Tapi ketupat, opor ayam dan sambel goreng ati masih selalu ada sebagai pertahanan untuk mengingat budaya kami, dulu. Rengginang tetap ada, tapi tak dibuat sendiri. Beli di supermarket. Tak ada tembok yang dicat. Tak ada hantaran apapun. Tak ada kartupos dan tak ada siapapun yang datang atau kami datangi. Semua pintu kebanyakan tertutup rapat. Selain itu tak ada budaya seperti dulu. Bisa-bisa kami datang dikira ” sekedar” cari makanan.
Kami sekeluarga memilih duduk di ruang keluarga, menikmati hidangan yang kami buat sendiri untuk diri sendiri. Jikapun ada kegiatan, adalah sibuk mengucapkan selamat berlebaran dan meminta maaf melalui whatsapps, kepada siapapun yang terlintas di pikiran. Terkdang juga menggunakan medsos untuk menjangkau teman dan saudara yang tak masuk dalam kontak kami. Yanag lucu, mengucapkan selamat lebaran tetangga yang dekatnya hanya satu dua meter memakai medsos.
Suasana lebaran yang penuh kegembiraan, keceriaan, damai, saling tersenyum dan mengobrol dulu, telah hilang. Media sosial dan pemisahan agama, telah menajuhkan itu semua. Lebaran tak lagi menjadi milik bersama. Lebaran hanya milik agama Islam, dan menjauhkan semua kedamaian yang dulu begitu indah, tergantikan oleh sekat-sekat perbedaan keyakinan yang sekarang ini sebagai hal yang sangat eksklusif…
TULISAN MENARIK LAINNYA
Sowan ke Rumah Sastrawan dan Kyai Ahmad Tohari
Di Yerusalem, Ketika Paskah, Pesakh dan Ramadan Tiba Bersamaan
Pesan Menyentuh Dan Ucapan Dari Gus Yaqut Cholil Pada Idul Fitri 1443 H