Oleh : HANDRAWAN NADESUL
Hoax medis terbilang paling susah dilawan hanya dengan akal sehat. Tak cukup akal sehat belaka. Butuh kemampuan menalar dengan kecerdasan akal sehat medis.
Namun meski begitu, tak urung, masih saja ada sejawat dokter yang terjerat hoax medis, dan menyebarkannya di medsos. Contohnya, yang saya dengar dan kutip dari Tik Tok sahabat Haryanto Halim. Saya mengutip tulisan permintaan maaf seorang sejawat yang menyebarkan hoax medis ke medsos, sebagaimana terbaca di bawah ini. Mestinya lebih mampu untuk bersikap skeptik dari ilmu di sekolah dokternya dulu.
Secara umum hoax bisa difilter dengan sikap sebagai berikut, pastikan apakah yang ditulis itu sebuah kebenaran. Untuk bisa memastikan bahwa itu sebuah kebenaran, perlu wawasan luas selain ketajaman berlogika dan berakal sehat. Hoax yang mengklim diri bisa menggandakan uang misalnya.
Masuk Nalar
Akal sehat kita, kalau betul bisa menggandakan uang, kenapa bukan dia sendiri yang menggandakan uangnya? Kenapa harus uang orang lain. Jadi pasti tidak benar. Pasti penipuan. Sampai di situ kita sudah bisa menyimpulkan kalau itu hoax. Jadi tidak perlu disebarkan kepada orang lain.
Kedua, kalau benar masuk nalar, suatu informasi memang sebuah kebenaran, apakah ada gunanya untuk orang lain. Adakah manfaatnya? Kalau tidak ada manfaatnya, mestinya tidak perlu disebarkan.
Untuk hoax medis, kalau ada informasi obat atau cara baru yang dunia medik sendiri belum punya obat dan caranya, hampir pasti informasi itu hoax. Informasi ihwal ada obat atau cara yang bisa meluruhkan karat lemak plaque pembuluh dara koroner jantung, atau pembuluh darah lainnya, misalnya, pasti itu hoax. Sebab kalau benar berkhasiat, temuan itu berhak mendapat Hadiah Nobel. Nyatanya kan tidak demikian.
Banyak Klaim
Terhadap nalar mediknya juga, bahwa di mata medik, tidak ada yang sederhana dalam pengobatan dan penyembuhan. Untuk menemukan suatu obat yang diterima medik, perlu waktu puluhan tahun. Mana mungkin ditemukan seorang bocah Ponari yang mengaku mendapat wangsit batu dari langit dan mengklim bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Itu pasti bohongnya.
Tidak ada di dunia medik satu obat untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Semakin banyak klim suatu obat atau bahan berkhasiat bisa menyembuhkan pelbagai penyakit, semakin besar kebohongannya.
Kita tahu setiap penyakit berbeda mekanisme patofisiologisnya. Mekanisme darah rendah berbeda dengan darah tinggi, maka mana mungkin ada obat yang bisa untuk mengobati darah tinggi sekaligus bisa juga untuk mengobati darah rendah. Kasus keputihan ada empat penyebabnya, mana mungkin hanya ada satu obat untuk menyembuhkan keempat penyebabnya. Dokter yang tidak tepat mengobati keputihan jamur diberi obat parasit, atau keputihan kuman diobati dengan antijamur, gagal menyembuhkan. Apalagi hanya dengan satu obat atau bahan berkhasiat.
Bukti Ilmiah
Semua pengobatan, dan cara menyembuhkan medis selalu disertai bukti ilmiah di belakangnya. Tanpa ada bukti ilmiah untuk obat dan temuan lain, tidak bisa diterima dunia medik. Itu maka ada Badan Pengawasan Obat dan Makanan di setiap negara. Amerika Serikat punya FDA, badan pengawasan obat dan makanan kepada siapa dunia mengacu karena berwibawa secara keilmuan.
Kasihan masyarakat kita sekarang menghadapi begitu banyak berseliweran terapi atau obat atau cara yang ditawarkan lewat medsos, atau dari mulut ke mulut, bahkan iklan dan siaran di stasiun TV, alat medis, cara terapi, atau pengobatan yang abal-abal. Kursi magnet, kasur magnit, gelang magnit, kalung laser, dan banyak sekali yang ditawarkan, apakah sudah diterima oleh FDA, yang berarti punya dasar bukti ilmiahnya? Patokannnya perlu ada restu dari BPOM kita paling tidak.
Kalau suatu alat kesehatan apapun, ternyata tidak memberi dampak buruk pada tubuh setelah menggunakannya, sekiranya tidak betul memberi khasiat alias bodong, kerugian pemakainya hanya bersifat ekonomis. Namun bagaimana apabila alat kesehatan berpengaruh buruk pada jantung, atau otak, karena memakai listrik, atau magnet. Kita tahu tubuh juga punya listrik biologi.
Alternatif Penyembuhan
Atau suatu obat yang diklim bisa menyembuhkan kanker ternyata dicampur bahan kimia yang tidak aman, selain merugikan tidak membuahkan hasil, merusak badan juga. Kerugian lain kanker tak kunjung sembuh, dan menjadi semakin parah, dan hal ini menentukan nasib pasien gagal disembuhkan medis karena terlambat diobati medis.
Terapi dan penyembuhan alternatif, dan non-medik, bukan semuanya tidak diterima pihak dunia medik. Ada terapi dan penyembuhan alternatif yang masuk daftar Complementary Alternative Medicine (CAM) oleh WHO. Namun bukan sekadar memakai tongkat yang diklim bisa menyembuhkan semua penyakit. Bukan sandal bergerigi, bukan segala alat kesehatan yang tidak jelas bukti ilmiahnya. Alih-alih bisa diterima badan pengawas obat di negaranya, bukti ilmiahnya pun tidak ada.
Jamu, herbal, phytopharmaca itu cara alternatif penyembuhan. Namun jamu, semua jenis jamu, bukanlah obat, melainkan bahan berkhasiat yang menyehatkan. Bahan alami berkhasiat yang diperoleh dari alam, yang khasiatnya diperoleh secara turun temurun, dan jamu belum terbilang sebagai obat.
Untuk naik kelas menjadi obat, jamu atau bahan berkhasiat alami, harus diidentifikasi dulu zat berkhasiatnya apa yang terkandung dalam sebuah jamu, lalu diisolasi hanya zat berkhasiatnya saja membuang yang tidak perlu, kemudian diuji farmaklogis, uji hewan, lanjut uji klinik. Setelah lulus semua uji, baru naik kelas menjadi obat.
Belum Jamu
Apabila baru lulus uji identifikasi dan mengisolasi zat berkhasiatnya saja, jamu baru naik kelas menjadi herbal, dan kalau lulus uji farmakalogis dan uji hewan, baru naik kelas menjadi herbal terstandard, dan bila sudah lulus uji klinis baru naik kelas menjadi phytopharmaca.
Maka harus dinyatakan hoax kalau ada jamu bisa menyembuhkan suatu penyakit. Minum jamu tak ubahnya ibarat kita mengkonsumsi sayur lodeh, atau makan rendang. Ada lebih sepuluh bumbu dapur dalam masakan tersebut: kunir, jahe, kapolaga, ketumbar, jinten, kemiri, salam, sereh, cengkih, lengkuas, kencur, cabe merah, asam, merica, daun jeruk, pandan, dan lainnya lagi, yang kesemuanya itu punya khasiatnya tersendiri buat tubuh. Tapi kesemuanya itu bukanlah khusus sebagai obat. Jahe dan kencur punya khasiat antinyeri, misalnya. Tapi belum bisa dipakai untuk obat nyeri selama belum diidentifikasi apa zat berkhasiatnya, dan diisolasi lalu diuji.
Perlunya Evidence Base
Harus dipertanyakan apabila ada bahan berkhasiat, atau cara, yang dunia medik sendiri belum punya obat dan caranya mengklim bisa menyembuhkan penyakit yang belum bisa disembuhkan medis. Apalagi kalau temuan itu tidak ada bukti ilmiahnya, tidak ada evidence based-nya.
Itu yang dalam setiap kali seminar “Sehat Itu Murah” saya selalu tidak lupa menyampaikan bagian ini, bagian agar masyarakat tidak lekas percaya terhadap tawaran obat atau cara terapi atau kesembuhan. Saya ingin masyarakat perlu cerdas untuk tidak lekas percaya, perlu skeptik terhadap tawaran terapi atau penyembuhan yang tidak jelas, dan seturut akal sehat terbilang abal-abal.