Jelang akhir 2018, saya diminta M Tansiswo Siagian, pengurus GROUP PALAMBOK PUSU-PUSU (GP3) menjadi juri lomba menulis cerpen. GP3 adalah sebuah grup pecinta bahasa dan budaya Batak di facebook. Mereka mengadakam lomba menulis cerpen dalam bahasa Batak, dengan hadiah lumayan besar. Pengumuman lomba mengarang ini dilakukan di Balige, Tobasa, Sumut, bersamaan dengan pelaksanaan Seminar Bahasa Batak. Saya juga diminta menjadi salah seorang pembicara dalam seminar itu.
Keren benar, pikir saya. Sebuah grup pertemanan di medsos bisa melaksanakan lomba mengarang dan mengadakan seminar bahasa secara swadaya. Lebih keren lagi, sepuluh cerpen pemenang lomba itu (plus 2 cerpen tambahan) kemudian dibukukan dengan judul “Anakhonhi Do Hamoraon”. Sungguh berharga bagi pemeliharaan bahasa, sastra, dan literasi bahasa Batak.
Pemeliharaan bahasa dan sastra itu memang sangat terlihat di akun GP3. Setiap hari anggota grup ini memposting aneka tulisan. Dan yang mengejutkan, banyak cerita bersambung. Cerita bersambung itu ada yang sampai berpuluh-puluh episode. Hebat benar, pikir saya.
Saya mengira teman-teman yang menulis cerita panjang itu memang biasa menulis, atau minimal seorang pendidik, seperti beberapa anggota lain (ada yang bergelar doktor dan profesor). Eh, ternyata tidak. Beberapa di antara yang menulis panjang itu ternyata sehari-hari jadi ibu rumah tangga. Mereka menulis natural begitu saja. Bahkan ada seorang ibu yang sudah berusia 72 tahun. Ia dibantu cucunya memposting cerita bersambungnya. Ya Tuhan, hebat dan menarik benar.
Saya sebut hebat, karena cerita itu menarik diikuti sebagaimana layaknya kita membaca novel atau cerita bersambung di media. Ceritanya hidup, mengandung konflik-konflik dan pelajaran tentang kehidupan. Menghibur dan memberi “sesuatu”. Bukankah itu esensi dari sebuah cerita fiksi?
Beberapa cerita saya sarankan agar dibukukan. Memang, dari sudut penulisan, perlu perbaikan-perbaikan dan penyuntingan. Tapi menurut saya layak dibukukan. Terlebih mengingat, literasi sastra dalam bahasa daerah itu semakin langka, termasuk dalam bahasa Batak.
Karena itu, saya amat senang ketika akhirnya salah satu dari cerita bersambung itu, “Holong Pamuhai” (Cinta Pertama) karya Adventina Tiurasi Siregar ibenar-benar terwujud jadi buku lewat bantuan penerbit Teras Budaya.
Seperti judulnya, Holong Pamuhai berisi cinta pertama antara Tiur, seorang siswi SLTA yang harus bekerja keras membantu ibunya, karena ayahnya sudah tiada, dengan Tulus, seorang pria yang sudah bekerja, tapi juga menanggung beban hidup dan adat. Tulus diharapkan cepat menikah karena anak laki-laki satu-satunya dan ayahnya sudah sakit-sakitan. Di tengah percintaan mereka hadir pula Jogi, pariban yang merasa berkewajiban menikahi Tiur, karena janji adat. Ya, cerita model era masa jaya majalah remaja dan kumpulan cerpen dulu.
Senang karena Adventina sungguh-sungguh berusaha menerbitkan novel ini. Terimakasih kepada Bung Remmy Novaris DM dan Teras Budaya yang membantu penerbitan novel ini.
Belakang kita sering membaca banyak bahasa dan budaya di dunia, termasuk di Indonesia, mengalami kepunahan atau terancam punah, karena tidak dipelihara dan ditinggalkan masyarakat pemiliknya. Penerbitan novel dalam bahasa daerah seperti “Holong Pamuhai” ini menurut salah satu cara agar Bahasa tetap hidup dan tidak mengalami kepunahan. Pemeritah mestinya memberi apresiasi dan bantuan untuk penulis dan penerbitan yang menerbitkan buku-buku sastra Bahasa local seperti ini. Mestinya…