Kita terbiasa memberikan tip kepada waitress di restoran dan pembawa koper di hotel, kan..? Biasanya mereka mengucapkan terima kasih dengan sopan. Sebagian dengan gerakan tubuh takzim sebagai balasan.
Tapi, aku punya belasan pengalaman, memberikan tip untuk room attendant atau house keeping people. Balasan mereka, unik-unik.
Catatan:
Kalau melakukan perjalanan/traveling, aku selalu membawa gepokan uang kertas dengan pecahan Rp 10.000, 20.000, 50.000. Selalu. Apalagi, kalau blusukan di kota kecil di Indonesia. Uang cash, apalagi kalau mulus baru keluar dari bank, lebih menjalin keakraban ketimbang ATM dan credit card. Seringkali, respon mereka, “Waaah uang baru!” lantas komunikasi menjadi lebih cair. Hal ini sering memudahkan perjalananku karena mereka tiba-tiba menjadi semangat membantu mencarikan taksi atau memberikan informasi kuliner yang enak dan bukan obyek turisme.
Kalau pergi ke negara lain, tentu aku membawa uang cash, mata uang negara mereka. Para traveler biasanya tahu bahwa ada aturan “tahu sama tahu” untuk memberikan tip 10-15% atas layanan yang oke. Dan, 20-30% untuk layanan yang keren banget. Ini masalah etika saja. Kita akan dianggap barbar kalau enggak ngetip (Kecuali di Jepang ya, negeri itu memang khas. Penduduknya punya harga diri yang bisa terluka justru karena kita ngetip… dan mereka akan menolak-nolak dengan teguh).
Kuteruskan ceritaku ya
Aku perhatikan, hotel-hotel yang bintangnya banyak, room attendant-nya lebih “sigap” membalas tip daripada hotel bintang 4 maupun 3. Mungkin hotel besar memang melatih pembersih kamarnya lebih khusus ya? Entahlah, aku tidak tahu pasti…
Tapi, dari pengalamanku, aku sering mendapat aneka rupa “balasan”. Beberapa di antaranya:
~ di sebuah hotel di Jepang, aku diberi dua buah permen dengan tulisan arigato (iya, aku tahu Jepang bukan negara yang suka dikasih tip. Tapi, ini kebiasaanku sih. Biarin aja..! Hahaha…)
~ di sebuah hotel di Thailand, aku dapat tiga butir coklat kelapa yang enak sekali
~ di sebuah hotel di Dubai dan di Lombok, aku mendapat handuk baru yang dibentuk serupa angsa, diletakkan di bed dengan rapi, dengan ucapan thank you dengan emoticon ketawa.
Pada umumnya, room attendant tidak memberikan apa-apa, tapi semuanya menuliskan kata “terima kasih” di kertas catatanku. Belum pernah ada pembersih kamar yang mencomot uang tip, tanpa memberikan pesan. Semuanya pasti memberikan respons yang sopan.
Dari sini, aku belajar: setiap orang butuh merasa dihargai, meskipun pekerjaannya ada di balik layar alias tidak terlihat.
Dari jarangnya room attendant yang memberikan barang sebagai balasan, aku cuma berpikir: sepertinya jarang sekali tamu-tamu yang memberikan tip bagi mereka. Jadi, mereka tidak siap untuk merespons balik. Atau, tidak disiapkan oleh pihak hotelnya. Padahal, membekali mereka dengan permen atau enting kacang (atau apalah yang khas di daerah itu) akan menjadi sebuah respons yang cantik…
Aku yakin, tamu-tamu hotel akan merasa “hangat” jika perhatiannya direspons. Meskipun hanya dengan dua kuntum kembang kamboja yang banyak diperoleh di halaman hotel seperti di sini.
Kalau aku sih, bukan bendanya yang penting. Apalagi ingin dihargai atau dihormati. Bukan itu… Melainkan merasa nyaman karena merasa “ada komunikasi dan connection” dengan hotel itu. Dan, timbul rasa ingin kembali lagi, serasa “pulang kembali ke rumah”, karena sudah merasa akrab dan kenal.
Hospitality merupakan bisnis yang membangun hubungan antara tamu dengan tuan rumahnya. Dan, ini jelas sangat terkait dengan urusan perasaan. Membuat tamu merasa disambut, dimudahkan, diterima, akan membuat betah. Jadi, tempat menginap itu tidak hanya mengutamakan keindahan bangunan dan kenyamanan kamar saja.
Diperlukan kepekaan dan mentalitas khusus untuk berbisnis di bidang ini.
Terima kasih, aku akan selalu kembali lagi.
Nana Padmosaputro